Beranda
CATATAN
POLITIK
'Meragukan Tuan Sekondan'


'Meragukan Tuan Sekondan'


Dalam soal diragukannya kapasitas wakil kepala negara/kepala pemerintahan, politik dunia punya banyak contoh nyata. Misalnya Spiro Agnew, wakil presiden Amerika Serikat pada era Richard Nixon. Agnew sering dipandang lemah, dan reputasinya sebagai sosok yang kontroversial membuatnya tidak dipercaya masyarakat luas. Dalam karyanya, “Nixonland” (2008), Rick Perlstein  mengungkapkan bagaimana posisi Agnew sebagai wakil presiden penuh dengan kontroversi, mulai dari korupsi hingga ketidakmampuan diplomatik, yang pada akhirnya memaksa dia untuk mengundurkan diri.


Selama 16 hari di November ini Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan untuk melakukan perjalanan luar negeri. Kunjungan tersebut dimulai dengan pertemuan di Tiongkok (China) pada 8-10 November, diikuti dengan kehadirannya di Washington D.C, AS, untuk menghadiri pertemuan APEC pada 13-16 November, sebelum terbang guna menghindari absen di  KTT G20 Brasil pada 14-16 November.


Rangkaian lawatan tersebut bertujuan mempererat hubungan bilateral serta membahas isu-isu strategis di bidang perdagangan, pertahanan, dan teknologi dengan pemimpin negara-negara mitra.


Namun, seiring itu, kunjungan panjang ini pun menimbulkan pertanyaan di dalam negeri, terutama tentang bagaimana Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan menjalankan tugasnya sebagai pengganti sementara Presiden.


Di ruang publik dan media sosial, keraguan terhadap kemampuan Gibran untuk memegang peran vital ini telah lama mencuat. Banyak yang mempertanyakan apakah putra Presiden Jokowi itu memiliki kapasitas yang memadai untuk mengisi kursi kepala negara, meski hanya untuk sementara waktu? 


Keraguan itu tidak semata-mata soal usia muda Gibran, melainkan juga mencerminkan kekhawatiran tentang kesiapan dan kompetensi yang bagi banyak kalangan mungkin belum cukup teruji.


Bisakah Gibran jadi Sekondan?


Dalam dunia catur, istilah "sekondan" merujuk pada individu yang tidak hanya mendampingi, tetapi juga mengatur strategi untuk sang juara. Di kejuaraan dunia, sekondan adalah figur penting yang merancang langkah-langkah mengejutkan: membantu pemain melihat kelemahan lawan, dan memastikan pemain tetap unggul dalam setiap pertandingan.  


Dalam konteks politik, lebih jauh posisi "sekondan" tidak hanya membutuhkan strategi, tetapi juga keberanian dan kapasitas untuk memimpin dalam situasi darurat.


Publik tampaknya belum melihat Gibran sebagai sekondan yang mewakili arti mendalam tersebut. Analogi ini semakin kuat jika menilik respons masyarakat yang didokumentasikan dalam survei-survei mutakhir. 


Hasil survei Charta Politika yang dilakukan pada Oktober 2023 mengungkapkan bahwa 48,9 persen responden merasa Gibran belum pantas maju sebagai calon wakil presiden, terutama dengan alasan keterbatasan pengalaman dan usia yang relatif muda. Angka itu jelas memperlihatkan bahwa sebagian besar publik masih meragukan kemampuannya.


Keterlanjuran tudingan "Nepo Baby"


Selain minim pengalaman, Gibran juga menghadapi stigma sebagai bagian dari dinasti politik Jokowi. Sebuah artikel Al Jazeera pada Desember 2023 bahkan menyebutnya sebagai "nepo baby"--istilah populer yang merujuk pada figur nan meraih posisi atau popularitas berkat koneksi keluarga. 


Dalam artikel berjudul "Indonesian leader’s son brushes off ‘nepo baby’ tag in feted debate showing," Al Jazeera menyoroti bagaimana kritik nepotisme menjadi sorotan utama dalam pencalonannya sebagai wakil presiden.  Dalam konteks ini, Gibran harus menghadapi persepsi publik yang memandangnya lebih sebagai putra presiden (sebelumnya) ketimbang seorang pemimpin yang berprestasi.


Kritik terhadap dinasti politik tidak hanya terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, Financial Times pada 24 Agustus 2024 menulis artikel "Nepo baby leaders are stifling south-east Asia". Artikel itu membahas bagaimana dominasi keluarga politik di Asia Tenggara dapat menghambat kompetisi dan perkembangan politik yang sehat, dengan mengajukan calon-calon bertalian darah, meski tak jarang kapasitasnya sangat layak dipertanyakan. 


Seringkali keraguan publik terhadap dinasti politik muncul karena kurangnya bukti kompetensi yang nyata dan kemampuan politik yang sejati. Publik umumnya lebih percaya bahwa calon-calon “anak papi-mami” itu kurang memiliki bukti kompetensi dan prestasi nyata.


Dalam soal diragukannya kapasitas wakil kepala negara/kepala pemerintahan, politik dunia punya banyak contoh nyata. Misalnya Spiro Agnew, wakil presiden Amerika Serikat pada era Richard Nixon. Agnew sering dipandang lemah, dan reputasinya sebagai sosok yang kontroversial membuatnya tidak dipercaya masyarakat luas. 


Dalam karyanya, “Nixonland” (2008), Rick Perlstein  mengung-kapkan bagaimana posisi Agnew sebagai wakil presiden penuh dengan kontroversi, mulai dari korupsi hingga ketidakmampuan diplomatik, yang pada akhirnya memaksa dia untuk mengundurkan diri.


Contoh lainnya adalah George Bush Sr., yang awalnya diragukan saat menjabat sebagai wakil presiden di bawah Ronald Reagan. Namun, setelah menjalani beberapa periode dan memperlihatkan kapasitasnya, Bush akhirnya berhasil meraih kepercayaan publik dan terpilih sebagai presiden berikutnya.


Fakta di atas menunjukkan bahwa meski awalnya diragukan, wakil kepala negara sejatinya memiliki peluang untuk mengukir kepercayaan public, asalkan mampu menunjukkan performa yang kuat dan relevan.


Mengapa publik meragukan Gibran?


Keraguan publik terhadap Gibran tampaknya didasari oleh beberapa faktor utama: usia muda, kurangnya pengalaman di level nasional, dan stigma dinasti politik. Dalam buku yang disunting Peter Burnell, Vicky Randall, dan Lise Rakner, “Politics in the Developing World” (2019), eksplisit dinyatakan bahwa kepercayaan publik pada pemimpin cenderung terbentuk berdasarkan rekam jejak dan kapasitas dalam menghadapi situasi krisis.


Gibran, yang sebelumnya hanya memiliki pengalaman sebagai wali kota Solo, dianggap belum memiliki reputasi yang solid di level nasional, yang membuat publik meragukan kapabilitasnya untuk mengatasi masalah yang lebih kompleks.


Faktor lain yang memperkuat keraguan juga persepsi bahwa Gibran hanya akan menjadi "sekondan" tanpa peran nyata dalam pemerintahan. Kritik itu didukung sebuah common sense di dunia politik yang entah awalnya datang dari benak siapa: “a leader’s credibility is built not by association with powerful figures, but through demonstrated ability and independent decision-making.” 


Kredibilitas seorang pemimpin dibangun bukan dari hubungannya dengan tokoh berpengaruh, melainkan melalui kemampuan yang terbukti dan pengambilan keputusan yang mandiri. Selama ini, boleh dibilang publik belum melihat tanda-tanda bahwa Gibran mampu bertindak mandiri dan tegas dalam membuat keputusan besar.


Untuk menepis keraguan tersebut, Gibran perlu menjalankan beberapa strategi. Pertama, ia harus konsisten dalam melanjutkan kebijakan yang sudah ditetapkan Presiden Prabowo selama kunjungannya. Konsistensi ini penting agar masyarakat melihat bahwa ia tidak hanya mengikuti arahan tanpa pemahaman mendalam.


Kedua, Gibran perlu meningkatkan kapasitasnya dalam mengatasi situasi krisis. Studi yang dipublikasikan oleh Brookings Institution pada 2021 menyatakan bahwa "leaders gain public trust in times of crisis by demonstrating calmness, clarity, and capability." 


Tentu kita sama-sama tahu, ketenangan tidak identic dengan diam, apalagi yang menyiratkan kebingungan. Dengan memperlihatkan ketenangan dan kemampuan dalam menghadapi tantangan, Gibran bisa membangun kepercayaan publik.


Ketiga, penting bagi Gibran untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak, terutama para ahli. Menggandeng konsultan politik atau ahli kebijakan publik dapat membantunya membuat keputusan yang lebih matang dan berdasarkan data. Langkah ini akan mengurangi persepsi bahwa ia hanya berada di posisi tersebut karena dinasti politik.


Tentu saja, kepercayaan publik itu membutuhkan waktu dan bukti nyata sebelum ia datang. Publik mungkin baru bisa menerima Gibran jika ia menunjukkan performa yang solid dalam beberapa tahun mendatang. 


Dalam “Why Nations Fail“ yang ditulis Prof Daron Acemoglu dan Prof James Robinson, ada kutipan yang kira-kira menyebutkan bahwa “leadership legitimacy is built on the ability to create and sustain inclusive institutions.” Gibran dapat mengambil pelajaran dari konsep ini dengan menunjukkan bahwa ia mampu menghadirkan kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada kepentingan masyarakat luas.


Kepercayaan publik terhadap Gibran sangat mungkin bisa meningkat seiring berjalannya waktu, andai dan terutama, jika ia menunjukkan bahwa posisinya bukan sekadar simbol dinasti. Ia hars menunjukkan dirinya benar-benar memiliki nilai strategis bagi bangsa. Menjadi sekondan sejati berarti memiliki strategi, kepemimpinan, dan kesiapan untuk menangani tanggung jawab besar. 


Sumber: INILAH

Penulis blog