'Stop dan Batalkan Pelantikan Gibran, Ini Fakta Hukumnya!'
Oleh: Petrus Selestinus
Koordinator TPDI & Pergerakan Advokat Nusantara
HARUS disadari bahwa MPR adalah pemegang kedaulatan rakyat sekaligus pengemban fungsi representasi rakyat. MPR bukanlah lembaga tukang stempel hasil Pemilu dan juga bukan tukang stempel Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa Pilpres, melainkan MPR memiliki kewenangan untuk menyerap aspirasi rakyat guna memberikan penilaian akhir terhadap seluruh tahapan dalam proses demokratisasi yang sedang berjalan terkait pemilihan dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih yang akan dilantik pada 20/10/2024. Apakah masih layak dan beralasan hukum untuk dilantik atau tidak dilantik ?
Hal ikhwal tentang apakah Capres dan Cawapres layak atau tidak dilantik, sangat beralasan, oleh karena jedah waktu delapan bulan pasca pemilu Februari 2024 hingga 20/10/2024, dimaksudkan oleh para pembentuk UU agar MPR memiliki waktu yang cukup untuk memantau dan mencermati hal-hal buruk apa yang bakal muncul dan terjadi bahkan melekat dalam diri Capres-Cawapres terpilih, namun lolos dari proses seleksi lewat pemilu, lolos dari pantauan KPU dan lolos dari proses pemeriksaan Mahkamah Konstitusi, terlebih-lebih oleh karena MK memiliki kesempatan dan wewenang yang sangat terbatas dalam pemeriksaan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Hal demikian beralasan untuk dilakukan, karena bisa saja sejak proses pemilu dan proses sengketa Pilpres diputus oleh MK, hingga menjelang pelantikan, terjadi peristiwa dan terdapat fakta hukum yang tersembunyi (kasus akun Fafafufu) atau baru terjadi kemudian, sehingga lolos dari kecermatan instrumen politik dan hukum yang tersedia (seperti KPU, Bawaslu, MK dan PTUN), yang dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu telah diantisipasi tentang kemungkinan seorang Capres-Cawapres terpilih “tidak dilantik” melalui ketentuan pasal 427 jo pasal 169 huruf e dan j UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.
MPR harus secara jernih dan obyektif melihat realitas di mana hukum sudah dirusak dan tidak lagi menjadi panglima, terdapat fakta yang notoire feiten bahwa ketika MK bersidang dalam perkara Uji Materiil No.90/PUU-XXI/ 2023 hingga perkara PHPU No. : 1 PHPU.PRES-XXII/2024 dan No. : 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK, Hakim-Hakim Konstitusi berada dalam keadaan tidak merdeka atau tidak bebas, akibat pengaruh kekuasan eksekutif lewat dinasti poitik di MK, suatu kondisi yang sangat paradoks dengan jaminan UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjakankan tugas.
Advokat-Advokat Tim Pembela Demokrasi Indonesia/TPDI dan Pergerakan Advokat Nusantara/PEREKAT NUSANTARA setelah mencermati dan menganalisis sejumlah peristiwa dan fakta hukum yang ditarik mulai dari proses dan tahapan persidangan Perkara Uji Materiil No.90/PUU-XXI/ 2023, 7 November 2023 dan Persidangan Perkara PHPU No. : 1 PHPU.PRES-XXII/2024 dan Perkara PHPU No. : 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK serta peristiwa dan fakta hukum lain yang muncul kemudian (Fafafufu), berpendapat bahwa proses pencawapresan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024, melanggar prinsip konstitusi, hukum dan demokrasi, sehingga telah berimplikasi hukum kepada tidak sah dan batalnya pencawapresan Gibran Rakabuming Raka.
Oleh karena itu Advokat TPDI dan Perekat Nusantara meminta agar MPR mendiskualifikasi atau tidak melantik Cawapres terpilih, Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres 2024-2029, pada Sidang MPR 20/10/2024 nanti berdasarkan beberapa peristiwa dan fakta-fakta hukum yang telah, sedang dan akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.
Untuk itu Para Advokat TPDI dan Perekat Nusantara mengungkap tujuh peristiwa dan fakta hukum, yang dijadikan alasan bagi MPR untuk mendiskualifikasi atau tidak melantik Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden terpilih mendampingi Presiden terpilih Prabowo Subianto pada pelantikan 20/10/2024 yang akan datang sbb. :
Peristiwa dan Fakta Hukum Pertama
Selama proses hingga putusan Perkara Uji Materiil No. : 90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023, menjadi kontroversi, hingga publik menjuluki MK sebagai Mahkamah Keluarga, karena Putusan Perkara Uji Materiil No.90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023, terbukti Hakim-Hakim Konstitusi memiliki conflict of interest dan sejumlah pelanggaran lain yang diungkap sendiri oleh Hakim Konstitusi dalam dissenting opinion Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023 dimaksud.
Bahkan para Advokat TPDI dan Pderekat Nusantara, 12/10/2023 atau empat hari sebelum putusan perkara Uji Materiil No.90/PUU-XXI/2023, dibacakan (16/10/2023), sudah mengirim somasi yang ditujukan kepada sembilan Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara Uji Materiil No. 90/PUU-XXI/2023, agar mengundurkan diri dari persidangan perkara a’quo, karena kesembilan Hakim Konstitisi dimaksud memiliki conflict of interest, sebagai suatu perilaku yang dilarang dan diancam dengan sanksi Administrasi dan/atau sanksi pidana dan Putusan Hakim Konstitusi dinyatakan tidak sah oleh ketentuan pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun demikian faktanya, somasi dimaksud tidak digubris, demi mengejar batas waktu pencalonan dan pendaftaran pencawapresan Gibran Rakabuming Raka.
Dengan demikian, Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023, merupakan peristiwa dan fakta hukum yang sangat penting dan menentukan bagi kebasahan pencawapresan Gibran Rakabuming Raka, oleh karena Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023 dimaksud, tidak hanya berimplikasi hukum kepada Hakim Konstitusi Anwar Usman diberhentikan dari jabatan Ketua MK dan 8 Hakim Konstitusi lainnya diberi sanksi administratif berupa Teguran Tertulis dan Teguran Lisan secara koletif oleh MKMK dalam putusan MKMK 7/11/2023, akan tetapi juga berimplikasi hukum pada tidak sahnya Putusan MK No. : 90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023 dimaksud.
Implikasi hukum lainnya yang paling fatal adalah terhadap perkara Uji Materiil No. 90/ PUU-XXI/2023 disidangkan kembali dengan susunan Majelis Hakim yang berbeda, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No. 48 Tahun 2009. Namun sanksi pidana saat ini masih dalam proses telaah KPK dalam perkara dugaan terjadi Tindak Pidana Kolusi dan Nepotisme, sementara akibat hukum berupa tidak sahnya putusan MK saat ini diabaikan oleh MK sendiri.
Peristiwa dan Fakta Hukum Kedua
Pelanggaran terhadap Kode Etik dan perilaku sembilan)Hakim Konstitusi ketika menyidangkan Perkara Uji Materiil ketentuan pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 dalam perkara No. 90/PUU-XXI/2023, telah dilaporkan oleh Masyarakat termasuk oleh Advokat TPDI dan Pperekat Nusantara kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam perkara, masing-masing yaitu :
- Perkara Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi No. : 2/MKMK/L/11/2023, di MKMK atas nama Hakim Terlapor Anwar Usman
- Perkara Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi No. : 3/MKMK/L/ L11/2023, di MKMK;
- Perkara Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi No. : 4/MKMK/L/ 11/2023, di MKMK; dan
- Perkara Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi No. : 5/MKMK/L/11/2023, di MKMK, untuk 8 (delapan) Hakim Konstitusi lainnya.
Ini membuktikan bahwa Hakim Konstitusi telah melanggar ketentuan pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana terbukti dari 9 (sembilan) Hakim Konstitusi yang menyidangkan perkara No. 90/PUU-XXI/2023 dimaksud, diberi sanksi Administrasi sesuai putusan-putusan MKMK di atas, di mana Hakim Konstitusi Anwar Usman diberhentikan dari jabatan Ketua MK, sedangkan Hakim Konstitusi lainnya yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra dkk. diberi sanksi berupa Teguran Tertulis atau Teguran Liasan secara kolektif, karena terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim.
Dengan demikian, Putusan Perkara Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi No. : 2, No. 3, No. 4 dan No. 5/MKMK/L/11/2023, 7/11/2023, merupakan peristiwa dan fakta hukum yang ikut memperkuat dalil bahwa pencawapresan Gibran Rakabuming Raka menjadi cacat hukum dan tidak sah.
Peristiwa dan Fakta Hukum Ketiga
Pemberhentian Ketua MK Anwar Usman dan terpilihnya Hakim Konstitusi Suhartoyo sebagai Ketua MK, merupakan peristiwa dan faktu hukum yang membuktikan bahwa eksekusi atau pelaksanaan Putusan MKMK No. 2, No. 3, No. 4 dan No. 5/MKMK/L/11/2023, 7/11/ 2023, 9/11/2023, berjalan secara baik, antara lain terjadi Pemilihan Ketua MK baru Suhartoyo sebagai Ketua MK menggantikan Anwar Usman dan beberapa larangan lainnya bagi Anwar Usman untuk tidak ikut dalam persidangan sengketa-sengketa tertentu termasuk sengketa Pilpres 2024 dan beberapa sengketa Pilkada, sebagai sanksi administratif terhadap Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara Uji Materiil No. 90/PUU-XXI/2023 oleh MKMK.
Dengan demikian, peristiwa di mana terjadi pergantian Ketua MK dimaksud, merupakan peristiwa dan fakta hukum, yang sangat penting dan menentukan bahwa MK berada dalam cengkraman dinasti politik Presiden Jokowi ketika memutus Perkara Uji Materiil No. 90/PUU-XXI/2023, sehingga secara hukum dan moral berimplikasi kepada Putusan MK dimaksud menjadi tidak sah dan pencawapresan Gibran Rakabuming Raka juga tidak sah dan kelak harus dibatalkan.
Sesuai dengan ketentuan pada BAB II tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 17 ayat (1) s/d ayat (7) yang mengatur tentang hak ingkar.
Dengan demikian, persidangan perkara PUU No. 90/PUU-XXI/2023, seharusnya diawali dengan pernyataan sikap negarawan dari Hakim Konstitusi yang menjadi Ketua Majelis Hakimnya yaitu Anwar Usman, bahwa dirinya mengundurkan diri dari persidangan perkara a’quo, karena :
- Terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan pihak yag diadili (pasal 17 ayat 4) ; atau
- Mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa (pasal 17 ayat 5).
Namun pada kenyataannya seluruh ketentuan pasal 17 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di atas, sama sekali tidak dipatuhi oleh sembilan Hakim Konstitusi.
Begitu pula dengan sikap pihak Pemberi Keterangan (Para Pihak) yang diadili, yaitu Pemohon Uji Materiil Perkara No.90/PUU-XXI/2023, yang memohon untuk kepentingan Gibran Rakabuming Raka dan/atau Pihak Presiden Jokowi dan DPR RI selaku pihak pemberi keterangan, tidak mengajukan permintaan agar Hakim Konstitusi Anwar Usman mengundurkan diri dari persidangan perkara Uji Materiil No. 90/PUU-XXI/2023 dimaksud bahkan membiarkan hingga memimpin pembacaan Putusan Perkara No. 90/PUU-XXI/2023,16/10/2023, maka semakin lengkap dan kuat alasan tentang tidak sahnya pencawapresan Gibran Rakabuming Raka.
Peristiwa dan Fakta Hukum Keempat
Keberadaan Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi pasca Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, 16 Oktober 2023 dan pasca Putusan MKMK No. : 2/MKMK/L/ 11/2023, 7/11/22023, merupakan peristiwa dan fakta hukum yand politik di dalam tubuh MK masih gagal dilakukan, sehingga ancaman terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka tak terhindarkan juga.
Kondisi demikian semakin memperkuat daya cengkram kekuasaan Eksekutif untuk mengintervensi dan membuat MK sebagai lembaga Yudikatif yang kemerdekaan dan kemandiriannya dijamin oleh UUD 1945, telah dilanggar oleh Presiden Jokowi dan Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam semangat dinasti politik lintas lembaga tinggi negara dan perilaku nepotisme, yang menyandera MK, sehingga dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman menjadi tidak merdeka dan tidak mandiri, termasuk ketika memeriksa dan mengadili Sengketa Pilpres 2024 dalam Perkara No. : 1 PHPU.PRES-XXII/2024 dan No. : 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK.
Dengan demikian faktor keberadaan Hakim Konstitusi Anwar Usman, pasca Putusan MKMK No. : 2/MKMK/L/ 11/2023, 7/11/2023, yang dituntut publik agar diberhentikan dari jabatan Hakim Konstitusi, namun masih tetap dipertahankan oleh MKMK hingga sekarang, sehingga ia masih bisa melakukan apa saja termasuk masih menguasai dan menikmati fasilitas sebagai Ketua MK (Rumah Dinas, Ruang Kerja dan Mobil Dinas Ketua MK) pasca Putusan MKMK hingga selesainya sengketa PHPU Pilpres 2024.
Pada bagian ini bisa dijadikan sebagap dan fakta hukum, untuk dijadikan alasan bagi MPR tidak melantik Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres 2024.
Peristiwa dan Fakta Hukum Kelima
Ketentuan pasal 13 ayat (1) huruf q Peraturan KPU No. 19 Tahun 2023 tentang persyaratan usia Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, minimal 40 (empat puluh) tahun, tetap berlaku pasca Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023, karena secara hukum KPU baru boleh mengubah PKPU No. 9 Tahun 2023 dimaksud, manakala DPR RI telah melaksanakan Putusan MK No.90/ PUU-XXI/2023, 16/10/2023, yaitu mengubah ketentuan batas umur Calon Presiden-Calon Wakil Presiden dalam Perubahan UU No.7 Tahun 2017, Tentang Pemilu.
Karena itu, pendaftaran Cawapres Gibran Rakabuming Raka di KPU kemudian dinyatakan diterima dan dinyatakan sebagai telah memenuhi syarat sebelum KPU mengubah ketentuan pasal 13 ayat (1) huruf q Peraturan KPU No.19 Tahun 2023 dimaksud, maka secara hukum pendafataran pencawapresan Gibran Rakabuming Raka menjadi cacat hukum dan tidak sah.
Alasannya karena Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023, harus dieksekusi terlebih dahulu oleh DPR dengan mengubah ketentuan pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017, tentang Pemilu sesuai amar Putusan MK, kemudian baru KPU boleh mengubah ketentuan pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU No.19 Tahun 2023 dimaksud.
Dengan demikian sikap KPU yang bertindak sebagai eksekutor putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023, dengan mengirim surat kepada semua Pimpinan Partai Politik Peserta Pemilu untuk melaksanakan dan mempedomani putusan MK dimaksud dalam penyelenggaraan Pilpres 2024, menjadi peristiwa dan fakta hukum yang sangat menarik untuk dicermati oleh MPR, karena menurut ketentuan UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada pasal 10 menyatakan bahwa “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi antara lain : tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.
Artinya terkait putusan MK yang menyangkut Uji Materiil UU terhadap UUD 1945, termasuk Perkara Uji Materiil No. 90/PUU-XXI/2023 16/10/2023, hal itu sepenuhnya wewenang DPR untuk mengeksekusinya dengan mengatur lebih lanjut dalam muatan perubahan Undang-Undang ic. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bukan serta merta menjadi wewenang KPU yang dilaksanakan tanpa merevisi PUKPU No. 19 Tahun 2023 yang mengatur bahwa usia minimum Capres-Cawapres adalah empat puluh tahun.
Di sinilah letak pelanggaran hukum yang dilakukan KPU karena putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, 16/10/2023 belum dilaksanakan oleh DPR, namun oleh KPU tanpa menunggu sikap DPR sebagai pelaksana putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dimaksud, serta merta pro-aktif seperti mengejar setoran demi menggolkan Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres, melaksanakan putusan MK dimaksud tanpa terlebih dahulu mengubah PKPU No. 19 Tahun 2023.
Akibatnya, KPU digugat di Pengadilan PTUN dan di Pengadilan Negeri, sehingga dengan demikian posisi Gibran Rakabuming Raka sejak pencalonan sebagai Cawapres hingga ditetapkan sebagai Cawapres terpilih, ia menjadi subyek dan sekaligus obyek yang berada di dalam lingkaran sengketa termasuk obyek dalam putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16/10/2023 yang kemudian menjadi obyek sengketa di dalam perkara PHPU No. : 1 PHPU.PRES-XXII/2024 dan No. : 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK.
Peristiwa dan Fakta Hukum Keenam
Persidangan perkara PHPU No. : 1 PHPU.PRES-XXII/2024 dan Perkara PHPU No. : 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK telah menempatkan posisi delapan Hakim Konstitusi dalam keadaan tidak merdeka, oleh karena delapan Hakim Konstitusi itu tersandera oleh Putusannya sendiri yaitu Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16/10/ 2023 yang disoal bahkan menjadi obyek sengketa dalam Perkara PHPU No. : 1 PHPU.PRES-XXII/2024 dan Perkara PHPU No. : 2 PHPU. PRES-XXII/2024 di MK.
Dalam posisi demikian, maka delapan Hakim Konstitusi dimaksud, terikat secara psikologis dan politik untuk tetap mempertahankan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023,16/10/2023 yang disoal bahkan menjadi obyek sengketa dalam Perkara PHPU No. : 1 PHPU.PRES-XXII/ 2024 dan Perkara PHPU No. : 2 PHPU. PRES-XXII/ 2024 di MK, karenanya delapan Hakim Konstitusi menjadi tidak bebas dan seharusnya mundur dari persidangan Perkara No. : 1 PHPU.PRES-XXII/2024 dan No. : 2 PHPU. PRES-XXII/2024 di MK, karena sudah menyangkut prinsip peradilan yang dilanggar, namun hal itu tidak dilaksanakan.
Dalam pada itu, hasil pemilihan Ketua MK SUHARTOYO oleh delapan Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili sengketa Pilpres dalam perkara Perkara No. : 1 PHPU. PRES-XXII/2024 dan No. : 2 PHPU. PRES-XXII/2024 di MK, bersama Hakim MKMK menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam Perkara Gugatan PTUN No. : 604/G/2023/PTUN.JKT, karena digugat oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, yang menuntut agar jabatan Ketua MK yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo agar dibatalkan.
Dalam kondisi demikian, delapan Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili Perkara PHPU No. : 1 PHPU.PRES-XXII/2024 dan Perkara PHPU No. : 2 PHPU. PRES-XXII/2024 di MK, dipastikan tersandera kemerdekaan atau kebebasannya, sehingga berimplikasi pada Putusan MK dalam Perkara PHPU No. : 1 PHPU. PRES-XXII/2024 dan Perkara PHPU No. : 2 PHPU. PRES-XXII/2024 di MK menjadi cacat dan tidak sah atau setidak-tidaknya kehilangan legitimasinya.
Peristiwa dan Fakta Hukum Ketujuh
Unggahan akun Fufufafa telah menyeret nama Gibran Rakabuming Raka (Gibran), putra sulung Presiden Jokowi yang adalah Cawapres terpilih, kini sudah menjadi bola liar dan berimplikasi memicu lahirnya krisis kepercayaan publik yang meluas, bukan saja terhadap Gibran Rakabuming Raka, tetapi juga terhadap Presiden Jokowi yang sebentar lagi akan berakhir masa jabatannya.
Akun Fufufafa menjadi viral di medsos karena disebut-sebut milik Gibran Rakabuming Raka, dibiarkan menjadi bola liar oleh Polri, oleh Kemenkominfo dan oleh Gibran Rakabuming Raka sendiri, tanpa ada langkah penindakan dari segi Kamtibmas dan Penegakan Hukum. Padahal terdapat muatan penghinaan, penyebaran berita bohong yang menimbulkan rasa kebencian, aspek asusila dan runtuhnya kepercayaan publik terhadap Lembaga MK, KPU, DPR dan Presiden yang semakin meluas.
Publik kemudian meyakini bahwa pemilik akun Fufufafa adalah Gibran Rakabuming Raka, kemudian muncul tuntutan agar Gibran Rakabuming Raka tidak dilantik menjadi Wakil Presiden, karena narasi di dalam akun Fufufafa itu, bermuatan penghinaan/fitnah, kebencian, berita bohong dan berorientasi seksual yang tidak sehat pada si pemilik akun Fufufafa.
Publik telah memberikan penilaian dan gambaran nyata antara lain tentang orientasi seksual yang tidak normal pada diri si pemilik akun dan sejumlah narasi yang tidak sepatutnya ditujukan pada sejumlah tokoh publik termasuk Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Keluarganya serta sejumlah publik figur lain (artis).
Melihat narasi di dalam akun Kaskus Fufufafa, yang sudah ramai diperbincangkan publik selama dua bulan, tanpa ada langkah-langkah penindakan oleh Polri, maka MPR harus merespons suara publik terkait kun Fufufafa dimaksud, karena akun Fufufafa telah menimbulkan resistensi yang semakin eskalatif dan mengarah kepada terjadinya krisis kepercayaan publik yang semakin meluas terhadap Pemerintah dan terahadp Gibran Rakabuming Raka selaku Cawapres terpilih, sebagaimana akhir-akhir ini mulai muncul tuntutan agar Gibran Rakabuming Raka diperiksa dan dipastikan terlebih dahulu kesehatan jiwa dan rohaninya dan didskualifikasi atau tidak dilantik sebagai Wapres 2024-2029.
Berdasarkan tujuh peristiwa dan fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, maka Para Advokat TPDI dan Perekat Nusantara meminta agar MPR mendiskualifikasi atau tidak melantik Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka sebagai Wapres mendampingi Presiden terpilih Prabowo Subianto,20 Oktober 2024 nanti sesuai dengan tugas, wewenang dan hak MPR yang dijamin oleh Konstitusi. ***