Masih Nekat Naikkan PPN? Kegagalan Pemerintah Dibebankan Kepada Rakyat!
Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025 menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak.
Kebijakan ini, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bertujuan meningkatkan penerimaan negara.
amun, di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan, kebijakan ini tidak hanya tidak bijak, tetapi juga berpotensi memperburuk kesenjangan ekonomi dan menekan daya beli masyarakat.
Ketika perekonomian nasional sedang melemah, daya beli semakin menurun, dan jumlah kelas menengah terus menyusut, keputusan menaikkan PPN mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa membebani rakyat.
Data ekonomi makro menunjukkan adanya tantangan besar yang dihadapi Indonesia. Pada 2023, total pendapatan nasional mencapai ±Rp 20.000 triliun dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5%. Namun, distribusi pendapatan menunjukkan ketimpangan yang mencolok.
Segmen 20% teratas masyarakat menikmati 45% total pendapatan nasional, dengan 10% teratas menguasai 30%. Sebaliknya, 20% terbawah hanya menikmati 8% pendapatan nasional, meskipun segmen ini sedikit meningkat berkat program bantuan sosial.
Namun, yang menjadi perhatian adalah kondisi kelas menengah yang mengalami penurunan signifikan. Dalam lima tahun terakhir, segmen ini kehilangan proporsi pendapatan yang cukup besar.
Lapisan keempat dan ketiga dari segmen menengah mengalami penurunan pendapatan masing-masing menjadi 14% dan 16%, setara dengan hilangnya sekitar Rp 280 triliun. Penurunan ini sangat berbahaya karena segmen menengah merupakan motor penggerak utama konsumsi domestik yang menyumbang sebagian besar Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Penurunan kelas menengah semakin mengkhawatirkan ketika Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Artinya, dalam lima tahun terakhir, sebanyak 9,48 juta orang kehilangan status kelas menengah mereka.
Fenomena ini mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat akibat tekanan ekonomi yang terus-menerus. Selain itu, deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024 menjadi indikator lemahnya permintaan domestik.
Deflasi yang sering dianggap positif karena menurunkan harga barang, dalam konteks ini, justru menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sangat lemah, sehingga produsen terpaksa menurunkan harga untuk menarik konsumen. Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah sebelum memutuskan untuk menaikkan PPN.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi nasional juga menunjukkan tren perlambatan. Pada kuartal III-2024, pertumbuhan ekonomi tercatat hanya 4,95% year-on-year (yoy), lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya.
Konsumsi rumah tangga, yang merupakan pendorong utama pertumbuhan PDB, hanya tumbuh 4,91%, lebih rendah dari kuartal II yang mencapai 4,93%. Penurunan ini semakin diperburuk oleh peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK), yang mencapai 59.796 orang pada Oktober 2024, naik 31,13% dari tahun sebelumnya.
Kondisi pasar tenaga kerja juga memburuk, dengan proporsi pekerja penuh waktu turun dari 68,92% menjadi 68,06%, sementara pekerja setengah pengangguran meningkat dari 6,68% menjadi 8%. Data ini menegaskan bahwa pasar tenaga kerja, konsumsi domestik, dan daya beli masyarakat sedang berada dalam tekanan besar.
Ketimpangan distribusi pendapatan juga mencerminkan kebijakan fiskal yang tidak adil. Dengan kenaikan PPN menjadi 12%, Indonesia akan memiliki tarif PPN tertinggi di ASEAN, jauh melampaui Malaysia (6%), Singapura dan Thailand (7%), serta Vietnam (10%).
Tarif yang tinggi ini dapat membuat produk dan jasa Indonesia kurang kompetitif di pasar regional, sehingga memperburuk daya saing ekonomi. Beban kenaikan PPN juga tidak merata, karena lebih banyak dirasakan oleh masyarakat menengah dan bawah. Segmen menengah ke bawah, yang proporsi pendapatannya terus menurun, akan terkena dampak langsung berupa kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari.
Sebaliknya, segmen 20% teratas yang menguasai hampir separuh pendapatan nasional relatif tidak terdampak, karena pengeluaran mereka cenderung pada barang premium dan investasi yang kurang elastis terhadap perubahan tarif pajak.
Kebijakan ini juga menunjukkan kurangnya perhatian terhadap pengelolaan belanja negara yang lebih efisien.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk proyek-proyek non-prioritas, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang kontroversial dan penyelenggaraan acara internasional mewah seperti Annual Meeting World Bank-IMF dengan biaya mencapai Rp 1 triliun hanya untuk beberapa hari.
Sementara itu, kebocoran pendapatan negara dari sektor-sektor strategis, seperti industri kelapa sawit, mencapai Rp 300 triliun per tahun akibat penghindaran pajak dan manajemen yang tidak transparan. Ironisnya, di tengah pemborosan anggaran ini, pemerintah justru memilih membebani rakyat dengan menaikkan PPN.
Kritik juga datang dari berbagai elemen masyarakat. Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) menyoroti dampak kenaikan PPN terhadap UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Dengan daya beli kelas menengah yang melemah, UMKM akan kehilangan pasar utama mereka, sehingga sulit untuk bertahan di tengah tekanan biaya yang meningkat akibat kenaikan PPN.
Di sisi lain, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) juga menyatakan kekhawatirannya bahwa kenaikan PPN dapat mengurangi minat wisatawan domestik karena harga barang dan jasa terkait pariwisata menjadi lebih mahal.
Hal ini semakin diperburuk oleh efisiensi belanja pemerintah, seperti pembatasan perjalanan dinas, yang berdampak langsung pada sektor perhotelan yang bergantung pada kegiatan pemerintah.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah seharusnya mencari solusi yang lebih kreatif dan berkeadilan untuk menjaga kesehatan APBN tanpa membebani rakyat.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memajaki kelompok super kaya. Segmen 10% teratas masyarakat, yang menguasai 30% pendapatan nasional, memiliki kapasitas untuk berkontribusi lebih besar tanpa memengaruhi kebutuhan dasar mereka.
Selain itu, pemerintah juga harus mengoptimalkan pendapatan dari sumber daya alam dengan memperketat pengawasan dan menekan kebocoran pajak dari sektor strategis seperti sawit dan tambang. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah memperluas basis pajak dengan mengintegrasikan sektor informal atau *shadow economy* yang selama ini belum tergarap secara optimal.
Efisiensi belanja negara juga menjadi kunci untuk menjaga stabilitas fiskal. Pemerintah harus memprioritaskan anggaran untuk program-program yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, seperti subsidi untuk UMKM dan program bantuan sosial.
Pengeluaran untuk proyek-proyek mewah dan non-prioritas harus dipangkas atau ditunda hingga kondisi ekonomi lebih stabil. Dengan langkah-langkah ini, pemerintah dapat mengurangi defisit anggaran tanpa membebani rakyat melalui kenaikan PPN.
Kenaikan PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang salah arah. Dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan seperti saat ini, kebijakan ini hanya akan memperburuk ketimpangan dan menekan daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Ketika rakyat kecil, seperti driver ojek online, harus bekerja hingga tengah malam hanya untuk mengais penghasilan sepuluh ribu rupiah, apakah layak bagi pemerintah untuk menambah beban mereka dengan kebijakan fiskal yang tidak berkeadilan?
Sebaliknya, pemerintah harus memprioritaskan kebijakan yang mendukung pemulihan ekonomi dengan menciptakan sistem fiskal yang lebih kreatif, efisien, dan adil.
Pemerintah memiliki banyak alternatif untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani rakyat. Memajaki super kaya, mengoptimalkan pendapatan dari sektor strategis, dan memangkas belanja non-prioritas adalah langkah yang jauh lebih bijak dan berkelanjutan. Dengan demikian, stabilitas fiskal dapat tercapai tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat.
Keberhasilan ekonomi suatu negara tidak hanya diukur dari seberapa besar penerimaan negara, tetapi juga dari seberapa adil beban yang dibagi di antara seluruh lapisan masyarakat. Jika pemerintah terus bersikeras menaikkan PPN, maka mereka akan kehilangan kepercayaan rakyat, yang merupakan pilar utama dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.
Sumber: INILAH