HUKUM KRIMINAL POLITIK

Di balik Kasus Zarof Ricar Ada 'Rahasia' Kejahatan Besar?

DEMOCRAZY.ID
November 04, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
KRIMINAL
POLITIK
Di balik Kasus Zarof Ricar Ada 'Rahasia' Kejahatan Besar?



DEMOCRAZY.ID - Penyidik Kejaksaan Agung harus memperluas penyidikannya dalam kasus mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar, makelar kasus (markus) 10 tahun.


"Kejaksaan Agung harus mengusut tuntas dan berjalan lurus guna perluas penyelidikan dari hulu sampai hilir atas dugaan tindak pidana korupsi atas temuan uang Rp 1 triliun dan emas 51 Kg di rumah Zarof, sehingga penyidik dan siapapun timnya harus bisa transparan dalam penyelidikan kasus ini," kata dosen hukum pidana Univesitas Trisakti (Usakti) Azmi Syahputra, Minggu (3/11/2024).


Mengingat karakteristik dalam perkara ini adalah dugaan tindak pidana korupsi yang didalamnya masih ada kejahatan lain patut diduga terjadi ada kejahatan tindak pidana pencucian uang, tindak pidana perpajakan, permufakatan jahat dan perbuatan berlanjut serta penyertaan dalam pidana.


"Jadi, penyidik harus zero tolerance againt corruption,  dan penyelidikanan harus pula mampu dan segera menemukan titik akar permasalahan alur dan alir dalam tindak pidana korupsi ini termasuk dugaan asal aliran uang dan emas dimaksud," jelas Azmi.


Maka penyidik harus dengan berani menegakkan supremasi hukum termasuk pula menyisir jaringan para mafia peradilan ini melalui putusan-putusan hakim dalam kurun 10 tahun sampai 15 tahun kebelakang yang diduga jadi rekam jejak dimakelari Zarof Ricar.


"Terutama putusan kontroversi di Pengadilan Tingkat Pertama sekalipun di Kelas I A, tingkat kasasi atau peninjauan kembali terutama kasus korupsi, kasus putusan narkoba termasuk dugaan jual beli jabatan stretegis melalui mutasi atau promosi di Lingkungan Mahkamah Agung dan hal-hal terkait rekrut PNS Mahkamah Agung," ungkap Azmi.


Namun terkait belum dipublishnya pihak-pihak lain, tambah Azmi, bisa jadi adalah strategi dari penyidik yang harus pula dinantikan segera untuk hal ini seiring "berburu" siapapun yang terlibat dalam perkara tindak pidana korupsi dan kejahatan lainnya ini.


"Karenanya siapapun yang terlibat harus diungkap dan dimintai pertanggungjawaban hukum, guna bersih bersih orang orang yang terkontaminasi menjadi mafia hukum di lingkungan Mahkamah Agung," demikian Azmi Syahputra.


Akankah Muncul Mardani Maming dalam Kotak Pandora Zarof?


Terkuaknya peran Zarof Ricar, makelar kasus yang telah “berpraktik” puluhan tahun ibarat kotak Pandora yang harus segera dibuka untuk memulai mereformasi dunia hukum Indonesia. Apakah dari situ akan muncul kasus- kasus besar lain yang meramaikan gossip dunia hukum Indonesia, seperti kasus PK Mardani Maming, misalnya?


Bagi Zarof Ricar dan keluarga, Jumat (25/10/2024) lalu tak bisa dibilang hari yang berkah. Sejak rumah mewah empat lantainya yang berada di Jalan Senayan nomor 8, Kelurahan Rawa Barat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, digeledah sejak Kamis  (24/10/2024) siang hingga lepas tengah malam, praktis kondisi psikologis pengisi rumah, anggota keluarga bekas kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA) dari 2012 hingga 2022 itu, kembang-kempis. Juga Zarof, meski hari itu ia ditangkap petugas Kejaksaan Agung di tempat lain yang tak kalah mewah: Hotel Le Meridien, Bali. 


Dari rumah yang berdiri di tanah sekitar 600 meter persegi itulah pula, kita tahu betapa kondisi hukum di negara ini sudah ambyar sehancur-hancurnya.  Tidak terlalu mengagetkan, tentu. Selama ini pun kerap kita mendengar, membaca, sekian banyak hamba wet di jajaran Kehakiman, justru memberaki “rumah” mereka sendiri.  


Namun ada yang istimewa dalam kasus markus bernama Zarof ini. Dari rumah mewahnya yang tersambung dengan kediaman sang anak yang dibuat kembar, ditemukan harta tunai yang membuat kita terbelalak, sekaligus bisa meredupkan optimisme warga baik-baik hingga baranya kian memicing kecil. Ada total senilai Rp920.912.303.714 alias hampir Rp1 triliun uang kertas aneka negara, dan emas batangan seberat 51 kilo! Konon, menurut keterangan petugas Satpam kawasan itu, Surono, perlu waktu berjam-jam untuk menghitung uang tunai tersebut, termasuk waktu yang diperlukan buat mengambil mesin penghitung uang milik Kejaksaan Agung, karena mesin yang dibawa sempat macet. 


“Penggeledahan dilakukan hingga lepas tengah malam,”kata Surono pada banyak awak media.  Rumah Zarof digeledah dalam kaitannya dengan kasus dugaan suap  atas vonis bebas terpidana pembunuhan, Gregorius Ronald Tannur.


Mafia peradilan, bayang gelap sistem hukum Indonesia


Kasus mafia peradilan yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung bukanlah fenomena baru. Sejak bertahun-tahun lalu, sistem hukum Indonesia telah dirusak praktik kotor ini, di mana "makelar kasus" menjadi perantara antara pihak-pihak yang berperkara dengan pejabat tinggi di MA. 


Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2011-2023 saja sedikitnya ada 26 hakim yang terbukti melakukan korupsi. Sebagai gambaran kasar, pada 22 September 2022, Hakim Agung Sudrajad Dimyati ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran menerima suap. Di tahun yang sama, Hakim Agung Gazalba Saleh terjerat perkara gratifikasi dan pencucian uang sebesar Rp62,8 miliar yang tengah dalam proses Peninjauan Kembali (PK). Itu belum termasuk catatan para pejabat strategis di MA, seperti dalam kasus Hasbi Hasan—sekretaris MA yang terbukti menerima suap sebagai makelar kasus, pada 2021, serta bekas sekretaris MA Nurhadi untuk kasus serupa. 


Memang permainan culas seperti itu yang selama ini mendominasi ‘permainan perkara’ yang dimainkan--maaf menggunakan stereotipe—para oknum di MA. “Suap ini menjadi salah satu korupsi terbesar di Mahkamah Agung. Suap, kemudian gratifikasi, kaitannya tentu dengan main perkara,” kata Izza Akbarani dari Transparansi Internasional Indonesia (TII) kepada media, merujuk survei persepsi publik yang dilakukan lembaganya pada 2022. TII mencatat, praktik mafia peradilan ini telah membuat Indonesia tergelincir dalam indeks persepsi korupsi, menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum.


Keterangan yang sama diberikan pegiat anti-korupsi dan mantan Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas. Busyro, yang puluhan tahun bergelut sebagai praktisi hukum dan lama menggawangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengatakan ada pola standar mafia peradilan sejak berpuluh tahun lalu, yang membuat kondisi penyakit di dunia hukum Indonesia sudah sangat kronis. “Maaf, saya (ber)praktik sebagai advokat sejak 1979, sampai sekarang,” kata Busyro,  mengingatkan.


Merujuk penelitian dan kajian Komisi Yudisial periode pertama, yang melibatkan akademisi, praktisi hukum, mantan hakim, dan publik terhadap ratusan putusan pengadilan, menurut Busyro setidaknya ada dua modus umum mafia peradilan. “Berdasarkan yang kami teliti, satu, modus mafia peradilan melibatkan unsur-unsur politik–politisi, unsur pebisnis, unsur penegak hukum," kata Busyro.” Yang kedua, antara lain dengan memutarbalikkan fakta sosial, tafsir terhadap aturan perundangan, teori, maupun yurisprudensi yang berkaitan dengan fakta.”


Kondisi yang ada, kata Busyro, telah menjadi “budaya sistemik” yang sulit diberantas tanpa reformasi besar-besaran. "Mafia peradilan adalah salah satu tantangan terbesar bagi supremasi hukum di Indonesia. Kalau sistem hukum tertinggi kita kotor, bagaimana masyarakat bisa percaya pada keadilan?" ujarnya. Ia juga menegaskan, selama ini pengawasan di MA masih lemah dan kurang transparan, sehingga memberikan ruang bagi oknum untuk bermain dengan aturan yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat.


Menurut Guru Besar Ilmu Hukum, khususnya Hukum Internasional Universitas Padjadjaran, Prof. Romli Atmasasmita, mafia peradilan ini tidak hanya merusak citra lembaga hukum tetapi juga mengakibatkan kerugian besar bagi rakyat. “Hukum seharusnya menjadi pelindung terakhir bagi keadilan, tetapi ketika hukum itu sendiri diatur oleh mafia, maka yang paling dirugikan adalah masyarakat kecil yang tidak memiliki akses dan kekuatan finansial,” ujar Romli. 


Kaitan Zarof-kasus Mardani Maming 


Zarof Ricar, yang diduga telah beroperasi sebagai makelar kasus sejak 2012, disebut-sebut berperan dalam banyak perkara besar dengan imbalan fantastis. Dalam dugaan keterlibatan pengaturan putusan bebas untuk terdakwa Ronald Tannur aja Zarof diduga mendapat fee Rp1 miliar. Itu imbalan untuk melobi hakim MA agar vonis bebas Ronald di tingkat kasasi tetap dipertahankan. “Ini bukan sekadar kasus biasa, tapi bukti bahwa peradilan kita rentan terhadap permainan kotor yang melibatkan uang besar,” ujar Abdul Qohar, direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, saat konferensi pers kasus itu .


Alhasil, kasus Zarof ini menegaskan, Mahkamah Agung, meskipun mendaku memiliki beberapa lapisan pengawasan, tetap gagal menghalau korupsi. “Pengawasan internal tidak akan cukup jika mentalitas para pejabatnya belum berubah,” kata Busyro Muqoddas, tentang hal itu. 


Yang menarik, nama Zarof Ricar juga muncul dalam kasus kontroversial lain, yakni Peninjauan Kembali (PK) Mardani Maming, mantan bupati Tanah Bumbu yang terjerat kasus suap izin pertambangan. Maming diketahui mengajukan PK di MA, dan dugaan keterlibatan Zarof dalam melobi hakim agar PK tersebut dikabulkan semakin kuat. Hal ini dipertegas dengan keikutsertaan Zarof dalam perjalanan dinas MA ke Sumenep, Madura, pada September 2024. Ia bergabung dengan rombongan pejabat tinggi MA, termasuk Ketua MA Sunarto, meskipun Zarof telah pensiun.


Perjalanan tersebut memunculkan spekulasi bahwa Zarof memiliki hubungan khusus dengan Sunarto, yang saat itu merupakan ketua majelis PK untuk kasus Maming. Beberapa pihak menduga bahwa keberadaan Zarof dalam rombongan itu bukan sekadar kunjungan kerja biasa. “Ada kepentingan-kepentingan yang melibatkan Zarof, dan itu bukan tanpa dasar. Mustahil Zarof bisa mengatur perkara sebesar ini seorang diri,” ujar Hudi Yusuf, pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno.


Tentang dugaan yang beredar luas tersebut, kuasa hukum Mardani Maming, Andreas Dony Kurniawan, menyatakan kliennya sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan Zarof Ricar. Dalam surat hak jawab tertanggal 31 Oktober 2024 yang dilayangkan kepada INILAH.Com, Andreas mengklaim bahwa Maming bahkan tidak mengenal Zarof secara pribadi. “Klaim yang menyebutkan bahwa Maming terlibat dengan Zarof tidak lebih dari tuduhan tak berdasar yang bertujuan mengaburkan fakta kasus ini,” ujar Andreas dalam surat itu. Ia menegaskan, selama proses pengajuan PK, Maming bersikap terbuka dan mengikuti jalur hukum yang benar.


Menurut Andreas, Maming justru menjadi korban dari sistem peradilan yang korup. Ia menyebutkan bahwa Maming hanya melakukan prosedur hukum standar saat mengajukan PK, tanpa melibatkan pihak ketiga atau “makelar kasus.” 


“Jika memang klien kami berniat untuk memanipulasi proses hukum, mengapa ia masih mengikuti mekanisme yang ada dan bahkan membuka proses eksaminasi publik?” katanya. Dalam beberapa kesempatan, kata Andreas, Maming dan tim hukumnya berani membuka forum diskusi terkait kasus ini di hadapan masyarakat luas, sesuatu yang jarang dilakukan oleh terdakwa dalam kasus besar.


Selain itu, dalam suratnya tim hukum Maming juga menyertakan pendapat dari sejumlah akademisi terkemuka untuk memperkuat klaim mereka bahwa Maming tidak terlibat dalam praktik korupsi.


Momentum untuk Reformasi MA


Kasus Zarof Ricar seolah membuka luka lama dalam tubuh Mahkamah Agung dan menunjukkan bahwa penyakit kronis ini memerlukan pengobatan yang lebih dari sekadar retorika reformasi. Penangkapan Zarof menjadi peluang bagi Mahkamah Agung untuk melakukan pembersihan total di internalnya, memutuskan mata rantai mafia peradilan yang telah lama menodai institusi tersebut.


Banyak pihak yang menyerukan reformasi besar-besaran sebagai respons terhadap skandal ini. Transparency International Indonesia, misalnya, menyarankan peningkatan gaji hakim sebagai salah satu cara untuk mengurangi korupsi di pengadilan, meski mereka menyadari bahwa ini bukan solusi tunggal. "Yang terpenting adalah memperbaiki sistem pengawasan dan membuka ruang transparansi di Mahkamah Agung, khususnya dalam proses kasasi dan peninjauan kembali," ujar Izza Akbarani.


Busyro Muqoddas juga mengusulkan harus adanya perombakan sistemik dalam struktur pengawasan MA. Menurutnya, reformasi ini harus melibatkan masyarakat sipil dan berbagai lembaga independen agar transparansi benar-benar terwujud. “Selama sistem tertutup, peluang bagi mafia peradilan untuk berkembang akan tetap ada,” katanya, tegas.


Tersiar kabar kuat, DPR RI juga Bersiap melakukan panggilan resmi untuk Ketua Mahkamah Agung, Sunarto, guna mengklarifikasi dugaan keterlibatannya dengan Zarof Ricar dalam kasus PK Mardani Maming. Langkah itu diharapkan dapat mengurai tabir kegelapan di balik mafia peradilan dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum tertinggi di Indonesia.


Bagi masyarakat, skandal ini menjadi pengingat bahwa reformasi hukum bukanlah pilihan, tetapi kebutuhan mendesak. Apakah Mahkamah Agung akan memanfaatkan momen ini untuk bersih-bersih dan memulihkan integritasnya, atau justru membiarkan mafia peradilan terus beroperasi tanpa hambatan? Waktu dan kecintaan warga MA kepada Indonesia yang akan memberi jawaban. 


Sumber: MonitorIndonesia

Penulis blog