DEMOCRAZY.ID - Analis dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menyebut, jika pemerintahan Prabowo-Gibran menetapkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025, pertanda APBN sedang 'kere keriting' alias miskin banget.
"Mengapa bisa kere keriting? Karena lebih besar pasak daripada tiang. Apa yang membuat pasak besar? Utang pemerintah yang menyebabkan untuk bayar bunga dan cicilan pokok, sangat besar," kata Salamuddin, Jakarta, Rabu (27/11/2024).
Tak berhenti di situ, Pemerintah masa lalu diduga gagal mendistribusikan subsidi secara tepat sasaran.
Terutama subsidi dan kompensasi bahan bakar minyak (BBM), subsidi LPG 3 kg, dan over supply listrik yang mengakibatkan pembayaran subsidi dan kompensasi listrik terus membengkak.
"Ini bukan masalah uang semata tapi kesalahan sistem," kata dia.
Apa penyebab paling fundamental APBN kere keriting? Kata Salamuddin, karena sistem pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang tidak benar, atau menyimpang dari konstitusi.
Negara tidak mendapatkan bagi hasil sumber daya alam yang adil dengan investor.
Negara hanya memungut pajak ala kadarnya atas kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
"Seharusnya negara mendapatkan bagi hasil, bukan pungut pajak yang nilainya ala kadarnya. Sekarang, negara mendapatkan sedikit sekali dari eksploitasi SDA.
Sedangkan investor atau pemilik modal asing dan kroninya, mendapatkan cuang sangat banyak. Keuntungan mereka atas eksploitasi SDA melimpah ruah," imbuhnya.
Hari-hari ini, kata Salamuddin, bukan hanya APBN yang 'kere', namun rakyat ikut 'keriting'.
Biang keroknya, sistem ekonomi Indonesia saat ini, menganut model lintah darat. Terlalu banyak menghisap rakyat.
Lewat dua kebijakan utama yakni pajak kegiatan sehari-hari. Misalnya, makan dan minum dipalaki, belanja kebutuhan sehari-hari dipajaki, usaha kecil kelontongan dipajaki.
"Ini semua menyedot uang yang beredar dalam masyarakat. Uang beredar yang sangat kecil disedot bak 'vacuum cleaner'. Semuanya amblas tak tersisa sedikitpun," ungkapnya.
Maksud model ekonomi lintah darat, Salamuddin menjelaskan, sistem bunga bank yang cukup tinggi, mengisap darah rakyat.
Bunga bank mencekik, mengikuti tingginya bunga surat utang negara (SUN). Ujung-ujungnya, uang rakyat mengalir ke bank dan dialirkan lagi untuk memborong SUN.
"Lama-lama masyarakat tidak memiliki sisa uang di rekening, saldo nol, tidak bisa belanja. Lalu berutang ke dalam sistem pinjaman onlen untuk mendapatkan uang membeli sesuap nasi setiap hari. Ini yang membuat ekonomi kere keriting," pungkasnya.
Sumber: Inilah