Prabowo dan Jokowi: 'Paradoks Kepemimpinan dan Kritik Terhadap Pembangunan Yang Tak Berbuah'
Sepuluh tahun di bawah kepemimpinan Joko Widodo telah membentuk lanskap fisik Indonesia dengan pembangunan infrastruktur yang masif.
Namun, tak dapat disangkal bahwa keberhasilan ini hanya terlihat secara fisik, tanpa menghasilkan dampak ekonomis yang signifikan bagi rakyat.
Jalan-jalan tol, bandara, dan pelabuhan yang dibangun Jokowi memang tampak megah, tetapi tak membawa peningkatan ekonomi yang dirasakan secara nyata.
Infrastruktur ini, dalam banyak kasus, malah menambah beban utang dan tidak menggerakkan ekonomi akar rumput, yang seharusnya menjadi fokus pembangunan.
Sementara itu, sosok Prabowo Subianto membawa sebuah harapan baru dengan pendekatan yang berbeda.
Dengan perpustakaannya yang kaya akan literatur dan pengalaman militernya yang luas, Prabowo hadir sebagai pemimpin yang tidak hanya memahami strategi tetapi juga menekankan pentingnya kemandirian nasional.
Kepemimpinannya diharapkan membawa arah pembangunan yang lebih fokus pada kesejahteraan rakyat ketimbang sekadar tampilan fisik infrastruktur.
Prabowo memahami bahwa membangun negara bukan sekadar mengejar proyek besar, melainkan menciptakan kebijakan yang efektif dan berkelanjutan.
Paradoks ini menjadi semakin jelas: Jokowi membangun infrastruktur besar tanpa dasar perencanaan ekonomi yang kuat, sementara Prabowo berpotensi menawarkan kepemimpinan yang lebih realistis dan berbasis pada pengembangan yang terukur.
Dalam hal ini, apa yang dilakukan Jokowi bisa dibilang sebagai “pembangunan tanpa jiwa,” yang hanya memperlihatkan hasil fisik tanpa substansi ekonomis bagi rakyat.
Di sisi lain, Prabowo membawa harapan untuk perubahan, yang didasarkan pada langkah-langkah strategis, pengelolaan sumber daya yang lebih efisien, dan kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan.
Kritik terhadap Jokowi cukup tegas: meskipun terlihat membangun, ia gagal menghadirkan pembangunan yang berdampak pada peningkatan ekonomi rakyat.
Infrastruktur yang dibangun tidak membawa manfaat signifikan bagi kesejahteraan atau penurunan kemiskinan.
Ketidakefektifan ini telah menciptakan “padang pasir” pembangunan—di mana megahnya infrastruktur berdiri tetapi kering manfaat.
Di bawah kepemimpinan Prabowo, harapan baru ini diibaratkan setetes air di tengah padang tandus.
Harapan rakyat adalah agar Prabowo mampu mengubah setetes harapan itu menjadi sungai yang mengalir, menyuburkan perekonomian Indonesia secara luas.
Jika ia dapat mewujudkan janji-janji dan aspirasi yang ia bawa, maka Prabowo akan menjadi pemimpin yang berbeda dari Jokowi: bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga menciptakan fondasi ekonomi yang kuat bagi kesejahteraan rakyat.
Dalam hal ini, jelas terlihat bahwa kepemimpinan bukan hanya soal pembangunan fisik, melainkan hasil nyata yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Paradoks Jokowi dan Prabowo mencerminkan dua jalan yang berbeda: satu membangun tanpa arah ekonomis yang kuat, dan satunya lagi membawa harapan untuk pembangunan yang lebih berakar pada kebutuhan nyata rakyat.
Sumber: FusilatNews