DEMOCRAZY.ID - Terpilihnya Hakim Agung Sunarto sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) diharapkan menjadi momen penting untuk memperbaiki berbagai kekeliruan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Sejumlah pakar hukum dan akademisi dari Universitas Diponegoro (UNDIP) menyampaikan keprihatinan mereka terhadap kasus Mardani H. Maming, yang diyakini menjadi korban dari praktik makelar kasus di lingkungan peradilan.
Kritik terhadap Putusan Hakim dan Mafia Peradilan
Prof. Yos Johan Utama, Guru Besar Hukum Administrasi UNDIP, mengungkapkan adanya kekeliruan dalam putusan hakim yang menghukum Mardani H. Maming terkait dugaan suap dan gratifikasi saat menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Menurutnya, tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menghukum Maming karena keputusan administratif yang dibuatnya seharusnya sah, apalagi tidak ada keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang membatalkan izin tersebut.
“Pengadilan Tipikor tidak memiliki kewenangan untuk menilai keabsahan keputusan administrasi,” kata Prof. Yos, menegaskan bahwa kasus Maming seharusnya tidak masuk ranah pidana.
Mantan Rektor UNDIP ini menyebut, Pasal 97 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara, yang dijadikan dasar tuntutan, sejatinya hanya berlaku untuk pemegang izin, bukan untuk pejabat yang mengeluarkan izin tersebut.
Dugaan Peran Mafia Peradilan
Selain itu, nama mantan Pejabat Eselon I Mahkamah Agung, Zarof Ricar, disebut-sebut terkait dengan praktik makelar kasus yang turut membentuk opini di kalangan pakar bahwa Maming bisa jadi korban rekayasa.
“Kejaksaan harus menelusuri kasus-kasus yang ditangani Zarof, termasuk memastikan apakah ada korban yang hanya menjadi kambing hitam," ujar Prof. Mahfud MD, mengutip pernyataannya dalam video YouTube.
Kajian Hukum Administrasi dan Pidana oleh UNDIP
Pengkajian oleh Fakultas Hukum UNDIP, yang melibatkan Prof. Retno Saraswati, Prof. Yos Johan Utama, dan akademisi lainnya, menyoroti bahwa kesalahan dalam kasus Maming tampak pada interpretasi transaksi keperdataan sebagai suap.
"Tidak ada bukti konkret yang menunjukkan kejanggalan dalam transaksi perusahaan yang melibatkan PT Prolindo Cipta Nusantara dan PT Angsana Terminal Utama,” kata Prof. Retno Saraswati, Dekan Fakultas Hukum UNDIP.
Ia menyebutkan bahwa keputusan majelis hakim dalam kasus ini terkesan terburu-buru dan tidak didukung fakta yang akurat.
Analisis para pakar dari UNDIP menyimpulkan bahwa transaksi bisnis yang dilakukan oleh perusahaan terkait Maming adalah legal, dan tidak dapat dijadikan dasar dalam pidana.
Selain itu, perizinan tambang telah mendapatkan sertifikat Clear and Clean (CnC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang menegaskan bahwa proses tersebut sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dorongan untuk Peninjauan Kembali
Para pakar hukum, termasuk Prof. Dr. Yunanto dan Dr. Eri Agus Priyono, mendesak MA untuk mempertimbangkan peninjauan kembali atas putusan yang dianggap cacat hukum ini.
Kajian Fakultas Hukum UNDIP yang disusun dalam anotasi menegaskan bahwa hakim keliru menilai transaksi perusahaan sebagai kamuflase suap.
“Harapannya, peninjauan kembali ini tidak hanya membantu Maming tetapi juga memperbaiki sistem hukum agar lebih adil,” kata Dr. Mahrus Ali, Pengajar Hukum Pidana di UNDIP.
Kasus ini mencerminkan kekhawatiran serius terhadap independensi peradilan di Indonesia.
Jika makelar kasus bisa mempengaruhi putusan untuk memidana pihak yang tak bersalah, maka reformasi hukum menjadi semakin mendesak.
Sumber: KrJogja