DEMOCRAZY.ID - Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Sidarto Dhanusubroto, mengaku kecewa dengan Mulyono, nama yang belakangan identik dengan Jokowi.
Hal itu lantaran Jokowi setelah selesai menjabat sebagai presiden, justru menjadi juru kampanye di Pilkada ketimbang bertindak negarawan.
"Soal Jokowi, kebetulan saya dua periode jadi Wantimpres, saya dekat, mulai dia dari wali kota, gubernur, jadi presiden, saya sangat dekat. Tapi enam bulan ini saya kecewa sekali dengan Mulyono. Tulis, enggak apa-apa. Kecewa sekali," kata Sidarto dalam diskusi yang digelar Imparsial bersama Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, bertajuk "Dinamika Politik dan Keamanan Jelang Pilkada: Bayang-Bayang Jokowi di Rezim Prabowo", pada Senin (25/11/2024), di Tebet. Jakarta Selatan.
Menurut Sidarto, Jokowi dibesarkan oleh orang tuanya di PDIP, mulai dari pengusaha kayu, menjadi wali kota, gubernur. Tapi sekarang, Jokowi justru melawan orang tuanya.
"Baik tidak itu? Sangat tidak baik. Kalau dia pensiun, seharusnya dia seorang sosok negarawan. Bukan memihak justru lawan politik dari PDIP. Dia melawan orang tua yg membesarkan dia. Sangat tidak baik," tegas Sidarto.
"Saya dekat dengan beliau, dalam six month terakhir, saya kecewa sekali dengan dia dukung Ahmad Luthfi," tandasnya.
Terkait netralitas Polri-TNI di pilkada serentak, Sidarto mengatakan, memahami demokrasi di Indonesia cukup dengan istilah NPWP.
Yakni kependekan dari "Nomor Piro, Wani Piro". Atau artinya "Nomornya berapa, Beraninya Bayar Berapa".
"Bagi saya, demokrasi di Indonesia itu masih NPWP, Nomor Piro Wani Piro, jadi apa saja. Jadi kepala daerah, anggota dewan, jadi apa saja itu semua dengan uang," kata Sidarto.
Uang di pemilu itu, datang dari para oligarki yang akan mengambil kembali lewat proyek-proyek di pemerintahan yang disengaja agar bisa berulang kali dilakukan.
"Untuk jadi gubernur ratusan M, dibantu bohir, nanti waktu jadi, proyek diambil bohir, akhirnya apa, dalam 20 tahun jalan, jembatan ambrol kabeh," katanya.
"Dengan bangunan seperti sekarang yang dibantu bohir karena pemilihan NPWP tadi, di Eropa di negara maju, tokoh itu dibiayai publik. Obama menjadi presiden dua kali dibiayai publik. Kamala Harris walaupun kalah dibiayai publik. Di sini, tokoh membiayai publik, inilah sumber korupsi di sini, ya," tandasnya.
Sumber: Inilah