DEMOCRAZY.ID - Presiden Prabowo Subianto kembali membuat gebrakan di masa awal kepemimpinannya.
Prabowo mempertimbangkan kemungkinan untuk memaafkan koruptor asal mengembalikan uang hasil korupsi ke negara.
Prabowo mengesampingkan proses hukum dengan memberi kesempatan koruptor bertaubat.
Rencana yang ia sampaikan saat berpidato di hadapan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir, itu menuai penolakan dan perlawanan.
"Saya dalam rangka memberi apa istilahnya tuh memberi voor, apa voor, apa itu, memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk taubat," kata Prabowo di Kairo, Mesir, Rabu (18/12) waktu setempat.
Dia melanjutkan, "Hai, para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong."
Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menjelaskan ide yang disampaikan Prabowo tersebut merupakan bagian dari amnesti- rencananya akan diberikan kepada 44.000 narapidana mulai dari kasus narkoba, UU ITE, tahanan politik hingga korupsi.
"Presiden mempunyai beberapa kewenangan terkait dengan apa yang beliau ucapkan di Mesir terkait penanganan kasus-kasus korupsi, yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara," ujar Yusril melalui siaran persnya, Kamis (19/12).
Ia menjelaskan ide tersebut sebagai bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan aset.
Menurut Yusril, hal itu sejalan dengan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang 7/2006.
"Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban untuk menyesuaikan UU Tipikor kita dengan konvensi tersebut, Namun, kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya," imbuhnya.
Dari keterangan pers Kemenko Kumham Imipas, pemerintah terlihat memiliki keinginan serius membahas sejumlah syarat supaya koruptor mendapat amnesti untuk selanjutnya dikoordinasikan dengan DPR.
"Hal-hal yang sedang dikoordinasikan itu antara lain terkait dengan perhitungan berapa besar pengembalian kerugian negara yang diduga atau telah terbukti dikorupsi, termasuk pula pengaturan teknis pelaksanaan dalam pemberian amnesti dan abolisi tersebut. Ini perlu koordinasi yang sungguh-sungguh," kata Yusril.
Penolakan
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu pegiat antikorupsi dengan tegas menolak dan melawan ide yang disampaikan Prabowo tersebut.
Indonesia Memanggil (IM57+) Institute menilai pemerintah sedang berupaya menjustifikasi keringanan hukuman koruptor, bahkan pemaafan dengan menggunakan dalih optimalisasi pemulihan aset korupsi.
"Silakan ditelaah regulasi di seluruh dunia apakah ada upaya penghapusan pidana ketika adanya pemulihan aset? Jawabannya tidak ada," tegas Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito saat dihubungi melalui pesan tertulis, Kamis (19/12).
Menurut organisasi antikorupsi bentukan mantan pegawai KPK yang dipecat karena dicap tidak lolos asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) ini, pemulihan aset dan penghukuman merupakan dua rel yang berjalan bersamaan, tidak menegasikan satu dengan lainnya.
Lakso menyatakan optimalisasi aset hasil korupsi tanpa penghukuman badan hanya menyasar korporasi.
Sedangkan untuk manusia atau person, harus ada hukuman fisik supaya timbul efek jera.
"Penggunaan mekanisme deferred prosecution agreement untuk memastikan perkara korporasi dapat dikenakan kewajiban pembayaran dengan waktu cepat, sedangkan para direksinya dan pejabat publik tetap dihukum," ucap Lakso.
Tepis Yusril
Lakso yang juga dosen hukum pidana di salah satu sekolah tinggi di Jakarta ini turut mengkritik Yusril yang mencampuradukkan antara pemaknaan parsial UNCAC dengan inisiatif dan kepentingan segelintir elite untuk memuluskan visi meringankan dan menihilkan hukuman bagi koruptor. Ia meminta pemerintah membaca UNCAC secara utuh.
"Justru UNCAC mendorong pendekatan yang lebih radikal," terang Lakso.
Indonesia belum sepenuhnya mematuhi rekomendasi evaluasi implementasi UNCAC.
Dari aspek politik hukum, sebagaimana dilansir dari Transparency International Indonesia (TII), dukungan politik pemerintah sangat kurang.
Hal itu terlihat dari berbagai regulasi yang belum disahkan seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal, hingga RUU Pengadaan Barang dan Jasa.
Pemerintah dan DPR justru lebih memilih merevisi UU KPK yang bukan menjadi bagian dari hasil rekomendasi pelaksanaan UNCAC. Revisi UU tersebut telah terbukti melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Terlebih lagi, Indonesia belum mempunyai aturan hukum untuk bisa menindak suap yang melibatkan pihak asing atau foreign bribery, peningkatan kekayaan tidak wajar atau illicit enrichment, tindak pidana korupsi di sektor swasta dan mekanisme penjebakan.
"Apabila bicara UNCAC, berani kah Menko mendorong penerapan pendekatan ini di Indonesia?" tanya Lakso menantang.
Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai ide menghapus hukuman bagi koruptor yang telah mengembalikan kerugian negara merupakan hal yang sangat berbahaya.
"Secara hukum, tidak boleh ada pelaku tindak pidana korupsi yang tidak diproses hanya karena mengembalikan kerugian negara," kata Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman.
Zaenur mengacu pada Pasal 4 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur "pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi."
Secara hukum, pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh terdakwa hanya dapat menjadi salah satu faktor yang meringankan hukumannya.
"Ide ini mungkin punya tujuan baik tetapi justru berbahaya dan bertentangan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," imbuhnya.
Lagi pula, secara praktik, terang dia, tujuan mengoptimalisasi aset hasil korupsi dengan pengampunan merupakan langkah yang keliru. Zaenur menyarankan agar ada revisi UU Tipikor dengan memasukkan sejumlah poin dalam UNCAC.
"Yang harus dilakukan adalah pemerintah segera lakukan revisi terhadap UU Tipikor untuk memasukkan illicit enrichment," ucap Zaenur.
"Jadi, nanti kalau ada harta penyelenggara negara yang tidak wajar, maka dia harus membuktikan secara terbalik asal-usulnya. Kalau tidak bisa membuktikan, maka dirampas untuk negara," tandasnya.
Sementara peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menilai ide yang disampaikan Prabowo menjadi strategi pengampunan koruptor berkedok amnesti. Kata dia, pemerintah tengah memperlihatkan wajah aslinya.
"Ini strategi pengampunan koruptor berkedok amnesti. Rezim ini memperlihatkan wajah aslinya yang memang hendak memberikan perlakuan istimewa bagi para koruptor, teman-temannya koruptor, dan yang akan jadi koruptor di kemudian hari," kata Castro, sapaan akrabnya.
"Ini kemunduran luar biasa dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," tambahnya.
Sedari awal, Castro pesimis dengan klaim Prabowo yang selalu bergelora menyatakan akan memerangi korupsi.
Secara sederhana, ia melihat orang-orang di sekeliling Prabowo yang bermasalah dan diduga tersangkut paut dengan kasus korupsi.
Apalagi, menurut dia, banyak orang-orang di sekeliling Prabowo yang tidak patuh melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) ke KPK.
"Kalau memang Prabowo serius dalam pemberantasan korupsi, tentu dia akan memulai dari kabinet atau orang-orang di sekelilingnya," ucap dia.
Ia menilai apa yang disampaikan Prabowo menunjukkan kalau yang bersangkutan gagal paham terhadap norma di dalam UU Tipikor.
Dalam hal ini Castro menyinggung ketentuan normal Pasal 4 UU Tipikor.
Sumber: CNN