CATATAN POLITIK

'Siapa Mastermind Pembubaran Diskusi Kemang?'

DEMOCRAZY.ID
Oktober 01, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Siapa Mastermind Pembubaran Diskusi Kemang?'


'Siapa Mastermind Pembubaran Diskusi Kemang?'


Peristiwa pembubaran paksa sebuah diskusi di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, yang diselenggarakan oleh Forum Tanah Air pada Sabtu (28/9/2024), bukan hanya sekadar insiden hukum biasa. 


Di tengah menjelang akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), peristiwa seperti ini perlu dibaca dalam konteks yang lebih luas—sebagai salah satu dari sekian banyak peristiwa yang mencederai demokrasi di Indonesia. 


Apa yang terjadi di Hotel Grand Kemang bukan hanya tentang kekerasan dan perusakan, tetapi tentang penekanan ruang kebebasan berpendapat yang semakin sempit di bawah pemerintahan Jokowi.


Cederanya Demokrasi di Episode Akhir Jokowi


Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah peristiwa yang mencoreng demokrasi Indonesia telah terjadi. Peristiwa pembubaran diskusi ini adalah salah satu di antaranya. 


Aparat kepolisian, yang seharusnya bertindak sebagai pelindung masyarakat, malah diduga digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat. 


Pemeriksaan terhadap 11 polisi oleh Propam Polda Metro Jaya hanya menjadi bagian dari drama formalitas untuk menunjukkan bahwa tindakan tersebut sedang diselidiki. 


Namun, jika dilihat lebih dalam, kasus ini mencerminkan pola yang semakin sering terjadi di bawah pemerintahan Jokowi, di mana kebebasan sipil seperti kebebasan berbicara, berkumpul, dan berorganisasi mengalami tekanan serius.


Pembubaran acara diskusi di Hotel Grand Kemang memperlihatkan adanya mekanisme yang tersusun dengan rapi di mana aparat negara, dalam hal ini polisi, diduga masih digunakan sebagai alat politik penguasa. 


Alih-alih melindungi hak-hak warga negara untuk berdiskusi secara damai, justru sekelompok orang tak dikenal masuk, memaksa bubar, dan melakukan tindakan kekerasan. 


Yang lebih mencengangkan, aparat kepolisian yang hadir dalam situasi ini tampaknya tidak bertindak sesuai prosedur yang seharusnya melindungi masyarakat.


Pola Pengalihan Isu dan Pembentukan Konflik


Peristiwa pembubaran diskusi di Kemang ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Beberapa hari terakhir, pemerintahan Jokowi dan keluarganya sedang berada di bawah sorotan tajam. 


Isu nepotisme, dugaan korupsi, dan berbagai kebijakan kontroversial yang diambil oleh anak-anaknya, seperti Kaesang Pangarep, semakin menggerus kredibilitas Jokowi di mata publik. 


Dalam konteks inilah, kita perlu mempertimbangkan bahwa peristiwa di Kemang bisa jadi merupakan upaya pengalihan isu. 


Pengalihan ini sering kali dilakukan dengan membangkitkan konflik dan menciptakan isu-isu baru untuk mengaburkan skandal yang lebih besar.


Pola ini bukan hal yang baru dalam politik Indonesia. Ketika sebuah isu besar mulai membebani pemerintahan, tak jarang ada upaya untuk mengalihkan perhatian publik. 


Konflik yang terjadi di Hotel Grand Kemang—di mana diskusi intelektual dan akademis diganggu secara paksa—terbaca sebagai bagian dari strategi tersebut. 


Dengan begitu, diskusi yang seharusnya fokus pada isu-isu substantif malah berubah menjadi kerusuhan yang kemudian mendominasi pemberitaan. 


Pada saat yang sama, perhatian publik terhadap isu-isu utama yang berkaitan dengan kebijakan dan tindakan keluarga Jokowi perlahan-lahan dialihkan.


Aparat Sebagai Alat Politik


Kasus ini juga menegaskan bahwa aparat kepolisian, yang seharusnya netral dan tidak terlibat dalam politik praktis, terus berfungsi sebagai alat politik di bawah pemerintahan Jokowi. 


Tidak hanya dalam peristiwa di Hotel Grand Kemang, tetapi juga di banyak kasus lain, kepolisian sering terlihat bertindak dengan cara yang seolah-olah diarahkan oleh kepentingan politik tertentu. 


Meski proses investigasi sedang berlangsung, sulit mengabaikan kesan bahwa tindakan aparat dalam kasus ini memperkuat narasi bahwa mereka masih diperalat oleh rezim untuk menekan kebebasan berekspresi dan mempertahankan kekuasaan.


Hal ini memunculkan pertanyaan besar tentang netralitas aparat penegak hukum dalam sistem demokrasi kita. 


Ketika kepolisian lebih sibuk mengurusi pembubaran diskusi-diskusi publik daripada menegakkan hukum secara adil, kita perlu mempertanyakan sejauh mana demokrasi Indonesia masih bertahan. 


Pemerintahan Jokowi, yang pada awalnya digadang-gadang akan memperkuat supremasi hukum dan demokrasi, justru mencatatkan episode-episode yang bertolak belakang, di mana aparat negara lebih banyak digunakan untuk menekan oposisi dan mengalihkan perhatian publik dari isu-isu substansial.


Tantangan untuk Masa Depan Demokrasi Indonesia


Apa yang terjadi di Hotel Grand Kemang adalah peringatan serius bagi demokrasi Indonesia. Dalam episode terakhir pemerintahan Jokowi, tanda-tanda penurunan kualitas demokrasi semakin terlihat jelas. 


Penekanan terhadap kebebasan sipil, penggunaan aparat negara untuk kepentingan politik, serta upaya pengalihan isu yang terencana, semua menjadi bukti bahwa Indonesia sedang berada dalam situasi yang genting. 


Ruang publik yang sehat, di mana diskusi dan perbedaan pendapat dihormati, kini mulai menghilang, digantikan oleh konflik yang diciptakan dan dikelola untuk mempertahankan status quo.


Di akhir masa kepemimpinan Jokowi, sangat penting bagi kita untuk merefleksikan kembali arah demokrasi di Indonesia. 


Peristiwa seperti pembubaran diskusi di Kemang ini harus menjadi pengingat bahwa demokrasi yang sehat tidak bisa bertahan jika kebebasan berpendapat terus ditekan, dan aparat penegak hukum terus diperalat untuk kepentingan politik penguasa. 


Tantangan ini harus dihadapi oleh seluruh elemen bangsa, karena hanya dengan kebebasan yang dijamin dan hukum yang ditegakkan secara adil, demokrasi Indonesia bisa benar-benar menjadi demokrasi yang substansial, bukan hanya formalitas belaka.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog