AGAMA POLITIK TRENDING

VIRAL Produk Bermerek Tuyul, Beer, Tuak, dan Wine Dapat Sertifikat Halal Kemenag, MUI: Menyalahi Fatwa, Kami Tak Bertanggung Jawab!

DEMOCRAZY.ID
Oktober 01, 2024
0 Komentar
Beranda
AGAMA
POLITIK
TRENDING
VIRAL Produk Bermerek Tuyul, Beer, Tuak, dan Wine Dapat Sertifikat Halal Kemenag, MUI: Menyalahi Fatwa, Kami Tak Bertanggung Jawab!



DEMOCRAZY.ID - Beredarnya video dari masyarakat terkait produk pangan dengan nama tuyul, tuak, beer, serta wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). 


Padahal, menurut standar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), hal itu tidak dibenarkan.


Berkaitan dengan itu, MUI melakukan konfirmasi, klarifikasi, dan pengecekan. Melalui rilis yang diterima detikHikmah, MUI telah melakukan investigasi dan menggelar pertemuan untuk mencari titik terang atas kasus tersebut.


Hasilnya, informasi tersebut benar adanya dan produk-produk yang disebutkan memperoleh Sertifikat Halal melalui jalur Self Declare tanpa audit Lembaga Pemeriksa Halal serta penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI. 


Hal ini dikonfirmasi oleh Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh saat dihubungi detikHikmah pada Selasa (1/10/2024).


"Sesuai rilis (benar)," katanya.


Dalam pertemuan yang dilakukan pada Senin (30/9) sore lalu, Prof Niam mengatakan bahwa penetapan itu menyalahi Standar Fatwa MUI.


"Penetapan Halal tersebut menyalahi Standar Fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut," ujarnya dalam rapat klarifikasi dan tabayun yang juga dihadiri pimpinan Komisi Fatwa MUI serta unsur masyarakat pemerhati dan pegiat halal nasional yang melaporkan kasus tersebut ke MUI.


MUI akan Berkoordinasi dengan BPJPH untuk Cari Jalan Keluar


Prof Niam menegaskan bahwa pihaknya akan segera berkoordinasi dengan BPJPH untuk mencari jalan keluar terbaik agar kasus serupa tidak terulang.


"Saya akan segera komunikasi dengan teman-teman Kemenag, khususnya BPJPH untuk mendiskusikan masalah ini," tegasnya.


Melalui rapat tersebut diperoleh informasi bahwa kejadian tersebut benar adanya karena bukti-bukti jelas terpampang dalam website BPJPH dan diarsipkan oleh pelapor. 


Meski demikian, belakangan nama-nama produk tersebut tidak muncul lagi di aplikasi BPJPH.


Guru Besar Ilmu Fikih tersebut juga mengatakan, sesuai dengan ketentuan dalam sertifikasi halal, penetapan kehalalan produk harus mengacu pada standar halal yang ditetapkan oleh MUI.


"Sementara penerbitan Sertifikat Halal terhadap produk-produk tersebut, tidak melalui MUI dan menyalahi fatwa MUI tentang standar halal," tambah Prof Niam.


Dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, setidaknya ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan. 


Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.


"Sesuai dengan pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan nama yang terasosiasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma, hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan," beber Prof Niam.


Kemudian, turut dijelaskan pada ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal, produk halal tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada nama benda atau binatang yang diharamkan, termasuk babi dan khamr atau alkohol. 


Kecuali, produk tersebut termasuk dalam produk tradisi ('urf) dan sudah dipastikan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso, bakmi, bakpia, bakpao.


Atas dasar itu, Prof Niam menghimbau agar semua pihak yang berperan dalam penetapan kehalalan produk melalui mekanisme self declare harus berhati-hati dan lebih teliti, serta memperhatikan titik-titik kritis dalam proses penetapan halal. 


Niam juga menegaskan akan berkoordinasi dengan BPJPH agar kasus-kasus serupa tidak terulang.


"MUI akan koordinasi dan konsolidasi dengan BPJPH untuk mencegah kasus serupa terulang. Jangan sampai merusak kepercayaan publik yang bisa berdampak buruk bagi upaya penjaminan produk halal. Masyarakat harus diyakinkan dengan kerja serius kita. Kalau masyarakat sudah tidak percaya, bisa hancur. Jangan sampai hanya mengejar target kuantitatif jadinya yang keluar adalah halal-halal an," jelasnya.


Sertifikasi Halal Lewat Self Declare Cenderung Rawan


Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda menjelaskan sertifikasi halal melalui Self Declare mengandung kerawanan, karenanya memerlukan kehati-hatian yang ekstra.


"Pihak-pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal, lebih khusus melalui Self Declare harus berhati-hati dan ekstra teliti, serta mematuhi standar halal yang berlaku. Harus benar-benar memastikan bahwa produk tersebut merupakan produk yang sudah jelas kehalalannya dan proses produksi sederhana. Juga harus memperhatikan titik-titik kritis dalam proses halal," katanya.


Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Direktur Halal Corner Aishah Maharani menjelaskan bahwa penetapan halal lewat Self Declare yang tanpa audit dari LPH, seringkali menimbulkan masalah.


"Ini bisa menghancurkan reputasi Indonesia dalam penjaminan produk halal di mata global, gara-gara cara yang tidak profesional. Perlu ada perbaikan. Kalau tidak, metode ini dihapus saja," terangnya.


Dalam penuturannya, Aishah menyebut bahwa pada metode Self Declare diperlukan manual SJPH bukan sekedar narasi pernyataan dari PU.


"Namun jika tidak bisa, metode self declare sebaiknya dihapus saja, karena sudah nyata mudaratnya. Ini juga tidak sejalan dengan spirit penjaminan yang didahului dengan audit. Sebagai gantinya, dibuatkan sistem sertifikasi halal gratis dengan metode reguler dengan memberdayakan P3H sebagai pendamping usaha mikro sebelum pendaftaran sertifikasi halal, audit halal tetap dilakukan oleh auditor halal, bukan P3H," urainya.


Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal


Berikut beberapa produk yang tidak dapat disertifikasi halal sebagaimana tertuang dalam Fatwa MUI No.44 Tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk, dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal. 


Fatwa ini telah ditandatangani Hasanudin Abdul Fattah serta Asrorun Niam Sholeh sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI.


a. Produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif;


b. Produk yang menggunakan nama benda/hewan yang diharamkan, kecuali:

1) yang telah mentradisi ('urf) yang dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan;

2) yang menurut pandangan umum tidak ada kekhawatiran adanya penafsiran kebolehan mengkonsumsi hewan yang diharamkan tersebut;

3) yang mempunyai makna lain yang relevan dan secara empirik telah digunakan secara umum.


c. Produk yang berbentuk babi dan anjing dengan berbagai desainnya;


d. Produk yang menggunakan kemasan bergambar babi dan anjing sebagai fokus utama;


e. Produk yang memiliki rasa/aroma (flavour) unsur benda atau hewan yang diharamkan;


f. Produk yang menggunakan kemasan yang berbentuk dan/atau bergambar erotis dan porno.


Sumber: Detik

Penulis blog