Kriminalisasi Anies dan Pernyataan Hasto: 'Bukti Otoritarianisme Jokowi!'
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, baru-baru ini membuat pernyataan mengejutkan.
Ia mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo berada di balik upaya kriminalisasi kasus Formula E yang menyeret nama Anies Baswedan.
Pernyataan ini bukan sekadar lontaran politik biasa; ini adalah pengakuan seorang saksi utama yang menyaksikan bagaimana kekuasaan Jokowi diduga digunakan untuk menyingkirkan lawan politiknya.
Jokowi dan Penggunaan Kekuasaan
Hasto, yang berada di lingkaran dekat kekuasaan, menyatakan bahwa dirinya mendengar langsung rencana tersebut dari Jokowi.
Bahkan, menurut Hasto, dirinya juga hampir dijebloskan ke penjara atas tuduhan yang tidak berdasar.
Ini menimbulkan pertanyaan serius: sejauh mana Presiden menggunakan wewenangnya untuk memengaruhi proses hukum demi kepentingan politik?
Sebagai kepala negara, Jokowi seharusnya menjadi simbol netralitas dan penjaga supremasi hukum.
Namun, pengakuan Hasto ini menampilkan sisi lain dari Jokowi—seorang pemimpin yang diduga menggunakan hukum sebagai alat untuk menghancurkan siapa saja yang dianggap sebagai ancaman politik.
Anies Baswedan, sebagai salah satu kandidat kuat di Pilpres 2024, menjadi target utama.
Formula E: Alat untuk Menjatuhkan Anies
Kasus Formula E, yang pada awalnya merupakan isu administratif biasa, kemudian berubah menjadi senjata politik.
Proses hukum yang berlarut-larut, ditambah dengan sorotan media yang masif, menimbulkan kesan bahwa ini bukanlah upaya penegakan hukum yang tulus, melainkan permainan politik kotor.
Hasto secara eksplisit menyatakan bahwa Jokowi adalah aktor utama di balik upaya ini.
Pernyataan ini bukan sekadar tuduhan, tetapi sebuah kesaksian dari orang yang selama ini menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan.
Lebih dari itu, Hasto sendiri menyebut bahwa dirinya hampir menjadi korban kriminalisasi oleh Jokowi.
Jika benar demikian, ini mencerminkan pola kepemimpinan otoritarian yang menyalahgunakan kekuasaan negara untuk mengintimidasi, menekan, dan bahkan memenjarakan siapa pun yang tidak sejalan dengan agendanya.
Simulasi KPK: Bukti Kuat Integritas Formula E
Sebanyak 19 kali simulasi yang dilakukan KPK menjadi bukti bahwa proses dalam proyek Formula E telah dilakukan sesuai prosedur.
Jika memang ada kesalahan atau korupsi, tentu akan ditemukan dalam investigasi yang begitu teliti.
Fakta bahwa tidak ada pelanggaran yang ditemukan seharusnya menjadi akhir dari isu ini, tetapi justru sebaliknya, kasus ini terus diangkat untuk kepentingan politik.
Pengakuan Hasto: Akhir dari Ilusi Jokowi?
Pengakuan Hasto menegaskan bahwa era Jokowi tidak hanya penuh dengan janji pembangunan dan infrastruktur, tetapi juga sarat dengan manipulasi politik dan pelemahan demokrasi.
Kasus Formula E hanyalah salah satu contoh bagaimana hukum dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Yang lebih mengkhawatirkan, tindakan ini menunjukkan bahwa Jokowi tidak segan-segan menjadikan orang-orang di sekitarnya sebagai korban.
Jika Hasto, seorang tokoh senior PDIP, hampir dijebloskan ke penjara, bagaimana nasib tokoh-tokoh lain yang berada di luar lingkaran kekuasaan?
Konsekuensi untuk Demokrasi
Tindakan ini, jika benar adanya, adalah bentuk penghianatan terhadap prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Kriminalisasi terhadap Anies bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga ancaman terhadap sistem demokrasi di Indonesia.
Negara ini seharusnya menjadi tempat di mana hukum berdiri tegak tanpa pengaruh politik, bukan arena untuk melanggengkan kekuasaan melalui intrik dan intimidasi.
Pengakuan Hasto juga mengungkapkan betapa rapuhnya sistem hukum di Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi.
Dalam konteks ini, demokrasi menjadi istilah kosong tanpa makna, sementara hukum hanyalah topeng untuk menutupi ambisi politik.
Kesimpulan
Hasto Kristiyanto, dengan pengakuannya, telah membuka tabir kelam di balik layar kekuasaan Jokowi.
Tuduhan bahwa Presiden berada di balik kriminalisasi Anies Baswedan dan hampir menjebloskan Hasto sendiri ke penjara adalah skandal besar yang tidak bisa diabaikan.
Jika tuduhan ini benar, maka Jokowi telah melangkahi batas etika dan hukum, menggunakan jabatannya untuk menghancurkan lawan dan bahkan sekutu yang tidak sejalan.
Seharusnya, sebagai pemimpin negara, Jokowi menjaga keadilan dan supremasi hukum, bukan justru menjadi aktor utama dalam permainan politik kotor.
Rakyat Indonesia harus waspada terhadap tanda-tanda otoritarianisme yang semakin menguat, di mana hukum menjadi senjata politik dan demokrasi hanya menjadi kedok untuk melanggengkan kekuasaan.
Sumber: FusilatNews