Teka-Teki Proyek Food Estate: 'TNI, Kroni dan Penggundulan Hutan'
- Pemerintah Indonesia melucuti berbagai aturan perlindungan lingkungan demi melancarkan proyek "lumbung pangan" (food estate) untuk menggenjot produksi makanan.
- Sebuah perusahaan yang dijalankan oleh para kroni Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersiap memanen keuntungan dari proyek tersebut. Mereka berupaya menggaet investasi sekitar Rp 33 triliun
- Proyek lumbung pangan juga membidik hutan-hutan di Papua. Para pemerhati mengatakan rencana tersebut melanggar berbagai aturan, selain dipenuhi banyak sekali konflik kepentingan.
Ketika dihantam pandemi COVID-19 yang mengacaukan rantai pasokan dunia, pemerintah Indonesia mencanangkan rencana ambisius untuk menggenjot produksi pangan dalam negeri melalui proyek “lumbung pangan” (food estate) pada bulan Juni lalu. Saat itu, para pejabat menyatakan bahwa rencana tersebut tidak akan merusak lingkungan.
Sebaliknya, mereka mengeklaim bakal menangkal ancaman krisis pangan dengan menggenjot hasil panen serta mendorong teknik pertanian modern yang ramah lingkungan.
Namun, hanya dalam waktu lima bulan, para pekerja di bawah komando Kementerian Pertahanan telah mengayunkan gergaji mereka untuk membabat habitat orangutan di Kalimantan dan mengubahnya menjadi perkebunan raksasa.
Kisah di balik pembukaan perkebunan itu menyingkap bagaimana Kementerian Pertahanan memanfaatkan serangkaian aturan yang telah dirancang dengan tergesa-gesa selama pandemi, melucuti prinsip-prinsip perlindungan lingkungan guna membuka lahan baru yang luas untuk perkebunan pangan.
Investigasi oleh The Gecko Project dan Tempo menemukan bahwa Kementerian Pertahanan bergerak sangat cepat sampai-sampai gagal mematuhi aturan-aturan tersebut, bahkan ketika aturan-aturan itu telah dirampingkan sekalipun, sehingga berpotensi membabat ratusan hektar hutan secara ilegal.
Perkebunan di Kalimantan Tengah itu bakal mencaplok sekitar 32.000 hektar lahan yang nyaris seluruhnya masih berupa hutan hujan. Dan ini hanyalah sebagian kecil dari ambisi Kementerian Pertahanan.
Setelah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto didapuk pegang peran utama dalam program food estate, jajarannya menyusun rencana untuk menanam singkong, sebuah tanaman palawija jenis ubi, di lahan seluas lebih dari 1 juta hektar di berbagai wilayah Indonesia.
Investigasi ini juga menemukan bukti bahwa Kementerian Pertahanan tengah berupaya untuk mengarahkan proyek-proyek food estate, yang nilainya bisa mencapai puluhan triliun rupiah, kepada sebuah perusahaan tanpa rekam jejak yang jelas dalam pengembangan perkebunan, yakni PT Agro Industri Nasional (Agrinas).
Agrinas dimiliki oleh sebuah yayasan nirlaba yang juga dikendalikan oleh Prabowo dengan dukungan sederet purnawirawan dan perwira tinggi militer.
Para analis mempertanyakan legalitas struktur kepemilikan itu karena tampaknya melanggar aturan yang dimaksudkan untuk memastikan agar yayasan benar-benar melayani tujuan amal.
Mereka juga mengatakan bahwa hubungan erat Prabowo dengan para pejabat eksekutif Agrinas dan komisarisnya melahirkan konflik kepentingan yang serius.
Agrinas dan Kementerian Pertahanan membantah bahwa mereka bermitra dalam program lumbung pangan. Meski demikian, kami menemukan bukti bahwa Agrinas berusaha menarik investasi senilai Rp 33 triliun dari pemerintah asing. Untuk menggaet investasi itu, mereka menyebutkan punya akses khusus atas proyek tersebut serta punya koneksi dengan Prabowo.
Penyelidikan kami juga mengungkap bahwa Kementerian Pertahanan sedang melancarkan rencananya untuk mengembangkan perkebunan pangan di Papua, kawasan yang menjadi pusat keanekaragaman hayati di bagian timur Indonesia. Saat ini Papua menyimpan cadangan hutan hujan utuh terbesar di Asia.
Upaya Kementerian Pertahanan untuk membuka perkebunan di Papua itu dikomandoi oleh seorang purnawirawan Angkatan Laut. Menurutnya, kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan pangan di sana bakal dipasok oleh para pemuda Papua yang direkrut sebagai anggota korps Komponen Cadangan (Komcad) yang baru terbentuk. Sementara itu, pasukan tentara telah dikerahkan untuk melancarkan proyek perkebunan pangan di Kalimantan.
Keterlibatan militer di Papua banyak menuai kritik. Militer punya rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap masyarakat adat Papua demi melancarkan pengerukan sumber daya alam untuk proyek-proyek pertambangan dan perkebunan.
Kementerian Pertahanan telah mengumumkan rencana untuk menanam padi dan singkong di ribuan hektar lahan hutan dan tanah ulayat di Merauke, daerah yang penuh gejolak militer di ujung timur Indonesia. Namun, mereka tidak merundingkan rencana itu dengan warga setempat yang bakal sangat terdampak. Warga Papua, yang hak-haknya telah dilanggar oleh serangkaian regulasi baru itu, masih diliputi ketidaktahuan.
“Kita bermain dengan waktu”
Pagebluk virus korona bisa menjadi “bencana” bagi jutaan orang di seluruh dunia yang hidup di ambang keparan, kata Kepala Ekonom Program Pangan Dunia.
Badan-badan di PBB menegaskan, masalahnya bukanlah soal kurangnya produksi bahan pangan.
Ancaman sebenarnya muncul ketika makanan tidak bisa sampai ke orang-orang yang membutuhkan karena rantai pasokan yang tersendat akibat kebijakan pembatasan wilayah serta banyaknya pekerja yang terpaksa tinggal di rumah selama pandemi. Akibatnya, banyak keluarga di Indonesia mungkin kesusahan karena tidak mampu membeli makanan akibat perlambatan ekonomi.
Di sisi lain, kalangan elit politik selalu berambisi mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor pangan melalui peningkatan produksi dalam negeri. Isu ini mengemuka sebagai topik perdebatan di dua pemilihan presiden terakhir.
Jokowi, yang sudah menjabat selama dua periode, memerintahkan para menterinya untuk mewujudkan ambisi itu, sekaligus menangkal ancaman krisis pangan akibat pandemi. Caranya, dengan menggenjot produksi bahan pangan pokok seperti beras lewat pembukaan perkebunan pangan raksasa.
Proses perizinan untuk membuka perkebunan di Indonesia terbilang rumit dan lama. Perusahaan harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari berbagai instansi pemerintahan, berunding dengan warga setempat, serta melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Area lahan dan hutan yang luas tak boleh dialihfungsikan untuk pertanian atau perkebunan, untuk melindungi daerah aliran sungai (DAS) dan menjaga kelestarian tutupan hutan.
Para pejabat di Jakarta lantas merancang serangkaian aturan untuk memangkas alur birokrasi.
Begitu aturan-aturan baru mulai muncul, para pengamat menduga bahwa pemerintah lebih mengutamakan jalan pintas, alih-alih menegakkan asas-asas hukum dan perlindungan lingkungan.
Adrianus Eryan, peneliti hukum Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menilai gelagat pertama terlihat dari dokumen “Rencana Operasional Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Food Estate” yang ditemukannya secara daring di pertengahan tahun 2020.
Dokumen yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu memaparkan rencana pemerintah untuk mengalihfungsikan jutaan hektar lahan hutan di empat provinsi menjadi “lahan pangan”.
Menurut Adrianus, dokumen petunjuk teknis semacam itu normalnya dikeluarkan setelah payung hukumnya sudah disahkan.
Rencana alih fungsi lahan sebagaimana dijabarkan di dokumen itu tidak punya landasan hukum yang jelas. “Ini memang agak aneh karena terbalik sebenarnya,” katanya.
Begitu regulasi pertama tentang food estate itu diterbitkan pada Oktober 2020, potensi untuk alih fungsi lahan terbuka lebar.
Peraturan baru tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk dapat mengalihfungsikan jutaan hektar lahan yang sebelumnya tidak bisa digunakan untuk perkebunan pangan, termasuk kawasan hutan lindung.
“Ini memang agak aneh karena terbalik sebenarnya”
Peraturan itu memungkinkan pemerintah melancarkan alih fungsi lahan dengan sedikit kontrol dan perimbangan kewenangan.
Memang ada serangkaian syarat dokumen yang harus dipenuhi, termasuk rencana pengelolaan dan izin lingkungan. Tetapi hampir semua dokumen itu bisa dibuat setelah pelepasan lahan.
Alih fungsi lahan untuk food estate hanya mensyaratkan “komitmen” untuk melengkapi dokumen-dokumen tersebut.
Persyaratan utamanya, harus ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kajian ini biasanya berisi analisa mendalam, termasuk terkait konsultasi publik, yang hasilnya dijadikan rekomendasi untuk perencanaan jangka panjang.
Akan tetapi, regulasi baru itu memperbolehkan KLHS “yang dilakukan secara cepat” dalam kondisi mendesak.
Menurut analisa ICEL, instrumen ini bertumpu pada penilaian para ahli daripada bukti empiris.
ICEL menemukan bahwa KLHS cepat “cenderung bersifat spekulatif dan memberikan ruang yang besar bagi ketidakpastian.” Mereka pun mempertanyakan mengapa pemerintah memilih instrumen ini untuk proyek food estate.
Organisasi pembela lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), menilai ‘KLHS cepat’ tidak memiliki dasar hukum. Mereka mendesak agar KLHK mencabut regulasi itu.
Pada Juli 2021 regulasi itu sempat diperbarui, tapi perubahannya tidak substansial.
Yeka Hendra Fatika, anggota Ombudsman Republik Indonesia, lembaga negara yang mengawasi kinerja pemerintah, mengatakan, bahkan setahun setelah proyek food estate itu diumumkan, masih belum jelas siapa yang akan menjadi pelaksananya dan bagaimana skema pembiayaannya.
Tanpa perencanaan baku, proyek itu rentan memunculkan “potensi maladministasi”, tambahnya.
Dua bulan setelah regulasi pertama food estate dikeluarkan, kekhawatiran akan krisis pangan global telah mereda, menurut analisa Bank Dunia yang dipublikasikan pada Desember 2020.
Berbagai negara sudah kembali mengekspor hasil pertanian. Perdagangan bahan pangan pokok pun diharapkan meningkat lagi untuk pertama kalinya sejak empat tahun terakhir.
“Masalah struktural itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembukaan lahan secara besar-besaran”
Menurut Bank Dunia, masalah yang dihadapi keluarga miskin di Indonesia adalah mahalnya harga pangan yang disebabkan oleh banyak hal, termasuk biaya pengolahan dan pengangkutan.
Masyarakat miskin di Indonesia juga masih sulit memperoleh makanan bergizi seperti sayuran dan buah-buahan.
Program food estate, yang target utamanya adalah produksi padi dan singkong, tidak akan bisa mengatasi dua masalah itu secara langsung.
“Masalah struktural itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan pembukaan lahan secara besar-besaran,” kata Bhima Yudhistira, ekonom dan direktur Center of Economic and Law Studies.
Dalam analisanya, Bank Dunia memperingatkan bahwa salah satu kunci keberhasilan food estate adalah “pengelolaan lingkungan dan berbagai risiko sosial.” Namun, pemerintah Indonesia malah melucuti asas-asas perlindungan sosial dan lingkungan yang dianggap berpotensi menghambat pelaksanaan food estate.
Dalam sebuah wawancara dengan kami pada September lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan bahwa proses regulasi itu sah-sah saja karena didasari oleh situasi mendesak yaitu ancaman “krisis pangan”.
“Kita ini kan bermain dengan waktu,” katanya. “Jadi kalau orientasinya melayani masyarakat, maka keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”.
“Banyak safeguard yang diabaikan”
Awalnya, fokus program food estate lebih banyak tertuju pada rencana pemerintah untuk menggalakkan produksi padi di wilayah lahan gambut Kalimantan Tengah.
Rencana itu sontak menuai banyak kritik karena dinilai hanya akan mengulang bencana yang pernah terjadi dua dekade lalu di lokasi yang sama. Saat itu, proyek serupa menyebabkan lahan gambut mengering, dan justru menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah masif dan hanya menghasilkan sedikit panenan padi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berupaya menampik kekhawatiran bahwa proyek baru itu bakal menyebabkan kerusakan lingkungan. Sebaliknya, KHLK mengeklaim proyek itu bertujuan untuk merehabilitasi kawasan hutan lindung yang telah digunduli secara ilegal, serta mendukung wanatani yang dapat menuai hasil panen tanpa perlu membabat hutan.
“Kami juga berkomitmen untuk memastikan bahwa tidak ada habitat orangutan Kalimantan yang akan disasar,” kata Siti Nurbaya Bakar, Menteri KLHK.
Namun, Presiden Jokowi juga mendapuk Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto — mantan pesaingnya dalam dua kali pilpres terakhir — untuk bertanggung jawab atas proyek food estate.
Pada bulan yang sama ketika Jokowi mengunjungi lahan gambut di selatan Kalimantan, para pejabat TNI dan Kementerian Pertahanan mengadakan pertemuan dengan pemerintah daerah di Kabupaten Gunung Mas, 150 kilometer di bagian utara lokasi kunjungan Jokowi.
Di sana, masyarakat adat suku Dayak hidup di sepanjang sungai-sungai besar yang berkelok-kelok ke selatan dari daerah hulu pegunungan di tengah-tengah Pulau Kalimantan, menembus hutan, dan bermuara ke Laut Jawa.
Kementerian Pertahanan mengincar hamparan hutan belantara di sisi timur Sungai Kahayan, yang merupakan ruang hidup penduduk setempat. Di tempat itu, masyarakat lokal mengumpulkan makanan, menyadap karet, dan mencari kayu.
Menurut para kepala desa yang kami wawancarai, mereka sempat diundang dalam sebuah pertemuan dengan para pejabat kementerian dan seorang perwira tinggi tentara pada Juli 2021 lalu, sebulan setelah proyek food estate dicanangkan.
Orang-orang dari Jakarta tersebut memaparkan keinginan mereka untuk membuka perkebunan demi mengamankan kebutuhan pangan nasional. Namun, rencana itu tidak dijelaskan secara rinci. Warga desa tidak diberi tahu di mana lokasinya dan kapan proyek itu akan dimulai.
Hanya dalam beberapa pekan kemudian, Prabowo mengajukan permintaan kepada KLHK untuk membangun perkebunan pangan di Gunung Mas, yang luasnya setara dengan hampir separuh Jakarta. Saat itu belum ada peraturan yang menjelaskan apa itu kawasan food estate, apalagi cara membuatnya.
Hasil pemetaan citra satelit menunjukkan bahwa ketika rencana lumbung pangan diajukan, sebagian besar lokasi yang diincar sebenarnya merupakan kawasan hutan hujan.
Mengacu pada kajian yang disetujui oleh pemerintah, sebagian besar area itu merupakan habitat orangutan.
“Memang awalnya nggak mereka beritahu [bahwa luasnya] sebanyak 33.000 hektar itu”, kata Mine Yantri, seorang kepala desa yang menghadiri pertemuan pada Juli 2021 lalu.
“Ya memang kami tidak bisa menolak program pemerintah.”
Proses pembukaan lahan di Gunung Mas dimulai pada pertengahan November 2020, ketika regulasi tentang food estate baru berumur tiga pekan.
Meski sempat dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan awal, warga desa di sekitar lokasi proyek belum mendapatkan informasi yang cukup.
Sigo, seorang pemuka adat dari kampung Tewai Baru, mendapati jalurnya mencari kayu dihadang oleh para tentara yang sedang menjaga lahan yang baru dibuka. Warga desa lantas mulai menuding para tokoh masyarakat seperti Sigo telah menjual lahan tanpa sepengetahuan warga.
“Serba salah ya,” kata Sigo.
Persyaratan alih fungsi lahan berupa konsultasi publik untuk KLHS baru dilakukan oleh Kementerian Pertahanan tiga bulan kemudian, yakni pada Februari 2021. Saat itu, lebih dari 600 hektar lahan sudah dibuka.
Presentasi yang dipaparkan KLHK pada Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, Maret 2021, mengindikasikan bahwa Kementerian Pertahanan masih belum memenuhi berbagai ketentuan yang diwajibkan untuk mengalihfungsikan lahan.
Lahan yang diincar Kementerian Pertahanan masuk dalam kategori Hutan Produksi. Padahal prinsip yang telah lama berlaku dalam kaidah hukum kehutanan Indonesia menegaskan bahwa kawasan Hutan Produksi tidak boleh dikonversi menjadi perkebunan pertanian.
Menurut Adrianus dari ICEL, rentetan peristiwa itu menunjukkan adanya “dugaan pelanggaran” hukum kehutanan.
“Dalam konteks food estate ini, banyak safeguard yang kemudian diabaikan begitu saja,” tambahnya.
“Penyusunan KLHS yang diabaikan, masyarakat yang tidak dilibatkan, prosesnya juga dilakukan secara tertutup.”
Kepada kami, Kementerian Pertahanan berdalih bahwa pembukaan lahan itu sudah sesuai dengan regulasi tahun 2018 yang, dalam situasi mendesak, memperbolehkan “pinjam pakai” kawasan hutan untuk penggunaan lain tanpa mengubah statusnya. Mereka bilang sudah “menyesuaikan” ketika aturan food estate diberlakukan pada 2020.
Pembukaan lahan itu dilakukan “berdasarkan instruksi dari Presiden Jokowi dalam rapat kabinet.”
“Penyusunan KLHS yang diabaikan, masyarakat yang tidak dilibatkan, prosesnya juga dilakukan secara tertutup”
Ketika reporter kami mengunjungi lokasi tersebut pada Agustus lalu, lahan itu dijaga oleh tentara. Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, mengatakan, penugasan tentara diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Undang-undang itu mengharuskan Presiden mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk pengerahan kekuatan TNI. Namun kami tidak menemukan dokumen yang mengkonfirmasi bahwa syarat tersebut telah dipenuhi. Dua pemerhati keamanan memberitahu kami bahwa pengerahan tentara untuk proyek lumbung pangan kemungkinan besar melanggar undang-undang.
Meskipun lahan yang sudah dibuka sangat luas, hanya sekitar 30 hektar lahan yang sudah ditanami singkong hingga Agustus 2021 lalu. Berdasarkan pengamatan reporter kami, pohon-pohon singkong itu banyak yang layu dan daunnya menguning. Tidak sedikit pula yang sudah mati.
SELENGKAPNYA Baca 'Kroni Prabowo Kepung Proyek Lumbung Pangan, Ancam Lingkungan dan Habitat Orangutan': KlikLink
[VIDEO]