'Terlalu Mahal Mengistimewakan Wapres Gibran, Tak Setara Dengan Kemampuannya'
Pemilu dan Pilpres merupakan dua mekanisme penting dalam demokrasi modern. Di Indonesia, pelaksanaan kedua proses ini tidak hanya menuntut biaya yang sangat besar, tetapi juga menguras energi bangsa secara keseluruhan.
Dana yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun, setiap kali Pemilu dan Pilpres digelar, sebagian besar sumber daya negara dialokasikan untuk penyelenggaraan proses demokrasi ini.
Namun, masalah biaya ini bukan satu-satunya beban yang harus ditanggung bangsa. Persoalan kemudian timbul ketika hasil dari proses yang mahal dan penuh perjuangan tersebut melahirkan sosok pemimpin yang tidak sesuai dengan harapan.
Kasus terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden dalam Pemilu 2024 adalah contoh nyata yang menggambarkan bagaimana biaya besar yang dikeluarkan justru menghasilkan polemik berkepanjangan.
Kontroversi Legitimasi dan Beban Fasilitas Negara
Pertama-tama, terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden menyulut kontroversi terkait legitimasi proses pemilihannya.
Banyak pihak meragukan apakah ia benar-benar mendapatkan mandat dari rakyat atau justru terjadi manipulasi dalam proses pemilihan.
Kontroversi ini memperlihatkan ketidakseimbangan antara biaya besar yang dikeluarkan dengan kualitas pemimpin yang dihasilkan.
Pemilu dan Pilpres yang seharusnya menjadi cerminan kehendak rakyat, justru menimbulkan pertanyaan serius mengenai apakah hasil yang dicapai benar-benar sesuai dengan aspirasi dan harapan bangsa.
Lebih dari itu, terpilihnya Gibran juga menjadi sorotan karena ia diberikan fasilitas negara yang sangat besar, yang jika dilihat dari perspektif kapasitas dan kemampuan dirinya, tampaknya berlebihan.
Negara menyediakan berbagai kemudahan dan fasilitas untuk mendukung kinerja Wakil Presiden, termasuk tunjangan, fasilitas kendaraan, rumah dinas, serta staf yang mendukung.
Namun, fasilitas-fasilitas ini menjadi terlalu mahal ketika disandingkan dengan kompetensi minimum yang dimiliki oleh Gibran.
Ketidaksetaraan Kemampuan dan Tanggung Jawab
Secara objektif, Gibran tidak memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni dalam politik maupun pemerintahan.
Ia juga tidak menunjukkan pengalaman kepemimpinan yang cukup untuk menjalankan tugas berat sebagai Wakil Presiden.
Kekurangan dalam aspek pendidikan dan leadership ini menjadi isu serius, mengingat tanggung jawab yang diemban oleh seorang Wakil Presiden sangatlah besar.
Negara saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan, mulai dari krisis ekonomi, pengangguran, hingga masalah sosial yang kompleks.
Namun, alih-alih memilih pemimpin yang kompeten dan berpengalaman, bangsa ini seolah dipaksa menerima sosok yang tidak memiliki kapasitas yang memadai.
Hal ini menciptakan kesan bahwa negara, khususnya di bawah kepemimpinan Jokowi, lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan keluarganya daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Politik Dinasti dan Isu Meritokrasi
Terpilihnya Gibran juga menjadi contoh nyata dari semakin menguatnya politik dinasti di Indonesia. Gibran, yang merupakan putra dari Presiden Jokowi, dianggap sebagai penerus kekuasaan keluarganya, meskipun dengan kemampuan yang dipertanyakan.
Politik dinasti seperti ini mengesampingkan prinsip meritokrasi—di mana jabatan publik seharusnya diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan hubungan keluarga.
Kondisi ini merugikan bangsa, terutama ketika sumber daya negara digunakan untuk memfasilitasi sosok yang belum terbukti dapat memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan negara.
Selain itu, langkah negara yang terus-menerus mengistimewakan keluarga Jokowi, termasuk Gibran, menciptakan ketimpangan sosial yang semakin kentara.
Ketika banyak anak muda Indonesia yang kompeten dan berpendidikan tinggi harus berjuang keras untuk mendapatkan tempat di pemerintahan, seorang Gibran, yang minim pengalaman, justru memperoleh fasilitas dan posisi strategis dengan mudah.
Hal ini jelas tidak sebanding dengan kebutuhan bangsa yang memerlukan sosok pemimpin berkualitas di masa-masa sulit seperti sekarang.
Dampak Buruk Fasilitas Berlebihan
Fasilitas yang disediakan negara untuk Gibran juga menimbulkan dampak negatif. Dengan segala kemudahan yang diberikan, Gibran bisa saja terjebak dalam kenyamanan tanpa merasakan tantangan nyata yang dihadapi rakyat Indonesia.
Ketika pemimpin tidak merasakan langsung kesulitan yang dialami masyarakat, keputusan yang diambil pun bisa jadi tidak relevan dan tidak berdampak signifikan.
Lebih parah lagi, fasilitas yang berlebihan ini justru merugikan negara, mengingat dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program-program yang lebih mendesak, kini dihabiskan untuk membiayai kehidupan mewah seorang Wakil Presiden yang minim kontribusi.
Kesimpulan: Perlu Evaluasi Serius
Dalam menghadapi realitas ini, bangsa Indonesia perlu melakukan evaluasi serius terhadap sistem pemilihan dan pengelolaan pemimpin di masa depan.
Pemilu dan Pilpres yang menguras anggaran dan energi bangsa seharusnya menghasilkan sosok pemimpin yang benar-benar kompeten dan mampu membawa perubahan positif.
Namun, dengan terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden, kita justru melihat bagaimana sistem demokrasi ini dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan keluarga tertentu.
Jika situasi ini dibiarkan, maka bangsa ini akan semakin terpuruk, dengan pemimpin yang tidak mampu membawa kita keluar dari krisis, dan fasilitas negara yang semakin disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak sebanding dengan kontribusinya.
Sumber: FusilatNews