CATATAN HUKUM POLITIK

Penghapusan Kasus Gratifikasi Untuk Kaesang: 'Ironi Hukum dan Kronisme Oleh KPK'

DEMOCRAZY.ID
November 06, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Penghapusan Kasus Gratifikasi Untuk Kaesang: 'Ironi Hukum dan Kronisme Oleh KPK'


Penghapusan Kasus Gratifikasi Untuk Kaesang: 'Ironi Hukum dan Kronisme Oleh KPK'


Oleh: Damai Hari Lubis

Pengamat Hukum & Politik


Abstrak: Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang Pangarep mengundang tanda tanya besar. 


Ironisnya, KPK, yang sejatinya berperan sebagai lembaga anti-korupsi, justru terkesan menyuburkan celah penyalahgunaan kekuasaan dan memperkuat kronisme.


Esai


Dalam sebuah negara yang menempatkan hukum di atas segala-galanya, keputusan KPK terkait “nebeng jet pribadi” oleh Kaesang Pangarep—putra Presiden Jokowi—terasa sebagai tamparan keras bagi keadilan. 


Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK, menjelaskan bahwa tindakan Kaesang tidak memenuhi unsur gratifikasi. 


Alasannya, jasa yang diterima berupa penggunaan jet pribadi hanya dapat dinikmati oleh penerimanya secara langsung, bukan oleh pejabat publik atau orang tua Kaesang yang kebetulan adalah presiden dan kepala daerah. 


Menurut Ghufron, hal ini memisahkan kasus Kaesang dari delik gratifikasi.


Namun, apakah logika ini bisa diterima secara akal sehat? Keputusan ini membuka pintu yang lebar untuk praktik kronisme dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. 


Jika Kaesang bisa “nebeng” fasilitas bernilai miliaran rupiah tanpa dianggap sebagai gratifikasi, maka logika hukum ini bisa diterapkan pula pada banyak anak pejabat. 


Mereka bisa saja menerima fasilitas mahal atas nama pribadi tanpa implikasi hukum bagi orang tua mereka yang duduk dalam lingkaran kekuasaan.


Keputusan KPK ini sama saja dengan memberikan pembelajaran hukum yang menyesatkan bagi publik. Tidak hanya mencederai keadilan, tapi juga menanamkan pemahaman keliru pada generasi berikutnya. 


Bahwa “asal untuk anak pejabat yang telah menikah dan tidak satu rumah,” maka segala bentuk pemberian atau fasilitas mewah bisa bebas dari jerat hukum. 


Ironisnya, keputusan ini seolah mengajarkan publik cara meloloskan diri dari jerat gratifikasi, memberikan contoh bahwa hukum bisa dimainkan demi kepentingan kroni.


Jika logika hukum ini terus diterapkan, apa dampaknya bagi integritas hukum kita? Negara akan dibanjiri kasus serupa, di mana keluarga pejabat dan anak-anak mereka bisa menerima berbagai fasilitas dari para konglomerat dengan dalih “bukan untuk pejabat negara.” 


Tentu ini bukan Indonesia yang diinginkan oleh rakyat, yang mendambakan hukum yang jernih dan tegas.


Pertanyaannya sekarang, apakah ada tindakan konkret dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden mendatang untuk membenahi ironi ini? Karena jika dibiarkan, KPK bukan lagi sebagai “Komisi Pemberantasan Korupsi,” melainkan “Komisi Penyubur Korupsi” yang berpotensi merusak tatanan hukum dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. ***

Penulis blog