DEMOCRAZY.ID - Kasus hukum yang menjerat Mardani H Maming kembali mengangkat isu keberadaan mafia peradilan di Indonesia.
Kesesatan hukum dalam kasus ini menarik perhatian para akademisi antikorupsi dan guru besar hukum yang menyerukan pembebasan Mardani Maming.
Kasus terbaru yang melibatkan Zarof Ricar mengejutkan publik dan memperkuat pandangan para akademisi bahwa terdapat kekeliruan dalam penanganan kasus Mardani H Maming.
Kasus ini berkaitan dengan perizinan tambang yang telah melalui kajian dari tingkat daerah hingga pusat.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan telah mendapatkan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.
Dalam persidangan, terungkap bahwa proses peralihan IUP telah mendapatkan rekomendasi dari Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu, serta paraf dari Sekda, Kabag Hukum, dan Kadistamben.
Fakta ini memicu kritik dari Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Prof. Romli Atmasasmita, yang menilai ada delapan kekeliruan serius dalam penerapan hukum kasus ini.
Prof. Romli mengungkapkan bahwa proses penuntutan kasus ini dipaksakan dengan penerapan pasal yang kurang tepat.
Menurutnya, penerapan Pasal 12 b UU Nomor 20 tahun 2001 oleh Hakim Kasasi seharusnya tidak hanya menggunakan pendekatan normatif, tetapi juga mempertimbangkan pendekatan wessensschau.
Pasal tersebut bertujuan untuk memberikan efek pencegahan agar penyelenggara negara menjalankan tugas sesuai UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebelum menerapkan UU Tipikor Tahun 1999/2001.
Senada dengan Prof. Romli, Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Yos Johan Utama, juga menyoroti kekeliruan dalam putusan kasus ini.
Berdasarkan kajiannya, penghukuman terhadap Mardani H Maming terkait pasal yang dijeratkan dianggap salah alamat.
Pasal 97 ayat 1 undang-undang 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral, dan batubara seharusnya ditujukan hanya untuk pemegang IUP dan IUPK, bukan untuk Mardani yang berwenang menerbitkan izin.
Prof. Yos berpendapat bahwa putusan hakim perlu dikaji ulang, karena Mardani H Maming sebagai pihak yang mengeluarkan izin seharusnya tidak bisa dijerat dengan pidana.
Aktivis hak asasi manusia (HAM), Todung Mulya Lubis, juga menyoroti terjadinya miscarriage of justice dalam penanganan kasus ini.
Menurutnya, penjatuhan pidana terhadap Maming dipaksakan tanpa alat bukti yang memadai.
Todung menilai bahwa hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti selama persidangan, lebih memilih keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu) yang sesuai dengan dakwaan penuntut umum.
Sikap berat sebelah ini dianggap sebagai unfair trial, dan jika alat bukti dilihat secara fair, dakwaan penuntut umum tidak terbukti.
Prof. Mahfud Md juga mendukung pengkajian ulang putusan tersebut, menyoroti peran Zarof Ricar sebagai makelar kasus yang dapat mengarahkan seseorang dipidana melalui rekayasa kasus.
Tindakan Zarof ini merupakan bagian dari mafia peradilan yang telah lama beroperasi di Indonesia.
Mahfud menyatakan bahwa tindak tanduk Zarof selama menjabat harus ditelusuri oleh Jaksa Agung.
Sebagai makelar kasus sejak 2012 hingga 2022, perlu ada penelusuran lebih lanjut terhadap kasus-kasus yang ditangani Zarof.
Mahfud menekankan pentingnya membuka kembali perkara ini agar tidak ada korban yang dihukum hanya sebagai kambing hitam.
Kasus Mardani H Maming menjadi sorotan karena menunjukkan adanya kesesatan hukum dan mafia peradilan di Indonesia.
Seruan para akademisi dan aktivis HAM untuk mengkaji ulang putusan ini menegaskan pentingnya keadilan dan penegakan hukum yang fair.
Penelusuran lebih lanjut terhadap peran Zarof Ricar dan mafia peradilan diharapkan dapat mengungkap kebenaran dan mencegah terjadinya ketidakadilan di masa depan.
Sumber: Haluan