DEMOCRAZY.ID - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan untuk membatalkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M.HH-3.AH.11.03 Tahun 2024 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golongan Karya (Golkar).
Keputusan ini diambil PTUN Jakarta pada Selasa, 13 November 2024, yang menyatakan bahwa pengesahan AD/ART Partai Golkar yang baru dinyatakan batal dan tidak berlaku.
Gugatan tersebut diajukan oleh M. Ilhamsyah Ainul Mattimu, kader aktif sekaligus pengurus DPD Golkar Jawa Timur, dengan didampingi tim advokat dari Alfan Anu Datar.
Dalam keterangannya melalui rilis tertulis, Muhamad Kadafi, salah satu pengacara Ilhamsyah, menyebut bahwa gugatan ini didasarkan pada ketidaksesuaian penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) XI Partai Golkar dengan AD/ART yang berlaku sebelumnya.
“Munas XI yang menjadi dasar pengesahan AD/ART baru dilaksanakan pada 20-21 Agustus 2024. Menurut AD/ART sebelumnya, Munas seharusnya dilaksanakan pada bulan Desember setiap lima tahun sekali,” ujar Kadafi dalam pernyataannya di Jakarta pada Selasa, 12 November 2024.
Selain itu, Kadafi menegaskan bahwa Kementerian Hukum dan HAM RI sebagai tergugat dianggap telah bertindak lalai dengan mengesahkan perubahan AD/ART dalam waktu yang singkat tanpa memperhatikan prosedur yang seharusnya.
“Kemenkumham bertindak arogan dan tidak mematuhi aturan yang ada,” tambah Kadafi.
Putusan PTUN ini secara otomatis membatalkan hasil Munas XI Partai Golkar yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat.
Dampaknya, penetapan Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum Partai Golkar dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Komentar Pengamat Politik dan Implikasi Partai Pengamat politik Emrus Sihombing menilai putusan PTUN ini memiliki konsekuensi besar bagi Partai Golkar.
“Hasil keputusan Munas XI batal demi hukum. Sebab, AD/ART perubahan atau AD/ART Golkar yang baru, diputuskan PTUN tidak berlaku,” ujar Emrus.
Menurutnya, Partai Golkar harus merujuk kembali ke AD/ART lama.
“Posisi kepemimpinan Golkar semestinya dikembalikan ke Ketua Umum sebelumnya, Airlangga Hartarto, sampai ada penyelesaian yang sah dan sesuai aturan partai,” tambah Emrus.
Sementara itu, penangguhan gelar doktor Menteri ESDM Bahlil Lahadalia oleh Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia turut menambah sorotan pada ketidakstabilan posisi Bahlil di ranah politik.
Dengan keputusan ini, posisi Partai Golkar di peta politik nasional berpotensi mengalami perubahan signifikan.
Para kader di internal partai dan publik politik nasional menantikan langkah berikutnya yang akan diambil oleh pimpinan Golkar dan Kemenkumham.
Respons dan Tindakan Lanjut Hingga berita ini diturunkan, Bahlil Lahadalia belum memberikan pernyataan resmi terkait pembatalan tersebut.
Sementara itu, Kemenkumham menyatakan akan mempelajari putusan PTUN sebelum memutuskan langkah hukum selanjutnya.
Situasi ini menandai babak baru dalam dinamika internal Golkar dan menunjukkan betapa pentingnya menjaga integritas proses dan prosedur dalam partai politik di Indonesia.
Sumber: FusilatNews