DEMOCRAZY.ID - Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (DPN Permahi) menilai, aturan main dalam penerapan hukum terhadap setiap tersangka kejahatan luar biasa Extra-ordinary Crimes seperti korupsi, tentunya harus sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini disampaikan merespons kasus mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani Maming oleh Pengadilan Tipikor Banjarmasin.
Ketua Umum Permahi, Fahmi Namakule mengatakan, ada kejanggalan mulai dari proses pemeriksaan awal, penetapan tersangka, dan kurangnya saksi ahli.
"Lihat saja tanggal 9 Juli 2022 KPK mulai menyelidiki dugaan gratifikasi pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) di Tanah Bumbu, seminggu kemudian kasus ini naik tahap penyidikan, tepat pada tanggal 16 Juni 2022 KPK menetapkan Mardani H Maming sebagai tersangka. Perubahan status dari saksi menjadi tersangka dalam waktu singkat tanpa dilakukan pemeriksaan terhadap saksi serta alat bukti," ujarnya dalam pesan elektronik yang diterima di Jakarta, Senin, 4 Oktober.
Umumnya, KPK mesti memanggil dan meminta keterangan saksi ahli di bidang administrasi dan perizinan untuk mendalami terkait kewenangan dan keputusan bupati. Fahmi juga menyoroti proses praperadilan yang diajukan Mardani.
Mardani telah mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menggugat penetapan tersangka.
Sehari sebelum putusan praperadilan, KPK mengeluarkan status Daftar Pencarian Orang (DPO) untuk Mardani pada 26 Juli 2022.
"Meski pada 25 Juli 2022 ia sudah menyatakan secara tertulis akan hadir di sidang berikutnya pada 28 Juli 2022," terangnya.
Penetapan DPO di penghujung praperadilan merupakan suatu kejutan besar bagi Mardani, mengingat ketentuan SEMA Nomor 1 Tahun 2018 melarang bagi buronan mengajukan praperadilan.
Hal itu menurut Fahmi merupakan upaya untuk bisa membatasi terdakwa pada suatu proses penegakan hukum yang terbuka dan adil.
Itu juga dianggap langkah tragis dan inkontitusional dalam menjepit hak Mardani selaku warga negara.
Selain itu terdapat pula SK Bupati, yang menjadi inti tuduhan, telah diakui sah secara administratif dengan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian ESDM selama lebih dari 11 tahun.
Namun fakta persidangan ini justru diabaikan dan tidak dipertimbangkan oleh majelis.
"Seharusnya apabila secara hukum seluruh poin-poin dakwaan tidak terpenuhi dan kemudian tidak dapat dibuktikan kebenarannya maka konsekuensi dakwaan menjadi prematur dan harus ditolak, sehingga terdakwa harus dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya," lanjut Fahmi
Anehnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Banjarmasin justru berpendapat lain, menurut Fahmi, itu keputusan yang sangat melukai rasa keadilan.
"Kami tentunya akan mengajukan pandangan kami secara resmi kepada majelis hakim yang mengadili dalam persidangan peninjauan kembali (PK) sebagai sahabat pengadilan atau Amicus Curae. Langkah ini tentunya sebagai bentuk upaya Permahi dalam mengawal jalannya sistem peradilan yang bersih, profesional yang sesuai dengan perundang-undangan di Indonesia," tandasnya.
Sumber: VOI