'Belajar dari Guyonan Gus Miftah dan Megawati'
Guyonan bernada merendahkan yang dilontarkan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, Miftah Maulana Habiburrahman, atau Gus Miftah, kepada seorang penjual es teh telah memicu kritik tajam dari publik dan menjadi semacam pengingat akan pentingnya etika bicara dan perlunya menghargai profesi seseorang.
Potongan video candaan Gus Miftah yang menjadi viral belakangan ini telah memancing respons emosional dari masyarakat luas, yang memandang bahwa tindakan dan ucapan Gus Miftah sama sekali tidak mencerminkan etika seorang pejabat publik.
Kasus guyonan Gus Miftah ini setidaknya mengingatkan kembali ingatan publik kita kepada sebuah guyonan yang pernah disampaikan Megawati Soekarnoputri, sang Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP).
Dalam acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, tahun 2022 lampau, saat berpidato, sembari guyon, Megawati bercerita tentang dirinya yang mewanti-wanti tiga anaknya agar tidak mendapat jodoh seorang tukang bakso.
Sontak, candaan Megawati itu kemudian viral dan menuai kontra di dunia maya. Warganet mengecam candaan Mega tersebut dan menganggap putri Bung Karno itu telah bertindak rasisme.
Simbol Ketekunan
Tukang bakso, seperti halnya pedagang es teh, sejatinya adalah simbol ketekunan dan kerja keras masyarakat Indonesia dalam perjuangan mulia mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan keluarga. Ketika profesi ini dijadikan bahan candaan, tampaknya ada rasa tidak nyaman yang muncul di kalangan publik. Lebih-lebih guyonan itu dilontarkan dari figur-figur yang memiliki kekuasaan dan privilese.
Selain itu, hal ini juga mencerminkan jarak emosional antara pejabat dan rakyat kecil. Candaan yang mungkin terdengar ringan dan lucu bagi pejabat bisa saja dirasakan sebagai sebuah hal yang merendahkan atau meremehkan oleh masyarakat yang menjalani realitas hidup sebagai wong cilik, macam pedagang es teh maupun tukang bakso. Ini tentu saja menggarisbawahi pentingnya empati dalam setiap ucapan dan tindakan para pejabat publik kita.
Dalam konteks ini, baik guyonan Megawati menyangkut tukang bakso maupun candaan Gus Miftah kepada tukang es teh mengingatkan kepada kita bahwa pemimpin perlu memahami sensitivitas sosial, sehingga akan lebih mampu menjaga hubungan harmonis dengan masyarakat dan sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap kepemimpinan mereka.
Munculnya kritikan terhadap Gus Miftah terkait candaannya kepada penjual es teh maupun dukungan publik kepada sang bapak penjual es teh menunjukkan bagaimana publik tidak hanya mengkritik, tetapi juga merespons dengan tindakan nyata sebagai bentuk solidaritas wong cilik.
Solidaritas ini adalah potret kekuatan kolektif masyarakat kita yang mendambakan para pejabat memiliki empati dan penghormatan terhadap rakyat kecil.
Pentingnya Menghargai Profesi
Pejabat publik pada dasarnya memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar dibandingkan masyarakat biasa. Mereka tidak hanya mewakili diri sendiri, tetapi juga merepresentasikan lembaga atau institusi.
Dalam Islam, terdapat prinsip yang menegaskan bahwa perkataan adalah cerminan hati dan setiap perkataan harus senantiasa membawa maslahat bagi orang lain. Maka, ucapan seorang pejabat idealnya harus memiliki tiga elemen utama.
Pertama, kebenaran. Apa yang diucapkan harus senantiasa berdasarkan fakta dan tidak merugikan pihak lain.
Kedua, kebaikan. Ucapan harus selalu membawa manfaat atau memiliki dampak positif bagi masyarakat.
Ketiga, keindahan. Pilihan kata-kata maupun struktur kalimat yang dilontarkan harus pula mencerminkan penghormatan dan kesantunan, baik terhadap pribadi maupun terhadap kelompok.
Ketiga elemen tersebut, jika diabaikan oleh seorang pejabat publik, maka bakal mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik bersangkutan.
Dalam kasus Gus Miftah, guyonan yang dilontarkan kepada sang penjual es teh, bagaimanapun, tidak mencerminkan kebaikan maupun keindahan.
Menghargai Profesi Orang Lain
Dalam masyarakat, seringkali terdapat hierarki tak terlihat yang membagi atau mengelompokkan profesi berdasarkan persepsi status sosial atau tingkat ekonomi. Padahal, setiap pekerjaan, sekecil atau seremeh apa pun, sepanjang itu halal, memiliki kontribusi terhadap kesejahteraan kolektif.
Penjual es teh, bakul bakso, misalnya, adalah salah satu penggerak roda ekonomi mikro. Kita perlu menghargai profesi mereka. Menghargai pekerjaan orang lain berarti mengakui jerih payah, dedikasi, dan peran mereka dalam masyarakat.
Ketika seorang tokoh publik melontarkan guyonan atau candaan yang dianggap merendahkan terhadap profesi tertentu, ini dapat menguatkan stigma sosial terhadap profesi tersebut.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan rasa percaya diri para pekerja di sektor-sektor yang dianggap “rendah,” sekaligus memperkuat stereotipe yang tidak sehat terkait profesi-profesi tertentu dalam masyarakat.
Sejatinya, menghormati orang lain, termasuk profesinya, adalah salah satu wujud penghormatan terhadap hak asasi manusia. Menghargai profesi orang lain bukan hanya terkait dengan kesantunan, tetapi juga sebagai upaya dalam menciptakan lingkungan sosial yang inklusif dan berkeadilan.
Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang mampu senantiasa saling menghormati peran masing-masing anggotanya, tanpa memandang status atau pekerjaan mereka.
Pepatah kuno menyebutkan: “Tidak ada pekerjaan yang rendah, yang ada hanya cara pandang yang sempit.”
Sumber: Inilah