DEMOCRAZY.ID - Putusan terhadap Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi yang menjerat Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2018, Mardani Maming terus mengundang gelombang reaksi berbagai pihak mulai dari para akademisi hingga tokoh Ansor Jatim.
Mereka kompak menyatakan pendapat yang menentang putusan Mahkamah Konstitusi.
Ketua PW Ansor Jatim Musaffa Safril mengatakan tindakan Mardani Maming dirasa masih berada dalam batas kewenangan sebagai seorang kepala daerah.
Putusan bersalah yang dijatuhi majelis hakim dianggap akan mengaburkan batas tindakan administrasi dan tindak pidana korupsi.
“Ada kecenderungan untuk menganggap setiap tindakan pejabat publik sebagai korupsi, tanpa meninjau secara seksama unsur-unsur yang memenuhi syarat pidana,” ujarnya dalam keterangan tertulis di Surabaya, Selasa (29/10).
Musaffa menilai putusan hakim terhadap kasus yang melibatkan aliran dana Rp104,3 miliar ini terlalu berat sebelah.
Dia meyakini alat bukti yang ada tidak ditelaah dengan jujur dan efektif.
"Jika alat bukti ditelaah dengan jujur dan objektif, seharusnya tuduhan umum tidak akan terbuka. Hal ini menunjukkan hakim seakan mengabaikan aspek kebenaran dalam penilaian mereka," kata dia.
Dia mengingatkan asas praduga tak bersalah yang seharusnya diterapkan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Dia pun berharap Presiden RI Prabowo Subianto dapat memperbaiki sistem hukum di Indonesia serta memberikan kebebasan kepada Mardani.
Pendapat Musaffa senada dengan akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Topo Santoso, SH, MH, yang juga anggota Tim Asistensi Penyusunan Rancangan UU Pemberantasan Tipikor mengatakan bahwa unsur menerima hadiah dalam dakwaan kasus Mardani tidak terpenuhi.
Dia menilai tindakan bisnis seperti fee dan dividen adalah hubungan keperdataan yang tidak bisa diadili dalam ranah pidana.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, bahkan menyebut adanya kekhilafan hakim dan kesesatan serius yang terjadi dalam putusan kasus ini.
"Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius," ungkapnya dalam pernyataan terpisah.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Dr. Hendry Julian Noor S.H., M.Kn, dari Universitas Gadjah Mada dan Dr. Mahrus Ali dari Universitas Islam Indonesia (UII). Mereka kompak menyatakan bahwa alat bukti yang ada tidak cukup kuat untuk menjerat Mardani.
"Koreksi putusan menjadi penting, ini tidak hanya untuk Maming, tetapi untuk mempertebal rasa kepercayaan publik pada Mahkamah Agung," ucap Mahrus.
Sumber: JPNN