POLITIK TRENDING

MAKIN SERU! Ramai Parcok Alias Partai Cokelat, Deddy PDIP Sebut Itu Polisi dan Bersifat Garis Komando: Semua Akan Kami Bongkar di Persidangan!

DEMOCRAZY.ID
November 30, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
TRENDING
MAKIN SERU! Ramai Parcok Alias Partai Cokelat, Deddy PDIP Sebut Itu Polisi dan Bersifat Garis Komando: Semua Akan Kami Bongkar di Persidangan!



DEMOCRAZY.ID - Dalam sebuah keterangan pers yang dipimpin langsung oleh Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, politikus PDI Perjuangan Deddy Sitorus mengungkapkan sejumlah temuan penting mengenai praktik penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan Pilkada 2024.


Sitorus, yang juga anggota legislatif PDI Perjuangan, menyatakan bahwa pilkada kali ini bukan sekadar soal kemenangan atau kekalahan kandidat, melainkan soal “dimenangkan” dan “dikalahkan” oleh pihak-pihak yang seharusnya menjaga integritas proses pemilu.


Menurut Sitorus, beberapa daerah yang rawan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat, termasuk gubernur, sudah disebutkan oleh para pakar hukum tata negara. 


Daerah-daerah tersebut antara lain Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Papua, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara. 


Namun, Sitorus menambahkan bahwa kenyataannya, ada lebih banyak daerah yang terlibat dalam intervensi aparat yang tidak disebutkan dalam laporan tersebut.


“Pilkada kita sudah sangat kental dengan intervensi aparat, dan ini tidak hanya terjadi di beberapa daerah yang sudah disebutkan, tetapi juga di daerah lain yang tidak mendapat perhatian yang sama,” ujar Sitorus dalam konferensi pers tersebut.


Lebih lanjut, Sitorus menyoroti fenomena baru dalam Pilkada 2024, yaitu adanya proses yang lebih rumit daripada sekadar pertarungan antar kandidat.


Ia mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus, seperti di Banten, Lampung, dan Kepulauan Riau, pilkada kali ini lebih mirip dengan sebuah permainan politik yang melibatkan lebih banyak pihak daripada yang seharusnya.


“Dalam pilkada, tidak hanya soal menang atau kalah, tetapi ada yang ‘dimenangkan’ dan ada yang ‘dikalahkan’. Ini adalah sebuah politik yang tidak seharusnya terlibat dalam demokrasi kita,” jelasnya.


Menurut Sitorus, ada pihak-pihak yang seharusnya menjaga konstitusi dan aturan hukum, justru yang terlibat dalam praktek ini. 


Mereka, kata Sitorus, merupakan pihak yang mengkhianati sistem pemilu yang harusnya jujur, adil, dan demokratis.


Ia mengaitkan fenomena ini dengan budaya politik yang ia sebut “Jokowi-isme”, yang dimulai sejak era Presiden Jokowi yang menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi jalannya pemilu sesuai dengan kepentingan politiknya.


“Budaya politik ini sudah terstruktur, sistematis, dan massif. Ini adalah budaya yang lahir dari kebijakan yang selama ini diambil oleh Jokowi,” ujar Sitorus dengan tegas.


Dalam keterangan pers tersebut, Sitorus juga mengkritik keterlibatan oknum kepolisian dalam politik praktis, yang menurutnya sudah menjadi isu besar dalam dunia politik Indonesia.


Ia menyebut kemunculan istilah “partai coklat” untuk menggambarkan peran aparat kepolisian yang terlibat dalam politik.


“Partai coklat” ini, kata Sitorus, sudah menjadi pembicaraan di media dan kalangan legislatif, bahkan sudah dibahas di dalam podcast Bocor Alus yang dipublikasikan oleh Tempo.


“Saya sedih karena partai coklat ini merujuk pada oknum-oknum kepolisian. Ini adalah garis komando yang tidak bisa dianggap remeh, dan pemegang kuncinya adalah Kapolri Listyo Sigit,” ungkapnya.


Sitorus mengingatkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan ini harus segera dibenahi, karena sudah mencoreng demokrasi Indonesia.


Dalam kesempatan tersebut, Sitorus juga menyoroti peran Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang seharusnya berfokus pada tugas pokoknya dalam menjaga keamanan dan ketertiban, bukan terlibat dalam urusan politik praktis.


Ia mengusulkan agar Polri dikembalikan ke bawah kendali Panglima TNI atau Kementerian Dalam Negeri untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian.


“Kepolisian harus kembali fokus pada tugas utamanya, bukan terlibat dalam politik praktis. Negara ini sudah memiliki banyak institusi hukum yang bisa menegakkan hukum,” kata Sitorus.


Sitorus juga menyinggung intervensi yang terjadi pada pejabat sementara (PJ) kepala daerah yang seharusnya menjaga netralitas dalam Pilkada.


Ia menegaskan bahwa di beberapa daerah, seperti Sumatera Utara dan Sulawesi Utara, PJ kepala daerah bahkan terlibat dalam kegiatan politik ilegal yang sangat terlihat.


“Hal ini sudah sampai ke pengetahuan kami dan seharusnya menjadi perhatian serius bagi Bawaslu dan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Sitorus.


Di akhir keterangannya, Deddy Sitorus menyerukan agar seluruh pihak yang terlibat dalam pilkada mendukung upaya pemulihan demokrasi dengan menghindari segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan politisasi yang merusak sistem pemilu.


“PDI Perjuangan berkomitmen untuk menjaga integritas pemilu, dan kami akan terus berjuang untuk memperbaiki sistem politik kita demi masa depan demokrasi Indonesia,” tutup Sitorus. 


Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, juga menyoroti dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat kepolisian dalam Pilkada 2024.


“Kami menerima begitu banyak laporan-laporan tentang penyalahgunaan kekuasaan dari Polri. Semula kami menyebut sebagai oknum. Tetapi melihat terjadi begitu banyak di wilayah maka itu tidak lagi oknum,” ujarnya pada konferensi pers di DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, (20/11/2024).


Parcok Itu Hoaks


Menanggapi tuduhan tersebut, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyebut isu "partai cokelat" sebagai kabar bohong atau hoaks.


“Apa yang disampaikan oleh segelintir orang terkait parcok (partai cokelat) dan lain sebagainya itu kami kategorikan sebagai hoaks,” katanya dalam konferensi pers di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, (29/11/2024).


Menurut Habiburokhman, tuduhan tersebut tidak masuk akal karena pola koalisi dalam Pilkada bersifat dinamis dan berbeda di setiap wilayah.


“Jadi hampir tidak mungkin Kapolri yang menggunakan institusinya untuk kepentingan kubu tertentu karena pilkada itu bisa terjadi mix antarkubu partai-partai politik,” jelasnya.


Ia juga mengingatkan pentingnya setiap pernyataan didasarkan pada bukti kuat untuk menjaga kondusivitas.


“Kami minta sesama teman-teman anggota DPR walaupun kita bebas berpendapat, tapi harus didasarkan pada bukti-bukti yang kuat. Jangan hanya narasi-narasi karena ini isu yang akan bisa menjadi situasi tidak kondusif,” tuturnya. 


Sumber: PojokSatu

Penulis blog