2025 Tax Amnesty dan PPN 12%: 'Menekan Rakyat Kecil atau Memanjakan Konglomerat?'
Rencana pemerintah untuk kembali menerapkan program pengampunan pajak (tax amnesty) pada 2025, bersamaan dengan pemberlakuan PPN 12%, memicu diskusi hangat tentang keberpihakan kebijakan fiskal negara.
Dua kebijakan ini menyoroti dilema klasik: sejauh mana negara memihak rakyat kecil, dan sejauh mana negara memanjakan konglomerat?
Tax Amnesty: Insentif untuk Siapa?
Tax amnesty telah dilakukan beberapa kali dengan harapan memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara. Namun, efektivitasnya terus dipertanyakan.
Dalam program pertama pada 2016-2017, realisasi dana repatriasi hanya mencapai Rp 147,1 triliun dari target Rp 1.000 triliun. Program kedua pada 2022 juga hanya menyumbang Rp 61,1 triliun dari deklarasi harta sebesar Rp 594 triliun.
Kritik terbesar muncul dari kalangan ekonom dan pengamat kebijakan publik. Mereka menilai pengampunan pajak sering kali menguntungkan konglomerat yang enggan membayar pajak sesuai aturan.
Dengan membayar uang tebusan lebih rendah dari tarif normal, mereka dianggap mendapat “tiket murah” untuk melunasi kewajiban, sementara rakyat kecil yang sudah patuh pajak justru merasa diperlakukan tidak adil.
Ekonom Dzulfian Syafrian menyebut program ini sering kali hanya menyasar “ikan kecil” atau wajib pajak dengan kontribusi minim, sementara para “ikan besar” yang menyembunyikan aset di negara tax havens tetap lolos.
Alhasil, tax amnesty terkesan sebagai insentif sesaat tanpa memperbaiki sistem perpajakan secara sistematis.
PPN 12%: Tekanan untuk Rakyat Kecil
Di sisi lain, pemberlakuan PPN 12% diprediksi akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah.
PPN yang diterapkan secara merata pada barang dan jasa akan menaikkan harga kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, daya beli rakyat kecil, yang sudah tergerus oleh inflasi dan pemulihan ekonomi pasca-pandemi, semakin terpukul.
Jika PPN naik, rakyat kecil harus membayar lebih untuk barang-barang pokok seperti sembako. Bagi mereka, kenaikan ini adalah pukulan telak.
Bandingkan dengan tax amnesty, di mana konglomerat bisa melunasi kewajiban pajak masa lalu dengan tarif rendah.
Ketimpangan ini menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal sering kali tidak memihak kelompok yang paling rentan.
Dilema Keberpihakan
Rencana pemberlakuan tax amnesty yang berulang kali mempertegas ketidakadilan sistem perpajakan Indonesia.
Ketika kebijakan ini diterapkan, rakyat kecil yang patuh membayar pajak selama bertahun-tahun merasa dikesampingkan.
Padahal, mereka telah mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kewajiban negara.
Sebaliknya, konglomerat yang selama ini menghindari pajak justru diberi insentif untuk mengungkap aset tersembunyinya.
Tidak ada jaminan bahwa setelah mengikuti tax amnesty, mereka akan benar-benar patuh di masa mendatang. Ketidakpastian inilah yang merusak kredibilitas sistem perpajakan.
Alternatif Kebijakan: Keseimbangan yang Diperlukan
Untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil, pemerintah perlu:
- Menjamin Kepatuhan Konglomerat: Tax amnesty harus disertai pengawasan ketat dan sanksi tegas bagi mereka yang tidak patuh. Data dari program sebelumnya dapat digunakan untuk menindak pelanggar di masa mendatang.
- Meringankan Beban Rakyat Kecil: Jika PPN 12% diberlakukan, pemerintah harus memberikan kompensasi, seperti subsidi atau penghapusan PPN pada barang kebutuhan pokok. Ini penting untuk melindungi daya beli masyarakat.
- Memperbaiki Sistem Administrasi Pajak: Fokus pada peningkatan transparansi dan efisiensi sistem perpajakan agar semua lapisan masyarakat, termasuk konglomerat, tidak memiliki celah untuk menghindari kewajiban pajak.
Akhirnya, Siapa yang Diutamakan?
Ketika dua kebijakan ini digulirkan bersamaan, muncul pertanyaan besar: apakah pemerintah lebih memihak konglomerat atau rakyat kecil? Dalam teori, tax amnesty ditujukan untuk memperluas basis pajak, sementara PPN 12% diharapkan menambah pendapatan negara.
Namun, jika implementasinya tidak sensitif terhadap kesenjangan sosial, kedua kebijakan ini hanya akan memperparah ketidakadilan ekonomi di Indonesia.
Pemerintah perlu berhati-hati agar tidak menciptakan persepsi bahwa negara hanya melayani kepentingan segelintir orang kaya, sementara rakyat kecil terus menanggung beban terbesar.
Sumber: FusilatNews