Somasi Atas Panggilan Polisi Kepada Said Didu Soal Polemik PIK 2: 'Menyuarakan Keadilan atau Menghentikan Kritik Yang Sah?'
Said Didu, seorang mantan pejabat BUMN yang dikenal lantang mengkritik kebijakan pemerintah, kini menjadi sorotan publik setelah menerima panggilan dari pihak kepolisian terkait keterlibatannya dalam gerakan menentang pembangunan Proyek PIK 2 (Pantai Indah Kapuk 2) di Banten.
Panggilan ini memicu pertanyaan penting: apakah langkah hukum ini merupakan bentuk penegakan hukum yang sah atau justru upaya untuk menekan suara-suara kritis terhadap kebijakan yang kontroversial?
Gerakan menentang PIK 2 di Banten bukanlah semata-mata sebuah aksi provokatif, seperti yang mungkin ingin digambarkan oleh sebagian pihak.
Sebaliknya, gerakan ini berakar dari keresahan dan perjuangan masyarakat yang merasa terpinggirkan dan dirugikan oleh proyek pembangunan yang berpotensi merampas hak-hak mereka.
Pembangunan PIK 2, yang dipromosikan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional, memang dijanjikan untuk memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang besar, namun dalam prakteknya, ia turut menyisakan masalah serius yang mengancam keberadaan masyarakat sekitar.
Salah satunya adalah penggusuran warga yang tidak diberi ganti rugi yang layak, sehingga menimbulkan trauma dan ketidakadilan yang mendalam.
Said Didu bukanlah seorang provokator yang sengaja menggiring masyarakat untuk berkonflik. Sebaliknya, ia adalah salah satu korban dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkait proyek ini.
Sebagai bagian dari masyarakat yang terdampak langsung, Said Didu menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh warga Banten yang tergabung dalam gerakan menentang PIK 2.
Kritik yang disampaikan oleh Said Didu lebih kepada upaya untuk membela hak-hak rakyat, bukan untuk merusak ketertiban umum atau menggugat legitimasi pemerintah.
Bahkan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang telah memahami permasalahan yang terkait dengan PIK 2 turut menunjukkan keprihatinannya.
DPD bukan hanya mendengar aspirasi dari masyarakat Banten, namun juga bereaksi dengan langkah-langkah konkret, mengajukan pertanyaan dan memperjuangkan hak-hak warga yang terdampak.
Reaksi dari DPD ini menunjukkan bahwa masalah PIK 2 bukan sekadar isu yang dapat dipandang sepihak, melainkan masalah yang menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung dan memerlukan perhatian serius dari semua pihak yang berwenang.
Panggilan polisi terhadap Said Didu seharusnya menjadi cermin bagi kita semua tentang sejauh mana kebebasan berekspresi dan hak-hak untuk mengkritik kebijakan pemerintah dijamin oleh negara.
Justru dengan menanggapi kritik secara bijak dan konstruktif, pemerintah dapat membuka ruang bagi dialog yang lebih produktif dan memperbaiki kebijakan yang berpotensi merugikan rakyat.
Menekan atau mengkriminalisasi kritik justru akan memperburuk hubungan antara pemerintah dan rakyat, menciptakan jarak, dan menghilangkan rasa kepercayaan.
Dalam hal ini, tidak ada kesalahan pada Said Didu atau gerakan yang mendukungnya. Mereka hanya berusaha memperjuangkan keadilan, hak-hak dasar, dan martabat manusia yang terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh.
Oleh karena itu, panggilan polisi terhadap Said Didu perlu dilihat dengan kritis.
Bukankah seharusnya negara yang hadir untuk melindungi rakyatnya, bukan justru mengintimidasi mereka yang berjuang untuk keadilan?
Sebagai kesimpulan, gerakan menentang PIK 2 bukan hanya soal proyek pembangunan semata, tetapi juga soal hak-hak asasi manusia dan keberlanjutan hidup masyarakat.
Said Didu bukanlah provokator, tetapi seorang pejuang keadilan yang seharusnya dihargai, bukan dipanggil oleh pihak kepolisian. Negara harus berpihak pada rakyat, bukan sebaliknya. ***