DEMOCRAZY.ID - Perhelatan Pilkada Serentak 2024 yang dilakukan pada 27 November 2024, bukan sekedar menjadi momentum pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Selain memilih kepala daerah, Pilkada Serentak juga memiliki muatan serta nilai politik untuk terus mempertahankan jaring kekuasaan dari pemerintahan sebelumnya.
Karena itu, upaya rakyat Indonesia dalam menilai kinerja Kabinet Merah-Putih tidak bisa sepenuhnya lepas dari peta politik yang tergambar dalam pelaksanaan Pilkada Serentak.
Salah satu bentuk upaya untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan dari pemerintah sebelumnya, adalah adanya kecenderungan membiarkan Fufufafa.
Pernyataan sarkastik dari sosok dibalik pemilik akun kaskus Fufufafa yang ditengarai merupakan Gibran Rakabuming, akan dapat tertutup melalui kanal kekuasaan.
Untuk itu dalam menilai 100 hari Kabinet Merah-Putih, masyarakat perlu memperhatikan spektrum lebih dalam dan luas saat mencermati fenomena Fufufafa.
Pandangan terkait Pilkada Serentak sebagai bagian dari stabilitas kekuasaan dan warisan politik Jokowi, merupakan pernyataan dari Peneliti Hukum Bivitri Susanti.
“Pasti Pak Prabowo bukannya nggak tahu, karena semua laporan aparatur negara itu ke Presiden pada akhirnya,” ungkap Bivitri dalam sebuah kajian diskusi.
Upaya penguasa untuk menjaga kestabilan politik, selain terlihat dari perhelatan Pilkada Serentak juga dapat tercermin melalui akses-akses laporan pengaduan masyarakat.
Belum adanya tindakan hukum apapun menyangkut pemilik akun Fufufafa, menurut Bivitri merupakan suatu hal yang patut dipertanyakan oleh publik.
Tidak adanya penanganan pidana terhadap pemilik akun Fufufafa, menurut Bivitri lebih disebabkan karena masih kuatnya faktor politik.
Sehingga salah satu cara untuk dapat menyelamatkan Indonesia di masa depan adalah dengan pendekatan politik melalui pemakzulan yang diusulkan DPR kepada MPR.
Berdasarkan konstitusi, selain karena korupsi dan berkhianat, seorang Presiden atau Wakil Presiden dapat dimakzulkan apabila terbukti melakukan tindakan tercela.
Bentuk tindakan tercela yang dapat menjadi penyebab pemakzulan, menurut Bivitri adalah ketidak-sesuaian antara adab, perilaku dengan syarat seorang Kepala Pemerintahan.
“Begitu adab, tindak-tanduknya, pikirannya tidak sesuai dengan syarat dan janji seorang Presiden dan Wakil, dia kena pasal pemakzulan,” jelas Bivitri.
Lebih lanjut, Bivitri menilai proses yang dilalui Gibran untuk menjadi seorang Wapres juga tidak sepenuhnya sejalan dengan peraturan perundang-undangan.
Meski langkah proses penegakan hukum telah dilakukan dan upaya pelaporan dijalankan oleh sejumlah kalangan, namun terbentur pada aspek kekuasaan.
Karenanya, untuk bisa mengurai persoalan yang timbul karena muatan politik, Bivitri menilai dapat dilakukan dengan memadukan aspek hukum dan politik.
Sumber: AyoJakarta