DEMOCRAZY.ID - Warga Gabon menyepakati konstitusi baru yang menolak dinasti politik melalui referendum, Minggu (17/11).
Konstitusi ini membawa perubahan besar, termasuk pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua periode tujuh tahun, penghapusan jabatan perdana menteri, serta pelarangan transfer kekuasaan secara turun-temurun.
Langkah ini pun memupus era dinasti politik keluarga Bongo yang telah memimpin Gabon selama lebih dari lima dekade.
Presiden yang digulingkan melalui kudeta pada Agustus 2023, Ali Bongo Ondimba, tercatat memerintah selama 14 tahun, menggantikan ayahnya, Omar Bongo, yang berkuasa selama 41 tahun.
Kudeta 2023 dianggap sebagai simbol perlawanan publik terhadap korupsi dan salah urus negara yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Ekspektasi tinggi terhadap junta militer kini menjadi tantangan berat untuk mewujudkan perubahan nyata di negara yang kaya minyak namun penuh paradoks.
Dinasti Politik Keluarga Bongo
Keluarga Bongo memulai kekuasaannya pada 1967, saat Omar Bongo, dengan dukungan Prancis, menjadi presiden menggantikan Leon Mba.
Omar memerintah dengan otoritarianisme, membangun sistem satu partai, dan memusatkan kekayaan negara ke lingkaran kekuasaannya.
Kekayaan minyak Gabon menjadi alat patronase yang mengikat elite politik dan keluarga besar Bongo dalam berbagai jabatan strategis, termasuk di militer dan parlemen.
Namun, kemewahan keluarga Bongo berbanding terbalik dengan kondisi rakyat.
Dikutip dari Al Jazeera, penyelidikan polisi Prancis pada 2007 menunjukkan keluarga ini memiliki 39 properti di Prancis, 70 rekening bank, dan koleksi mobil mewah yang nilainya tak sebanding dengan gaji resmi mereka.
Bahkan, Omar Bongo dilaporkan memindahkan dana mencurigakan senilai USD 100 juta melalui bank di New York pada 2003-2007.
Ali Bongo menggantikan ayahnya pada 2009. Ia mencoba memperbarui citra keluarganya dengan menjadi reformis, tetapi tetap mempertahankan pola lama—mengamankan kekuasaan melalui jaringan keluarga dan menyingkirkan lawan politik.
Ali juga mempromosikan kebijakan konservasi lingkungan dan membawa Gabon bergabung dengan Persemakmuran Inggris.
Namun, skandal korupsi tetap membayangi, termasuk dakwaan terhadap sembilan anak Omar Bongo atas kepemilikan aset senilai 85 juta euro di Prancis.
Setelah mengalami stroke serius pada 2018, Ali mulai kehilangan pengaruh. Keluarganya menghadapi persaingan internal, dan keputusan Ali mengangkat putranya, Noureddin, ke posisi strategis justru memicu ketegangan di antara anggota klan Bongo lainnya.
Negara Kaya Minyak, Rakyat Tetap Miskin
Meski Gabon memiliki salah satu PDB per kapita tertinggi di Afrika, kemiskinan tetap menjadi masalah besar.
Menurut Bank Dunia, hampir 40 persen pemuda berusia 15-24 tahun tidak memiliki pekerjaan.
Ketimpangan ekonomi terasa mencolok, terutama di wilayah pedesaan, di mana akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan sangat terbatas.
"Meskipun Gabon memiliki salah satu PDB (produk domestik bruto) per kapita tertinggi di Afrika, tingkat pengangguran masih tinggi," kata analis senior Afrika dari Verisk Maplecroft, Maja Bovcon, seperti diberitakan Al Jazeera.
Kemiskinan yang meluas disertai pengangguran tinggi memicu ketidakpuasan publik terhadap rezim Bongo.
Sebagian besar rakyat percaya bahwa kekayaan negara hanya berputar di kalangan elite politik, sementara rakyat dibiarkan berjuang di tengah kesenjangan ekonomi yang tajam.
Puncaknya, Ali digulingkan lewat kudeta militer pada Agustus 2023. Rakyat Gabon menyambut kudeta itu dengan harapan adanya pemerintahan baru.
Kudeta dan Era Baru
Kudeta penggulingan Ali dipimpin oleh Jenderal Brice Oligui Nguema, sepupu Bongo sekaligus panglima Garda Republik, unit elite keamanan presiden.
Meski menggulingkan Bongo, Oligui tetap mendapat sorotan karena masih memiliki hubungan dekat dengan dinasti lama.
“Kudeta ini mungkin lebih tentang perebutan kekuasaan di antara elite Gabon daripada perubahan mendasar,” kata analis politik Oxford Economics, Francois Conradie, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Pasca-kudeta, junta militer menjanjikan transisi menuju pemerintahan sipil dalam dua tahun.
Namun, kritik muncul bahwa reformasi ini justru dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan junta.
Presiden transisi itu menyebut referendum terbaru ini sebagai “langkah besar menuju perubahan” saat memberikan suaranya di Libreville.
Ia berjanji untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil setelah masa transisi dua tahun, meski rumor menyebut ia mungkin mencalonkan diri pada pemilu 2025.
Referendum ini diikuti oleh 53,54 persen dari 860 ribu pemilih terdaftar.
Sebelumnya survei Afrobarometer menunjukkan 87 persen warga percaya bahwa negara sedang menuju arah yang benar di bawah junta militer.
Oligui memiliki tingkat kepercayaan sebesar 46 persen, menjadikannya figur yang kuat jika pemilu diadakan dalam waktu dekat.
Namun, para kritikus mengingatkan bahwa konstitusi baru ini bisa menjadi alat untuk memperkuat cengkeraman junta pada kekuasaan.
Sumber: Kumparan