HUKUM KRIMINAL POLITIK

Membongkar Aliran 'Dana Makelar' Kasus 10 Tahun Zarof Ricar Via Pembuktian Terbalik

DEMOCRAZY.ID
November 05, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
KRIMINAL
POLITIK
Membongkar Aliran 'Dana Makelar' Kasus 10 Tahun Zarof Ricar Via Pembuktian Terbalik



DEMOCRAZY.ID - Bekas pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar diduga berperan sebagai makelar kasus dalam pengurusan perkara kasasi Ronald Tannur.


Pasalnya, saat penggeledahan di rumahnya, tim penyidik menemukan uang senilai hampir Rp1 triliun dan 51 kilogram emas di rumahnya.


Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar mengatakan penyidik Kejagung masih menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak-pihak lain.


“Kalau menerima uang atau aset gratifikasi di atas Rp10 juta, harus bisa dijelaskan asalnya. Zarof sendiri masih diam, jadi kami akan menempuh mekanisme pembuktian terbalik sesuai aturan,” ujar Harli di Kompleks Kejagung Jakarta, Rabu (30/10/2024).


Lantas bagaimana cara membongkar aliran duit haram itu?


Dalam hukum acara pidana secara umum, pembuktian merupakan kewajiban penuntut pada proses persidangan. 


Namun ketika menerapkan pembalikan beban pembuktian biasa dikenal dengan pembuktian terbalik, maka kewajiban pembuktian bukan hanya pada penuntut umum melainkan juga terdakwa.


Metode pembalikan beban pembuktian salah satunya diatur dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Pasal 12 B ayat (1) huruf a dalam undang-undang tersebut berbunyi:


Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:


a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;


Merujuk pada ketentuan ini, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, beranggapan bahwa penerima gratifikasi “wajib membuktikan sebaliknya, bahwa aset yang dianggap tidak wajar tersebut didapat secara benar”.


Menurut Kurnia, jika terdakwa tidak mampu menjelaskan dengan bukti-bukti yang relevan, itu bisa dianggap sebagai dasar pemberat dan kian meyakinkan hakim bahwa aset atau harta kekayaan tersebut diperoleh secara tidak wajar.


Asal-usul harta yang tidak dapat dibuktikan itu kemudian bisa dirampas untuk negara, lanjut Kurnia. 


Kendati begitu, dosen hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, mengatakan bahwa metode pembuktian terbalik di Indonesia masih “bersifat sangat terbatas”.


“Pembuktian terbalik itu bukan di penyidikan dan di penuntutan, tapi di hakim [dalam proses pengadilan],“ kata Yenti saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Senin (4/11/2024) kemarin.


Dalam hal ini, jaksa dan terdakwa sama-sama perlu membuktikan. Sehingga, tegas dia, jaksa tetap harus mencari bukti untuk dibawa ke proses persidangan.


Kemudian hakim di pengadilan yang kelak akan memutuskan berdasarkan apa yang sudah dibeberkan jaksa dan terdakwa. 


Mantan penyidik KPK Novel Baswedan mengatakan, karena proses berlangsung saat persidangan, penyidik Kejagung tetap butuh mengumpulkan bukti-bukti yang kuat.


“Kalau [yang] dilakukan di tindak pidana pencucian uang, caranya adalah: ada aset, mereka—pelaku atau terdakwa—disuruh membuktikan dulu, dari mana asalnya. Penuntut kemudian sudah juga mengumpulkan bukti-bukti, yang dengan bukti-bukti itu men-challenge bukti-bukti dia [terdakwa],” bebernya.


Kendati, menurut Kurnia dari ICW pembalikan beban pembuktian sebetulnya bukan sesuatu yang baru.


Metode formal ini, selain telah diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi juga terdapat pada UU Tindak Pidana Pencucian Uang.


“Cuma, dia [terdakwa] bukan membuktikan kesalahannya. Pembuktian kesalahan tetap berada di penuntut umum. Apa yang dia buktikan? Harta kekayaannya. Harta kekayaannya itu yang dibuktikan sebaliknya, bahwa itu diperoleh secara benar. Jadi kalau dia kena korupsi jenis lain, bukan gratifikasi, harta kekayaan itu enggak wajib dibuktikan," jelasnya.


Sementara Novel Baswedan, mengungkapkan pernah menerapkan metode ini saat menangani perkara korupsi Akil Mochtar yang divonis hukuman penjara seumur hidup karena terbukti bersalah menerima hadiah dan melakukan pencucian uang.


“Kami menemukan ada OTT (operasi tangkap tangan), kemudian ditemukan hartanya banyak. Walaupun pola transaksinya ada beberapa melalui rekening,” kata Novel.


Selain itu, metode serupa diterapkan saat menangani kasus mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Djoko Susilo, terkait korupsi proyek simulator surat izin mengemudi (SIM). 


“Itu juga dia terima, terkait dengan case building, terus kemudian asetnya banyak dan kami kejar dengan TPPU," jelasnya.


Metode ini pun pernah digunakan ketika menangani kasus mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin, yang dijerat korupsi dan pencucian uang.


“Itu dia terima suapnya sekitar berapa miliar, kami bisa temukan sekitar Rp100 miliar. Tapi [untuk kasus Zarof] itu mestinya dilihat dari pokok perkaranya,” jelas Novel.


Pembuktian terbalik efektif?


Yenti Garnasih, pakar hukum pidana pencucian uang, mengatakan pembuktian terbalik mulai dipakai di Indonesia sejak 30 tahun lalu.


“[Digunakan] berkaitan dengan kejahatan ekonomi, kejahatan-kejahatan yang motivasi pelakunya untuk keuntungan ekonomi secara ilegal,” jelas dia.


Metode pembuktian terbalik tidak lantas mengantarkan penyidik Kejagung pada sumber dana ratusan miliar dan belasan kilogram emas itu berasal.


Pakar hukum, pegiat antikorupsi dan mantan penyidik sepakat Kejagung tetap perlu menempuh cara-cara lain untuk merunut dari mana uang-uang itu mengalir hingga bermuara ke Zarof.


Sementara Eks penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, sangsi penyidik Kejagung mampu mengendus aliran dana jika sekadar bertumpu pada asas pembuktian terbalik. Sebab, menurut dia, pembuktian terbalik berbasis pengakuan terdakwa.


“Kan enggak ada [koruptor] yang jujur. Kalau misalnya Zarof tidak berbicara, ya susah. Walaupun kita berharap dia ‘bernyanyi’ ya. Jadi bagi saya, kejaksaan jangan hanya memprioritaskan pada pembuktian terbalik ya. Tapi juga kerja keras mencari kebenarannya,” saran Yudi yang memiliki banyak pengalaman menangani kasus-kasus korupsi peradilan tersebut.


Di sisi lain, Yenti Garnasih yang sejak 2005 menjadi saksi ahli kasus korupsi dan pencucian uang—mengingatkan metode pembuktian terbalik di Indonesia masih bergantung pada putusan hakim.


“Bukan berarti jaksa tidak membuktikan, jaksa juga membuktikan, juga mencari bukti, dan kemudian nanti hakim di pengadilan, setelah semua diperiksa, setelah pembuktian, semua saksi dan semua barang bukti dihadirkan di pengadilan, maka hakim berdasarkan pasal-pasal rujukan memutuskan.” jelas Yenti.


Itu mengapa penyidikan dan penuntutan Kejagung pun harus betul-betul kuat. “Jadi mungkin bahasanya, Kejaksaan Agung berharap, kami semua nanti berharap, dibantu oleh hakim untuk bisa menerapkan pembuktian terbalik," katanya.


Apa yang terbaru kasus Ronald Tannur?


Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan ibu dari terdakwa Ronald Tannur (RT) yang berinisial MW (Meirizka Widjaja) menjadi tersangka baru dalam kasus dugaan suap dalam vonis bebas putranya RT pada perkara penganiayaan berat terhadap Dini Sera Afriyanti.


“Setelah dilakukan pemeriksaan MW sebagai saksi, penyidik menemukan bukti yang cukup untuk tindak pidana korupsi suap atau gratifikasi yang dilakukan oleh MW, sehingga meningkatkan status MW dari saksi menjadi tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (4/11/2024).


Qohar mengatakan, MW menghubungi LR, pengacara Ronald Tannur yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini, dan memintanya menjadi penasehat hukum untuk membela Ronald.


“Kami ketahui bahwa ibunda Ronald Tannur berteman akrab dengan LR karena anak LR dan anak MW atau Ronald Tannur pernah satu sekolah,” ucapnya.


Ia mengungkapkan, MW bertemu LR sebanyak dua kali di suatu kafe pada 5 Oktober 2023 dan di kantor milik LR pada 6 Oktober 2023 untuk membicarakan kasus yang menjerat Ronald.


“LR menyampaikan ke tersangka MW bahwa ada hal-hal yang perlu dibiayai dalam pengurusan kasus Ronald dan langkah-langkah yang ditempuh,” ucapnya.


Selanjutnya, LR meminta kepada Zarof Ricar (ZR) agar diperkenalkan kepada seorang pejabat di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya untuk memilih majelis hakim yang akan menyidangkan perkara Ronald Tannur.


LR juga bersepakat dengan tersangka MW bahwa biaya pengurusan perkara Ronald berasal dari MW dan apabila ada biaya yang dikeluarkan oleh LR terlebih dahulu dalam pengurusan perkara, maka MW akan menggantinya di kemudian hari.


“Dalam permintaan setiap dana, LR selalu minta persetujuan tersangka MW dan LR meyakinkan MW untuk menyiapkan sejumlah uang guna pengurusan perkara Ronald Tannur agar perkara Ronald Tannur tersebut dibebaskan oleh majelis hakim,” kata dia.


Selama pengurusan perkara Ronald, kata Qohar, MW sudah menyerahkan uang kepada LR sejumlah Rp1,5 miliar yang diberikan secara bertahap.


Selain itu, LR juga menalangi sebagian biaya perkara sampai putusan PN Surabaya sebesar Rp2 miliar, sehingga totalnya Rp3,5 miliar.


“Terhadap uang sebesar Rp3,5 miliar tersebut, menurut keterangan LR, diberikan kepada majelis hakim yang menangani perkara tersebut,” ujarnya.


Atas perbuatannya, tersangka MW disangkakan pasal 5 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1, huruf A untuk Pasal ke-18 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi untuk Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.


Adapun tersangka MW telah dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan di Rutan Kelas I Surabaya Cabang Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.


Dengan demikian, MW menjadi tersangka kelima dalam kasus di balik dugaan suap vonis bebas Ronald Tannur.


Sebelumnya, penyidik Jampidsus Kejagung menetapkan tiga hakim PN Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas kepada Ronald Tannur sebagai tersangka kasus dugaan suap.


Tiga hakim yang berinisial ED (Erintuah Damanik), HH (Heru Hanindyo), dan M (Mangapul) itu diduga menerima suap dari pengacara Ronald Tannur berinisial LR yang juga ditetapkan sebagai tersangka atas perannya selaku pemberi suap.


Sumber: MonitorIndonesia

Penulis blog