Akui Kesalahan Lalu Mundur, Martabat Gus Miftah Lebih Tinggi Dibanding Jokowi dan Gibran?
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik, Mujahid 212
Abstrak: (Presiden Berani terhadap Gus Miftah, tetapi Gemetar terhadap Gibran?)
Presiden Prabowo tampak sangat peka dan menghargai partisipasi rakyat kecil, terutama mereka yang berjuang menciptakan lapangan kerja sendiri, seperti pedagang asongan.
Hal ini kontras dengan pernyataan Gus Miftah, seorang tokoh publik, yang sempat merendahkan profesi tersebut.
Reaksi tegas Prabowo terhadap pernyataan Gus Miftah menunjukkan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Tak lama kemudian, Gus Miftah menyatakan penyesalannya dan memilih mundur dari posisinya di kabinet—a tindakan yang mencerminkan sikap ksatria dan tanggung jawab moral.
Kontras Moralitas
Sikap Gus Miftah ini menjadi cerminan yang bertolak belakang dengan Jokowi, yang meskipun mendapatkan kritik dan hinaan publik atas berbagai janji politik yang tidak terealisasi, tetap bergeming.
Bahkan, Jokowi pernah menyuarakan wacana perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode, yang jelas bertentangan dengan konstitusi.
Sementara itu, putranya, Gibran Rakabuming, menunjukkan perilaku serupa. Kontroversi seputar riwayat pendidikannya yang tidak transparan menimbulkan tanda tanya besar.
Publik mempertanyakan keabsahan ijazahnya, mulai dari klaim S1 hingga sederajat SMA.
Fenomena ini memperlihatkan kurangnya integritas dan rasa tanggung jawab moral yang seharusnya dimiliki seorang pejabat publik.
Fenomena Gibran dan Penghinaan terhadap Prabowo
Gibran juga diduga kuat sebagai sosok di balik akun anonim yang menghina Prabowo Subianto secara terang-terangan. Meskipun demikian, Prabowo tetap menahan diri.
Ironisnya, sikap ini bisa saja memunculkan persepsi bahwa Prabowo sebagai presiden hanya berani menindak Gus Miftah, tetapi “gentar” menghadapi Gibran, putra Jokowi, yang terang-terangan merendahkan wibawa negara.
Kesimpulan
Berdasarkan data dan pengamatan empiris, martabat Gus Miftah yang memilih mundur demi menjaga harga dirinya jelas lebih tinggi dibandingkan dengan Jokowi dan Gibran.
Sikap Jokowi yang berulang kali melanggar kepercayaan publik serta dugaan manipulasi pendidikan Gibran menunjukkan ketidaksesuaian dengan nilai-nilai kepemimpinan dan adab publik.
Keberlanjutan rezim ini tanpa penegakan hukum yang tegas hanya akan menambah kerusakan moral dan sistem hukum di Indonesia.
Rakyat memerlukan pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan supremasi hukum.
Adalah tanggung jawab seluruh elemen bangsa untuk memastikan bahwa integritas dan moralitas tetap menjadi pilar utama dalam kehidupan bernegara.
Jika bangsa ini serius menjaga martabat dan wibawa negara, maka rekayasa politik dan penyalahgunaan kekuasaan harus dihentikan.
Penegakan hukum atas dugaan pelanggaran moral dan etika oleh para pejabat publik, termasuk Gibran, adalah sebuah keharusan demi menjaga keberlanjutan negara hukum yang beradab dan berintegritas. ***