CATATAN POLITIK

Tugas Berat Menambal ‘Bopeng-Bopeng’ Warisan Jokowi

DEMOCRAZY.ID
Oktober 20, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Tugas Berat Menambal ‘Bopeng-Bopeng’ Warisan Jokowi


Tugas Berat Menambal ‘Bopeng-Bopeng’ Warisan Jokowi


Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, Joko Widodo (Jokowi) lengser meninggalkan sejumlah warisan tak sedap. Setelah dua periode atau satu dekade berkuasa, Jokowi meninggalkan ‘bopeng-bopeng’ yang harus ditambal pemerintahan baru.


Pemerintahan Joko Widodo yang telah berjalan sejak 2014 berakhir Minggu (20/10/2024) hari ini. Selama dua periode pemerintahannya, Jokowi mencetak beberapa pencapaian. Namun banyak kritikus lebih menyoroti berbagai masalah serius yang dianggap sebagai warisan buruk.


Kepemimpinan Jokowi dinilai memunculkan kembali corak kekuasaan gaya lama, politik dinasti, serta penurunan integritas di lembaga peradilan dan institusi pemerintah lainnya hingga warisan tumpukkan utang. Bahkan sempat muncul gerakan moral dengan hati nurani dari guru besar dan akademisi menyatakan kritik terhadap Jokowi karena bangsa ini mengalami kemunduran terhadap nilai demokrasi, etika dan moral.


Pengamat mewanti-wanti ‘bopeng-bopeng’ warisan Jokowi ini. Ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian sehingga pemerintahan baru harus segera menambalnya. Terlalu banyak untuk menguraikannya, tetapi ada beberapa yang harus mendapat perhatian segera dan seharusnya menjadinya prioritas.


Warisan ‘Bopeng’ Korupsi 


Salah satu warisan buruk adalah persoalan pemberantasan korupsi yang dinilai mundur. Publik pasti masih ingat, salah satu janji Jokowi ketika pertama kali terpilih sebagai presiden pada 2014 adalah komitmen serius memberantas korupsi. 


Meski ada sejumlah kasus korupsi besar yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti korupsi Bansos oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, pemberantasan korupsi di era Jokowi kerap dipandang stagnan atau bahkan mundur. Tudingan lain adalah pemberantasan korupsi dinilai tebang pilih dan tak lepas dari kepentingan politik.


Salah satu isu yang paling mencolok adalah pelemahan KPK melalui revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Revisi ini dianggap memperlemah independensi dan kekuatan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi. 


Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata blak-blakan mengakui KPK gagal menangani korupsi. Ia berkaca pada fluktuasi Indeks Persepsi korupsi (IPK) yang dikeluarkan Transparency International. “Saya masih ingat tahun 2015, pertama kali saya masuk ke KPK, indeks persepsi korupsi itu 34. Lalu sempat naik ke angka 40. Sekarang (tahun 2024) kembali di titik 34,” ujar Alex.


"Korupsi (yang melibatkan aparat) penegak hukum juga tinggi, mulai dari kepolisian dan kejaksaan, bahkan KPK, MA (Mahkamah Agung) serta peradilan di bawahnya," ucap Zaenur Rohman Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).


‘Bopeng’ Pembangunan IKN


Salah satu proyek ambisius Jokowi adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Proyek yang dimaksudkan untuk mengurangi beban Jakarta yang semakin padat dan meratakan pembangunan di luar Pulau Jawa itu sejak awal sudah mengundang pro dan kontra. 


Hingga akhir masa jabatan Jokowi pada 2024, pembangunan IKN masih jauh dari selesai. Infrastruktur dasar seperti jalan, fasilitas umum, dan gedung pemerintahan belum rampung. Selain itu, masalah pendanaan menjadi salah satu faktor utama yang menghambat pembangunan. Pemerintah banyak berharap pada investasi swasta dan dana dari negara lain, namun banyak investor enggan berinvestasi karena ketidakpastian politik dan ekonomi.


Mega proyek IKN yang diperkirakan membutuhkan dana total Rp466 triliun sudah menyedot dana besar. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terpakai hingga Rp72,3 triliun sepanjang tiga tahun belakangan.


Melihat warisan posisi keuangan pemerintah yang sedang tidak baik-baik saja, sepertinya di era pemerintahan berikutnya, proyek pembangunan IKN bakal tersendat-sendat. Jika pembangunan IKN gagal diteruskan atau mangkrak, proyek ini akan menambah beban bagi pemerintahan berikutnya dan menjadi contoh kegagalan manajemen proyek mega-infrastruktur. 


‘Bopeng’ Utang yang Membengkak


Seiring upaya pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur besar-besaran, utang negara pun mengalami peningkatan signifikan. Pada akhir masa pemerintahan Jokowi, total utang pemerintah mencapai angka sangat besar, dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus meningkat. 


Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, total utang pemerintah pada Agustus 2024 mencapai sekitar Rp8.461,9 triliun. Ini merupakan peningkatan hampir Rp5.853 triliun dari posisi awal sebesar Rp2.608,7 triliun pada akhir 2014. 


Peningkatan ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk kebutuhan pembangunan infrastruktur dan penanganan pandemi COVID-19. Pemerintah mengklaim bahwa peningkatan utang ini masih dalam batas aman karena rasio utang terhadap PDB masih di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu 60%. 


Researcher Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Riza Annisa Pujarama, mencatat Prabowo akan langsung dihadapkan dengan pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun tahun depan. Utang Rp705,5 triliun tersebut berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp94,83 triliun lainnya berupa pinjaman.


Tumpukan utang tersebut belum termasuk bunga yang menembus Rp552,85 triliun pada 2025. Jika ditotal, utang jatuh tempo dan bunga yang harus dibayar Prabowo di tahun pertamanya menjabat sebagai presiden sebesar Rp1.353,1 triliun.


"Ini yang juga membuat ruang fiskal untuk 2025 semakin terbatas bagi pemerintahan yang baru. Dan menjadi warisan yang buruk dari kepemimpinan Pak Jokowi untuk Pak Prabowo," tambah Ariyo DP Irhamna, Researcher Center of Industry, Trade, and Investment INDEF kepada media.


Beban utang yang semakin besar ini akan menjadi tantangan berat bagi pemerintahan berikutnya, terutama jika pertumbuhan ekonomi tidak cukup kuat untuk menutup kewajiban pembayaran utang dan bunga di masa depan. Gali utang tutup utang masih akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang.


Proyek infrastruktur banyak yang dibiayai melalui utang, dan tanpa perencanaan matang mengenai return on investment (ROI) sehingga dikhawatirkan akan menjadi beban yang sulit dibayar generasi mendatang. Peningkatan utang juga terjadi dalam bentuk utang luar negeri, yang tentu saja mengandung risiko terjadinya tekanan dari negara-negara kreditur jika kemampuan pembayaran Indonesia melemah.


’Bopeng’ Pengangguran dan Tingginya Kesenjangan Sosial 


Meskipun Jokowi berkomitmen memperkecil kesenjangan sosial, terutama melalui program-program seperti Kartu Prakerja dan bantuan sosial, faktanya kesenjangan ekonomi di Indonesia masih tinggi. Kekayaan masih banyak terkonsentrasi di tangan segelintir elite ekonomi, sementara rakyat kecil, terutama di daerah terpencil, masih menghadapi kesulitan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak. 


Proyek infrastruktur yang digadang-gadang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat ternyata lebih banyak dinikmati kelompok-kelompok tertentu yang memiliki akses kepada pemerintah dan pengusaha besar. Ini menciptakan kesan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai selama pemerintahan Jokowi belum merata dan belum menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.


Kabar terbaru, sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat hingga 1 Oktober 2024, sebanyak 52.993 pekerja telah di-PHK. PHK ini banyak berdampak pada kelas menengah yang bekerja di sektor formal. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019, terdapat 57,33 juta penduduk kelas menengah, atau 21,4 persen dari total penduduk 267 juta jiwa. 


Namun, data BPS terbaru pada 28 Agustus 2024 menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah turun menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024 atau 17,1 persen dari total penduduk Indonesia saat ini yang mencapai 289 juta jiwa. BPS mendefinisikan kelas menengah sebagai mereka yang memiliki pengeluaran per kapita Rp2 juta hingga Rp9,9 juta per bulan, atau 3,5 hingga 17 kali garis kemiskinan Bank Dunia.


Bagi kelas menengah, tak bisa lagi bekerja di sektor formal tentu sangat berat. Mereka akhirnya terpaksa berusaha di sektor informal menjadi ojek online, berdagang makanan atau usaha lainnya. “Proses ‘informalisasi’ sektor ketenagakerjaan yang diakibatkannya akan terus menurunkan kualitas pendapatan masyarakat dalam jangka panjang,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, mengutip Independent Observer.


‘Bopeng’ di Wajah Demokrasi


Dalam masa pemerintahan Jokowi, ada berbagai indikator yang menunjukkan penurunan kualitas demokrasi di Indonesia terutama sejak awal periode kedua. Dalam rilis laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia pada 2020 jatuh di titik terendah dalam 14 tahun terakhir. Dengan nilai indeks demokrasi 6.30, posisi Indonesia berada di bawah Filipina dan Timor Leste.


Freedom House mengungkap indeks demokrasi Indonesia merosot dari 62 poin ke 53 poin pada 2019-2023. Sedangkan lembaga Reporters Without Borders (RSF) mencatat penurunan kualitas kebebasan pers Indonesia. Skor kebebasan pers Indonesia anjlok dari 63,23 poin pada 2019 ke 54,83 poin pada 2023.


Apa kata Jokowi? Pada Juli lalu, Jokowi merespons soal laporan indeks demokrasi di Indonesia yang merosot pada masa pemerintahannya. Jokowi menyebut demokrasi di Indonesia baik-baik saja. Buktinya, lanjut Jokowi, pemerintah tidak pernah menghambat kebebasan berpendapat. Sampai saat ini setiap orang bisa bebas berorganisasi hingga berserikat. 


Bahkan kata Jokowi, ia kerap mendengar masyarakat yang mengkritik, hingga memaki presiden. “Tiap hari orang mau maki-maki presiden juga kita dengar. Orang nge-bully presiden juga kita dengar. Kalau mengkritik hampir tiap detik ada pasti," ucap Jokowi di Bandung, Jawa Barat, Jumat (19/7/2024).


Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, Yanuar Nugroho menilai demokrasi di Indonesia masih berkutat pada demokrasi prosedural, belum substansial. Demokrasi prosedural merupakan demokrasi yang dijalankan dengan pendekatan atau cara-cara yang seolah-olah demokratis, tetapi hasilnya tidak, atau justru bahkan bisa mematikan demokrasi.


Yanuar menegaskan bahwa demokrasi semacam itu memiliki dampak berbahaya dalam jangka panjang karena keterlibatan publik dalam membuat kebijakan akan hilang. “Tidak ada kontrol publik, dan tidak ada check and balancing. Demokrasi yang substantif akan mati,” tutur Yanuar yang pernah menjabat sebagai Deputi Kepala Staf Presiden periode 2014-2019 itu dalam sebuah simposium di Surabaya, Mei lalu.


Jokowi awalnya dipuji karena latar belakangnya yang tak memiliki hubungan militer, dan tidak terhubung dengan oligarki yang kuat di Indonesia. Ia kini meninggalkan jabatannya dengan tuduhan bahwa dia berusaha mengamandemen undang-undang demi keuntungan keluarganya, serta mengendalikan lembaga negara untuk menekan para lawan politiknya.


Banyak produk hukum yang lebih merepresentasikan kepentingan elite, seperti UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU IKN. Kontroversi produk hukum ini lahir ketika pembengkakan kekuasaan eksekutif (executive heavy) dan minimnya kelompok oposisi.


Tuduhan itu mencerminkan perubahan yang signifikan dari citra awalnya sebagai pemimpin yang anti-korupsi dan berpihak pada demokrasi. "Jokowi membuat banyak kerusakan pada demokratisasi dalam beberapa tahun terakhir," kata analis politik Kevin O'Rourke, mengutip VoA Indonesia. "Sulit untuk melihat bagaimana hal itu dapat dipulihkan."


‘Bopeng’ Kerusakan Lingkungan dan Pembangunan Tidak Berkelanjutan


Pembangunan besar-besaran yang dilakukan Jokowi, terutama di sektor infrastruktur, juga menimbulkan dampak lingkungan yang serius. Proyek-proyek infrastruktur seringkali dianggap mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan. Salah satu contohnya adalah pembukaan lahan besar-besaran di Kalimantan Timur untuk pembangunan IKN yang berpotensi merusak ekosistem hutan dan mengancam habitat satwa liar.


Selain itu, proyek pembangunan bendungan, jalan tol, dan pelabuhan sering kali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan terhadap masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat yang tergusur dari tanah mereka. Akibatnya, masalah seperti deforestasi, pencemaran lingkungan, serta konflik agraria marak terjadi di berbagai daerah.


Selama dua periode pemerintahan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya terjadi 2.701 konflik agraria disertai kekerasan dan kriminalisasi. Akibatnya 69 tewas, 38 tertembak, 842 dianiaya dan 1.615 orang dikriminalisasi hingga divonis, karena mempertahankan tanah dan sumber kehidupannya. Sementara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat telah terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat.


Padahal Jokowi telah menjanjikan kepada rakyat Indonesia akan menjalankan reforma agraria seluas 9 juta hektar kepada petani dan rakyat kecil. Yang terjadi, justru 5,8 juta hektare tanah petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan di pedesaan dirampas dan diserahkan penguasaannya kepada kelompok pengusaha.


‘Bopeng-bopeng’ Jadi Beban Pemerintahan Baru


Masih banyak persoalan lain yang menjadi warisan buruk bagi pemerintahan baru. Jika tidak dikelola dengan baik, warisan ini dapat memperburuk kondisi politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia ke depan juga menyita perhatian pemerintahan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. 


Bukan tak mungkin banyak anggota kabinet yang mendapat persoalan di awal menjabat karena beratnya usaha untuk menambal ‘bopeng-bopeng’ apalagi dibarengi dengan benturan kepentingan mengingat ‘orang-orang’ lama masih berada di lingkar dalam pemerintahan baru.


Belum lagi kuatnya sentimen negatif di publik terhadap pemerintahan Jokowi termasuk kepada Gibran. Bisa jadi, para pembantu presiden mendatang harus sekuat tenaga keluar dari sentimen ini atau malah sibuk mengurusi persoalan ini dengan mencoba menepis dan menkonter isu-isu warisan dan bukannya sibuk bekerja dengan semangat dan terobosan baru. 


Atau akan ada ‘Satgas’ bayangan yang memang bertugas ‘mencuci piring’ dan memoles ‘bopeng-bopeng’ ini dengan ‘mendempulnya’ agar tampak halus dari luar. 


Kini semuanya berada di tangan ketegasan pemimpin baru Prabowo Subianto, apakah terlena dengan urusan menambal ‘bopeng’ atau tegas melihat ke depan dengan visi, misi dan program inovasi baru untuk kemajuan bangsa dan 280 juta warganya. 


Sumber: INILAH

Penulis blog