'Plus Minus Kabinet Gemoy'
Prabowo Subianto terpilih menjadi Presiden RI pada Pemilu 2024 setelah melalui perjuangan politik yang terbilang sangat berat, juga masa penantian yang panjang. Jika dihitung dari mulai ia mengikuti konvensi Partai Golkar, lebih dari empat periode politik telah dilaluinya.
Dalam tiga kali kompetisi sebagai capres yang ia jalani, koalisi untuk mengusung namanya mengalami apa yang bisa disebut dengan istilah yang digunakan oleh anak-anak muda yang sedang menjalin cinta, “putus sambung.”
Di dalamnya bahkan terjadi pula yang bisa disebut sebagai “pengkhianatan,” karena tawaran dari pihak lain terlihat lebih menggiurkan. Hanya PAN (Partai Amanat Nasional), partai politik selain Gerindra, yang selalu setia dan tak pernah “pindah ke lain hati.”
Nampaknya, hanya visi yang sangat kuatlah yang membuat Prabowo tetap bertahan untuk menjalani perjuangan politik, bahkan sampai usianya yang memasuki kepala tujuh. Memang, Prabowo berbeda dengan kebanyakan politisi yang memiliki target politik bertahap, misalnya memulai dari kepala daerah atau anggota legislatif.
Prabowo sejak awal masuk dunia politik langsung mengincar posisi dalam rumpun eksekutif tertinggi. Pertama kali maju dalam Pilpres sebagai cawapres di Pemilu 2009 mendampingi Megawati dan gagal, setelah itu selalu maju sebagai capres.
Kekalahan dalam dua kompetisi yang pertama sebagai capres, yakni pada tahun 2014 dan 2019, nampaknya membuat Prabowo menyadari bahwa diperlukan perubahan strategi dan taktik dalam menghadapi pemilih di Indonesia. Terlebih setelah satu periode politik masuk ke dalam kabinet Jokowi, nampaknya Prabowo makin mengakomodasi langgam politik populis untuk meraih simpati pemilih dan meningkatkan elektabilitas. Ini nampak dari penampilan Prabowo di hadapan massa yang sangat berbeda dengan ketika berada di ruang-ruang yang terbatas.
Jika dalam pilpres-pilpres sebelumnya Prabowo menampakkan diri sebagai figur yang tegas, dengan karakter militer dan gaya berapi-api, maka dalam Pemilu terakhir, Prabowo lebih sering tampil santai, bahkan dengan joget yang kemudian terkenal sebagai joget gemoy.
Strategi yang juga sangat menentukan kemenangannya adalah mengunci Jokowi untuk mendukung dirinya dengan menjadikan Gibran sebagai cawapresnya. Posisi Gibran sebagai cawapresnya membuat Jokowi dan PDI-Perjuangan mengalami pecah kongsi.
Implikasinya adalah suara PDI-Perjuangan dan Jokowi yang dalam dua periode politik solid menjadi terbelah, sehingga terjadi penurunan dukungan kepada PDI-Perjuangan, terlebih kepada pasangan capres-cawapres yang diusung oleh PDI-Perjuangan, karena berpindah kepada Prabowo-Gibran. Karena itulah, setelah benar-benar terpilih, Prabowo mau tidak mau harus mengawali kepemimpinannya dengan menggunakan politik akomodasi. Tentu saja, yang tidak bisa tidak diakomodasi adalah kepentingan politik Jokowi.
Bahkan, walaupun beredar isu fufufafa yang mengarah kepada Gibran. Banyak menteri yang diangkat Prabowo adalah bekas menteri era Jokowi, sehingga istilah “zaken cabinet” diplesetkan oleh beberapa kritikus menjadi “second cabinet.”
Namun, mengakomodasi kekuatan pendukung Jokowi saja, tanpa mengakomodasi kekuatan politik lainnya, akan membuat Prabowo terdesak. Untuk mengimbanginya, Prabowo merangkul seluruh kekuatan politik dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk kekuatan politik di luar partai politik yang berpotensi menjadi pembantu maupun sebaliknya, pengganggu.
PDI-Perjuangan yang merasa telah dikhianati oleh Jokowi pun dibukakan peluang untuk masuk ke dalam pemerintahan. Belasan bahkan puluhan anggota kabinet Merah Putih juga berasal dari ormas-ormas Islam. Tak tanggung-tanggung, Sekjend Muhammadiyah dan NU masuk ke dalam kabinet baru ini.
Prof. Abdul Mu’ti, Sekjend Muhammadiyah, menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Sedangkan Saifullah Yusuf, Sekjend NU, kembali menjadi Menteri Sosial. Masih ada cukup banyak nama lain dari kedua ormas besar ini dan juga ormas yang lain yang sebelumnya tidak pernah masuk dalam lingkaran kekuasaan politik eksekutif.
Pilihan politik akomodasi itu tentu memiliki konsekuensi, salah satunya postur kabinetnya menjadi sangat gemuk. Bahkan beberapa nama bisa dikatakan cukup mengejutkan untuk masuk ke dalam jajaran pembantunya. Sebut saja di antaranya adalah Veronica Tan, mantan istri Ahok.
Semua itu dilakukan untuk memenuhi kepentingan politik agar masa awal kepemimpinannya tidak bergeloak, dengan konsekuensi jumlah anggota kabinet Prabowo mencapai lebih dari 100 orang menteri dan wakil menteri. Hal ini menyebabkan Prabowo dihujani kritik dari banyak pihak.
Karena itu, terdapat plus minus pada kabinet gemoy yang diberi nama Kabinet Merah Putih yang disusun oleh Prabowo ini. Nilai plusnya di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, lebih banyak kekuatan yang berkontribusi dalam pemenangan Prabowo bisa terangkut ke dalam gerbong kabinet. Politik dalam praktik tidak bisa diingkari adalah “dagang sapi” dan juga balas budi. Seorang pemimpin politik yang ingin memiliki kepemimpinan yang stabil harus memiliki kemampuan untuk membagikan kekuasaan secara efektif.
Apalagi, jika pembagian kekuasaan itu juga didasarkan pada pertimbangan kemampuan untuk menjalankan kerja untuk mewujudkan visi politik, bukan sekadar kerja politik untuk memenangkan perebutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan hanyalah awal yang harus bisa dilanjutkan dengan kerja politik untuk mewujudkan program. Di sinilah Prabowo akan mempertanggungjawabkan kinerja kabinet gemoynya.
Kedua, Prabowo membutuhkan mesin turbo untuk bisa menjalankan program-program besar yang dijanjikannya untuk melakukan perbaikan mendasar di segala lini kehidupan. Sebagai seorang mantan militer dengan jiwa patriotik dan pemahaman kebangsaan yang tidak diragukan, Prabowo memiliki visi untuk membangun daya saing bangsa Indonesia. Dia adalah figur yang sangat memperhatikan data saintifik. Karena itu, buku-buku karya Prabowo sangat sarat dengan data.
Dari data itu, Prabowo nampaknya memandang bahwa di antara jalan paling strategis untuk mewujudkan daya saing itu adalah mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi negara. Namun, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak cukup hanya dengan memberikan fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan yang tidak didukung oleh kualitas manusia untuk menjadi SDM unggul juga tidak akan berarti signifikan.
Karena itulah, Prabowo membangun struktur kementerian secara lebih fokus, di antaranya yang mengurusi urusan pangan, dan ini telah lama menjadi perhatiannya. Inilah cara berpikir yang komprehensif dan sekaligus radikal. Dia merunut akar persoalan kualitas manusia bangsanya. Sebab, berdasarkan temuan modern, kecerdasan juga disebabkan oleh faktor gizi. Bahkan gizi menjadi faktor utama. Ini menggeser paradigma lama bahwa kecerdasan dipengaruhi oleh keturunan. Karena itulah, stunting menjadi pekerjaan yang harus diselesaikan.
Hanya jika rakyat, terutama anak-anak mendapatkan asupan gizi yang cukup, maka mereka akan bisa dididik, minimal bisa dilatih agar memiliki daya saing. Tentu saja, juga harus ditopang dengan sistem kesehatan yang berkualitas pula. Dengan demikian, Indonesia bisa berkompetisi dalam lingkup global.
Kedua, menghilangkan kekuatan politik yang hendak melakukan politik destruktif. Dalam Pilpres 2024, ada empat partai besar dan menengah yang tidak berada dalam barisan Prabowo, yaitu PDI-Perjuangan, PKB, Partai Nasdem, dan PKS.
Jika empat partai ini membangun koalisi untuk membangun oposisi, walaupun masih kalah jumlah dibandingkan pendukung pemerintah, tetap saja berpotensi untuk mengganggu pelaksanaan program-program yang telah dicanangkan oleh Prabowo. Karena itu, Prabowo berusaha agar partai-partai itu bergabung dalam koalisinya, di samping untuk mengimbangi kekuatan politik yang tidak bisa secara total dia kendalikan.
Namun, nilai minus dari postur gemuk ini juga tidak bisa diingkari, di antaranya:
Pertama, terkesan kurang sensitif terhadap nasib sebagian rakyat yang mengalami kesulitan ekonomi. Sebab, pembengkakan anggaran untuk anggota kabinet gemoy ini diperkirakan mencapai 81%. Mestinya dalam keadaan sulit sekarang ini, Prabowo menunjukkan rasa empati itu dengan cara mengurangi beban anggaran.
Di antara yang bisa ditempuh adalah membangun kabinet yang ramping. Agar kesan tidak empatik ini tidak membesar, maka Prabowo harus mampu menunjukkan bahwa kabinet yang gemuk itu benar-benar akan dijadikan alat olehnya untuk melakukan akselerasi kinerja guna mewujudkan visi besarnya, bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan semata. Karena itu, Prabowo dituntut untuk benar-benar tegas kepada para pembantunya untuk bekerja “selama 26 jam” dalam sehari semalam. Siapa saja yang tidak mampu menjalankan tugas secara optimal, maka harus segera diberhentikan. 100 hari terlalu lama untuk melakukan tindakan tegas itu.
Kedua, melawan arus paradigma tentang perlunya oposisi loyal. Sebagai negara demokrasi, oposisi sudah dipandang sebagai sebuah keniscayaan untuk membangun mekanisme checks and balances. Agar oposisi tidak dikesankan secara negatif, maka yang harus dilekatkan pada pihak oposisi adalah loyalitas kepada negara.
Maksudnya adalah sikap politik oposisi sesungguhnya adalah juga bentuk tanggung jawab kepada negara yang bertujuan agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan. Maka oposisi sesungguhnya adalah langkah politik yang terpuji. Namun, Prabowo nampaknya memiliki pandangan yang berbeda. Prabowo tidak begitu saja mengambil konsepsi dan paradigma politik demokrasi barat dengan keharusan adanya oposisi itu.
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo menyampaikan pandangannya bahwa demokrasi Indonesia memiliki karakter yang berbeda dengan demokrasi di Barat. Karena itu, checks and balances untuk membangun pemerintahan atau penyelenggaraan negara yang bersih dan profesional tetap bisa dilakukan walaupun seluruh kekuatan politik masuk ke dalam barisan pemerintah, karena masih ada DPR yang tetap bisa bersikap kritis.
Ketiga, dikhawatirkan terjadi kongkalikong yang akan menyebabkan kesulitan memberantas korupsi. Kekhawatiran ini disebabkan oleh biaya politik yang tinggi. Pemilu di Indonesia sangat padat modal, sehingga menyebabkan partai-partai politik berpotensi besar menggunakan kekuasaan untuk berburu rente.
Caranya adalah memainkan APBN. Tujuannya jelas agar dalam Pemilu 2029 mereka mampu untuk menggerakkan mesin politik dalam rangka mendapatkan dukungan rakyat dengan politik uang. Bisa dikatakan bahwa kekuatan politik yang ada saat ini adalah hasil dari praktik politik uang. Dan ini membutuhkan biaya yang sangat besar.
Jika semua partai politik tersedot ke dalam pemerintahan, maka kekuatan politik korektif akan menjadi lemah, sehingga tidak mampu mencegah penyelewengan kekuasaan, terutama dalam bentuk korupsi. Yang terjadi hanyalah politik “tahu sama tahu.” Sebab, semua membutuhkan logistik besar untuk memenuhi kebutuhan menjalankan praktik politik uang.
Namun, sesungguhnya baik-buruk penyelenggaraan pemerintahan dan juga negara ini sangat ditentukan oleh pemimpin tertinggi. Semuanya berpulang kepada Pak Prabowo. Kendali terkuat tetap ada di tangannya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Sumber: INILAH