'Wajah Muram Kekuasaan Jokowi'
Menjelang akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, berbagai isu miring terus bermunculan. Serangan ini terutama muncul dari perubahan persepsi media dan sebagian masyarakat yang sebelumnya memuja, namun kini berbalik arah menyerang.
Perubahan sikap ini dianggap terjadi karena Jokowi dinilai menerapkan gaya kepemimpinan Jawa yang sangat bertolak belakang dengan budaya demokrasi modern (Wahono, 2023).
Menurut Benedict Anderson dalam karyanya "The Idea of Power in Javanese Culture" konsep kekuasaan dalam budaya Jawa memiliki empat ciri utama yang membedakannya dari pemahaman Barat.
Pertama, kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang kongkrit sehingga dianggap nyata dan tidak sekadar ide abstrak seperti dalam konsep barat.
Kedua, kekuasaan itu homogen karena semua bentuk kekuasaan dianggap berasal dari sumber yang sama dan memiliki kualitas serupa, berbeda dengan pandangan Barat yang menganggap kekuasaan bersifat heterogen.
Ketiga, jumlah kekuasaan selalu tetap, sedangkan dalam konsep kekuasaan Barat menganggap kekuasaan bersifat tidak terbatas.
Keempat, kekuasaan tidak mempermasalahkan keabsahan; tidak penting dari mana kekuasaan itu berasal, yang terpenting adalah keberadaannya.
Dari konsepsi kepemimpinan Jawa inilah muncul pandangan bahwa Jokowi mungkin lebih mengutamakan harmoni dan stabilitas daripada transparansi yang merupakan ciri khas demokrasi modern.
Gaya kepemimpinan yang lebih memusatkan kekuasaan dan tidak menekankan pada keabsahan formal.
Sebaliknya, Jokowi lebih sering memilih jalur konsensus di belakang layar, di mana kekuatan penguasa bertumpu pada kesatuan kekuasaan yang terpusat.
Namun, di tengah budaya demokrasi modern yang menuntut keterbukaan, gaya kepemimpinan ini memicu perdebatan dan kritik, terutama ketika publik menginginkan partisipasi lebih besar dalam pengambilan keputusan.
Menilik Jejak Langkah Politik Jokowi
Mencermati langkah politik Jokowi, salah satu praktik politik yang kerap dilakukan adalah merangkul lawan politiknya.
Praktik ini secara berulang dilakukan Jokowi sejak masih menjadi Wali Kota Solo hingga menjelang akhir masa jabatan Presiden.
Jokowi secara konsisten melakukan upaya rekonsiliasi dengan rival politiknya untuk menggabungkan berbagai kekuatan, dengan tujuan menjaga stabilitas dan mencapai harmoni pemerintahan.
Upaya yang dilakukan Jokowi terlihat sebagai bentuk solidarity maker melalui gaya kepemimpinannya yang mencerminkan kemampuan untuk merangkul dan menyatukan berbagai kekuatan, sekaligus memusatkan kekuasaan pada dirinya.
Dalam sistem demokrasi, keberadaan oposisi penting untuk mengawasi dan mengkritisi pemimpin yang berkuasa.
Namun berbeda dengan praktik kekuasaan Jawa, keberadaan oposisi atau lawan politik yang kuat dianggap bisa mengganggu stabilitas kekuasaan.
Kehadiran oposisi atau lawan politik yang kuat dalam politik Jawa dipandang sebagai potensi terciptanya "matahari kembar," yang akan mengurangi kekuatan pihak yang berkuasa.
Usaha Jokowi untuk merangkul lawan-lawan politiknya sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo hingga menjadi Presiden dua periode merupakan upaya untuk menciptakan kekuasaan yang terpusat pada dirinya.
Gaya Kepemimpinan Jokowi
Mencermati gaya kepemimpinan Jokowi yang sering merangkul lawan politiknya, tampaknya strategi ini dilakukan untuk merebutkan, mempertahankan, dan melanggengkan kekuasaan.
Untuk memahami pola kekuasaan yang dijalankan oleh Jokowi, pandangan Steven Lukes, seorang Sosiolog asal Oxford University dapat dijadikan alat untuk meneropong.
Lukes mengategorikan manifestasi kekuasaan ke dalam tiga dimensi: visible, hidden, dan invisible (Lukes, 2005).
Wajah pertama terlihat dalam mekanisme visible power yang dimainkan Jokowi dengan cara merangkul lawan politiknya, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Mekanisme ini telah dilakukan Jokowi sejak masih menjadi Wali Kota Solo tahun 2010 dengan menggandeng PKS yang sebelumnya merupakan lawan politiknya.
Hal serupa juga terjadi ketika Jokowi mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan setelah Pilpres.
Padahal, Prabowo merupakan pesaing Jokowi dalam kontestasi Pilpres tahun 2014 dan 2019.
Langkah merangkul lawan politik ini mencerminkan mekanisme visible power, di mana kekuasaan diekspresikan melalui interaksi langsung dan tindakan publik.
Dalam konteks ini, Jokowi menggunakan pendekatan kompromi dan rekonsiliasi untuk menurunkan ketegangan dengan oposisi.
Misalnya dengan mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, Jokowi menunjukkan kemampuannya untuk mendemonstrasikan kekuasaan yang tampak, mengontrol narasi politik, dan menciptakan stabilitas dalam pemerintahannya.
Upaya ini tidak hanya memperkuat posisinya tetapi juga mengurangi resistensi dari lawan politiknya.
Wajah kedua berupa kekuasaan yang tersembunyi, mekanisme ini beroperasi melalui upaya mengendalikan agenda publik dan memanipulasi isu-isu yang dianggap penting.
Setelah merangkul dan menguasai lawan politiknya, dominasi kekuasaan Jokowi menjadi lebih powerfull.
Tanpa adanya kekuasaan tandingan yang dapat menantang legitimasi pemerintah telah menciptakan ruang di mana kritik dan oposisi tidak memiliki kekuatan untuk berkembang.
Melalui agenda setting ini telah melahirkan upaya strategis untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil selalu sejalan dengan narasi yang dibentuk.
Sehingga fokus publik lebih mengarah pada isu-isu yang dinilai relevan dan mengabaikan yang lain.
Melalui mekanisme kekuatan yang tersembunyi ini memungkinkan Jokowi untuk mempertahankan citra positif sekaligus menjaga stabilitas politik.
Sehingga selama ini Jokowi tidak hanya menguasai lawan politiknya, tetapi juga secara efektif membentuk wacana publik yang mendukung kepemimpinannya.
Wajah ketiga berupa invisible power yang beroperasi dengan membentuk dan mempertahankan dominasi melalui cara yang lebih halus dan tidak terlihat.
Setelah merangkul dan memberikan jabatan strategis bagi lawan politiknya, cara kerja kekuasaan menjadi lebih senyap.
Pemberian jabatan, penghargaan dan posisi-posisi penting bagi lawan politiknya menjadi strategi politik "utang budi" yang memperkuat loyalitas tanpa paksaan langsung.
Lawan politik yang telah dirangkul Jokowi merasa memiliki kewajiban moral untuk mendukung kebijakan pemerintah, terutama setelah memperoleh jabatan strategis.
Hal ini ditambah dengan menempatkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Prabowo Subianto.
Sehingga pengaruh dan power Jokowi tetap ada meskipun Jokowi sudah tidak berkuasa lagi nanti. Melalui jaringan kekuasaan yang dibangun, Jokowi berpotensi menjadi semacam invisible hand dalam politik nasional.
Sehingga, keputusan-keputusan besar tetap dipengaruhi oleh loyalitas dan komitmen politik yang telah dibentuk selama masa pemerintahannya.
Dipenguhujung masa pemerintahanya, ketidakpercayaan publik terhadap jokowi semakin menguat. Kondisi ini tidak terlepas dari watak politik yang ditujukan Jokowi belakangan sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan.
Ketika kekuasaan tanpa kontrol seperti yang dijalankan Jokowi, maka wajah muram demokrasi akan semakin menampakkan dirinya.
Stabilitas yang dikejar melalui penguasaan totalitas dan pengendalian narasi publik justru mengancam keberadaan oposisi yang esensial dalam sebuah sistem demokrasi. ***