Catatan Agustinus Edy Kristianto:
100 hari pemerintahan diisi fenomena pejabat TTB: Tiba-Tiba Baik!
Retret di Magelang memakai duit pribadi Presiden. Menteri Perumahan menyumbang tanah 2,5 hektare dekat PIK untuk program 3 juta rumah, bekerja sama dengan seorang taipan properti yang akan membangun perumahan itu.
Seorang wakil di KSP memberikan 1,4 hektare di Palangka Raya. Utusan khusus presiden meminta perusahaan hiburannya menyumbang acara untuk negara dengan uang pribadi.
Ternyata, tak hanya "sumbangan" yang (kalau benar) berasal dari kantong pribadi, bantuan yang bersumber dari APBN—seperti bansos (tahun 2024 anggaran bansos mencapai Rp157 triliun)—juga dianggap sebagai kebaikan hati pejabat. Dinasti Mulyono tampaknya memanfaatkan sentimen ini dengan baik untuk terus berkuasa.
Tafsiran kasarnya: masyarakat cenderung tidak peduli dari mana uang atau bantuan berasal. Yang penting, siapa yang memberi berarti baik dan layak dipilih terus.
Sebaliknya, yang mengkritik dianggap sirik karena tidak kebagian jatah atau hanya pandai berkomentar tanpa aksi nyata. Baca: omon-omon!
Inilah salah satu alasan mengapa media sosial (dan mungkin juga pers) kita dipenuhi tayangan air mata haru penerima bantuan dari pejabat—tayangan yang tampaknya dirancang untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas sang pemberi.
Saya tahu, mengubah "budaya" ini tidak mudah. Maka dari itu, sejak dulu, ketika membaca berita soal sumbangan seperti ini, saya memilih mendukung dengan cara lebih cerewet mempertanyakan: Kenapa cuma tanah di Tangerang dan Palangka Raya? Kenapa bukan yang di Menteng? Kenapa cuma satu acara? Jangan-jangan ini barter endorse?
Kalau LHKPN pejabat itu fantastis, katakanlah mencapai triliunan, saya tidak heran dengan nominal itu.
Tapi justru saya heran: kenapa jadi pejabat di Indonesia hartanya cuma segitu? Kayak yang kurang semangat 'merampoknya'? Harusnya bisa lebih banyak, kan? Atau mungkin kekayaan Indonesia sudah habis?
Saya juga dengar rumor soal pejabat yang baru disogok All New Maybach untuk mendukung kebijakan tertentu. Saya malah heran: Kok cuma Maybach? Hanya Rp7 miliaran?
Apa kurang sering nonton YouTube otomotif? Apa belum tahu kalau Rolls-Royce edisi Black Baccara harganya cuma Rp450 miliaran? Apa pejabat kita segitu miskinnya sampai cuma dapat Maybach?
Ya, jangan mudah gumunan. Indonesia adalah negara, bukan lembaga amal, yayasan sosial, atau arena perlombaan sumbangan terbesar. Indonesia berdiri atas dasar konstitusi.
Kedaulatannya milik seluruh warga negara, bukan hanya milik mereka yang menyumbang lahan. Instrumen negara ada untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Pejabat dinilai dari tindakan dan kebijakan mereka untuk mencapai tujuan konstitusi, bukan dari sumbangan pribadi yang bisa jadi hanya pencitraan.
Keberhasilan suatu negara tidak diukur dari "kebaikan hati" pejabatnya, tetapi dari lembaga-lembaga yang kuat dan inklusif.
Partisipasi publik yang luas, aturan yang adil, dan perlindungan hak warga negara adalah indikator keberhasilan.
Bukan lembaga ekstraktif yang dikelola demi segelintir elite sambil merampas hak rakyat. Kebaikan hati tidak cukup. Penyelenggaraan negara harus diawasi ketat agar kebijakan benar-benar pro-rakyat.
Ini bukan pendapat saya, melainkan pelajaran dari Daron Acemoglu dkk., peraih Nobel Ekonomi-Politik 2024.
Apa relevansinya dengan fenomena TTB (Tiba Tiba Baik)? Tidak ada makan siang gratis.
Sebagai mantan pengusaha properti kecil-kecilan, saya sedikit tahu hitungannya:
Tanah 2,5 hektare = 25.000 m²
KDB 60% = 15.000 m²
Tipe 36 (LT 60 m²) = 250 unit
Biaya pembangunan Rp4 juta/m² = Rp60 miliar
Makanya, jumlah unitnya 250 dan taipan PIK menyebutkan biaya pembangunan sebesar Rp60 miliar yang katanya diambil dari dana CSR.
Perlu dipahami, CSR bukan semata-mata kebaikan, melainkan kewajiban berdasarkan undang-undang (UU 40/2007, PP 47/2012).
Selain itu, berdasarkan PP 42 Tahun 2021, PIK2 masuk kategori PSN (Proyek Strategis Nasional).
Status ini memberikan insentif dan kemudahan seperti perizinan yang lebih mudah.
Dengan PSN, pengembang bisa mendapat pembiayaan lebih murah dari lembaga keuangan (termasuk dari bank BUMN), nilai sahamnya meningkat di mata investor, dan sebagainya.
Sahamnya sendiri sudah diakumulasi sejak 2022, masuk fase markup sejak Agustus 2024, dan sekarang dalam fase distribusi. PIK2 ini digawangi dua taipan, salah satunya punya catatan masa lalu terkait BLBI.
Publik perlu tahu bahwa jabatan publik, koneksi politik, privilege karena keturunan dinasti, dan "kebaikan hati" yang tidak tahu malu adalah komoditas yang sering diperdagangkan untuk keuntungan segelintir elite, keluarga, dan kroni.
Begitulah mungkin latar belakang kenapa para pejabat ini mau ramai-ramai "menyumbang".
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)