Sore Ini “Akankah Bawaslu Menghukum Prabowo?”
Dalam ranah politik Indonesia, tindakan cawe-cawe oleh seorang presiden kerap menjadi sorotan, menimbulkan perdebatan antara legitimasi moral, etika, dan hukum.
Saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih menjabat, ia menuai kecaman dari berbagai pihak karena terkesan mendukung calon tertentu dalam pemilihan kepala daerah.
Kini, giliran Presiden Prabowo Subianto menghadapi isu serupa, dengan dukungannya terhadap Ahmad Luthfi dan Taj Yasin Maimoen dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah.
Dukungan Presiden Prabowo menjadi kontroversi setelah video dirinya, berdurasi 5 menit 32 detik, viral di media sosial.
Dalam video itu, Prabowo secara eksplisit meminta masyarakat Jawa Tengah memilih pasangan calon yang diusung Partai Gerindra, partai yang ia pimpin.
Dalam pembelaannya, Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, menegaskan bahwa dukungan itu diberikan atas nama pribadi Prabowo sebagai ketua umum Gerindra, bukan sebagai kepala negara.
Namun, pemisahan peran tersebut dinilai problematik dalam konteks politik Indonesia, di mana figur presiden memiliki pengaruh luar biasa, terlepas dari kapasitas apa pun ia berbicara.
Dari Jokowi ke Prabowo: Studi Kasus Pelanggaran Moral dan Etika
Tindakan ini mengingatkan publik pada masa Jokowi, yang juga dianggap cawe-cawe dalam mendukung kandidat tertentu.
Jokowi kerap menggunakan kedudukannya untuk menyampaikan pesan politik yang menimbulkan persepsi keberpihakan.
Perilaku ini dikecam banyak pihak karena dinilai melanggar norma moral dan etika presiden sebagai simbol pemersatu bangsa.
Dalam konteks Prabowo, masalah serupa muncul. Dukungan eksplisit kepada pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin, meskipun diklaim dilakukan sebagai ketua partai, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Publik sulit memisahkan peran presiden sebagai kepala negara dari posisi ketua partai. Akibatnya, kepercayaan terhadap netralitas politik seorang presiden dapat terkikis.
Membedah Gaya Kepemimpinan Jokowi dan Prabowo
Jokowi dan Prabowo memiliki gaya kepemimpinan yang kontras. Jokowi sering diasosiasikan dengan pendekatan populis dan pragmatis yang terfokus pada pembangunan infrastruktur, sementara Prabowo dikenal dengan retorika nasionalis dan militeristiknya.
Dalam hal intelektualitas, banyak pihak menilai Prabowo memiliki wawasan dan kedalaman pemikiran yang lebih kuat dibandingkan Jokowi.
Namun, dalam dunia politik, intelektualitas saja tidak cukup. Politik ibarat hutan belantara, di mana kekuatan menjadi faktor utama untuk bertahan dan menang.
Cawe-cawe dalam politik mencerminkan dinamika “siapa kuat, dialah pemenang”. Tindakan ini seringkali melupakan aspek moral dan etika demi mempertahankan dominasi politik.
Baik Jokowi maupun Prabowo, meskipun berbeda gaya, pada akhirnya menunjukkan bahwa politik di Indonesia masih didominasi oleh kepentingan pragmatis daripada kepatuhan terhadap norma ideal.
Kesimpulan: Cawe-cawe dan Konsekuensi bagi Demokrasi
Tindakan cawe-cawe, baik oleh Jokowi di masa lalu maupun Prabowo saat ini, menyoroti tantangan besar dalam sistem demokrasi Indonesia.
Ketika seorang presiden, yang semestinya menjadi penjaga moral dan etika bangsa, terlibat dalam dukungan politik praktis, kepercayaan publik terhadap institusi negara dapat terancam.
Dalam jangka panjang, penting bagi Indonesia untuk memperkuat aturan main dalam politik, termasuk memperjelas batasan peran seorang presiden dalam urusan partai.
Demokrasi yang sehat membutuhkan pemimpin yang tidak hanya kuat secara politik, tetapi juga berpegang teguh pada prinsip moral dan etika.
Tanpa itu, Indonesia berisiko terjebak dalam lingkaran politik transaksional, di mana kekuasaan menjadi tujuan utama, mengabaikan kesejahteraan rakyat.
Sumber: FusilatNews