'Runtuhnya Gorong-Gorong Istana di Tengah Kesadaran Kolektif Netizen'
Oleh: Agusto Sulistio
Pemerhati Sosial Media, Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR
Perkembangan teknologi digital telah membawa kita pada dunia yang bergerak cepat. Pastinya segala hal sekarang bisa diselesaikan hanya dengan satu ketukan jari diatas ponsel pintas, mau pesan makanan, lihat berita, atau bahkan menentukan pilihan politik, semuanya bisa.
Di satu sisi, teknologi ini sangat memudahkan hidup kita, tapi di sisi lain, seperti pisau dapur yang tajam, ia bisa berbahaya kalau digunakan sembarangan.
Apalagi di tangan orang yang tak bijak. Dalam dunia politik, kita sering melihat bagaimana teknologi yang seharusnya membantu, malah menjadi alat untuk meraih kekuasaan dengan cara yang licik.
Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Saat itu, seorang walikota dari Solo yang sebelumnya kurang dikenal, tiba-tiba menjadi bintang politik nasional.
Joko Widodo atau Jokowi, dengan gaya blusukannya, muncul di panggung politik ibukota dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Gimana nggak? Hanya dalam hitungan bulan, citranya sebagai pemimpin sederhana dan merakyat berhasil menembus layar ponsel dan komputer jutaan orang Indonesia.
Gambarannya sebagai sosok yang “jujur, lugu, dan sederhana” menyebar bak jamur tumbuh di musim hujan, begitu cepat dan efisien.
Teknologi informasi benar-benar seperti jimat digital, sakti mandraguna. Kalau dikelola dengan baik, bisa membawa seseorang dari gorong-gorong Jakarta ke Istana Negara, seperti yang terjadi pada Jokowi.
Setelah ia sukses menjadi Gubernur DKI, teknologi ini terus digunakan oleh timnya untuk menguatkan citranya.
Bahkan, aksi Jokowi yang masuk ke gorong-gorong parit menjadi viral dan seolah-olah ia adalah sosok superhero yang berani kotor demi rakyat.
Netizen ramai memuji, beberapa bahkan sampai membela Jokowi mati-matian di media sosial, tak rela idolanya diremehkan. Siapa yang menyangka aksi sederhana seperti itu bisa membuat perdebatan sengit antar teman dan keluarga?
Namun, saat belum selesai lima tahun sebagai gubernur, wacana pencalonan Jokowi sebagai Presiden di Pilpres 2014 mulai merebak.
Seperti biasa, media sosial kembali dimanfaatkan untuk membentuk narasi yang cerdas: “Jokowi tak bisa atasi persoalan bnjir, macet, dll di Jakarta hanya dari Balaikota.
Kalau benar-benar mau ubah negeri ini, Jokowi harus ada di Istana Negara!” Sekali lagi, citra ini menyebar, dan dengan bantuan algoritma, narasi “Jokowi adalah kita” versus “Prabowo adalah pelanggar HAM” terbentuk.
Strategi canggih ini membawa Jokowi dengan mulus ke kursi Presiden RI periode 2014 – 2019 dan 2019 – 2024.
Mari kita lebih bijak. Teknologi informasi ini bukan tanpa sisi gelap. Sosiolog Spanyol, Manuel Castells yang dikenal sebagai salah satu pakar terkemuka dalam bidang komunikasi, teknologi, dan masyarakat informasi menyebut fenomena ini sebagai *mass self-communication*, di mana siapa saja kini bisa bicara langsung ke publik, tanpa perlu perantara media tradisional.
Ini bisa jadi pedang bermata dua: di satu sisi, masyarakat bisa menyuarakan pendapatnya lebih bebas, di sisi lain, informasi bisa disalahgunakan oleh mereka yang punya kekuatan lebih, termasuk penguasa.
Lihat saja kasus Vina, seorang perempuan usia muda yang meninggal tragis pada 2016. Kasusnya tenggelam bertahun-tahun, tak ada perhatian dari publik apalagi dari hukum.
Namun, di tahun 2024, seorang sineas Indonesia membuat film tentang Vina, mengungkapkan sisi gelap kematiannya yang selama ini tertutup.
Film ini viral, dan publik mulai geram. Melalui media sosial, desakan untuk mengungkap keadilan bagi Vina semakin kuat.
Seperti bola salju, tekanan dari netizen membuat aparat hukum yang tadinya terkesan lamban, akhirnya bergerak. Kasus yang sudah lama terpendam, tiba-tiba diangkat kembali ke pengadilan.
Kadang, kita memang butuh dorongan keras dari masyarakat digital untuk menegakkan keadilan, sebuah pelajaran yang mungkin perlu diingat oleh mereka yang duduk di bangku kekuasaan.
Kemudian, soal wacana pencalonan Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, di Pilkada DKI Jakarta 2024. Awalnya, nama Kaesang muncul sebagai calon potensial, didukung oleh desakan dari berbagai pihak.
Namun, siapa sangka? Di era digital ini, netizen punya peran besar dalam menentukan nasib seseorang, termasuk di politik.
Ketika Kaesang terlibat dalam penggunaan jet pribadi untuk perjalanan ke luar negeri, sorotan publik langsung mengarah ke sana.
“Ini anak muda yang mau jadi pemimpin kok gayanya mewah amat?” begitu kira-kira celoteh netizen di media sosial. Tuduhan nepotisme, dugaan KKN, dan gaya hidup mewah langsung menghiasi layar dunia maya.
Dampaknya, pencalonan Kaesang terhambat, dan wacana dinasti politik Jokowi makin menjadi sorotan.
Ironisnya, teknologi yang membesarkan nama keluarganya, kali ini justru menjadi penghalang. Seperti pepatah bilang, “Roda selalu berputar,” dan kali ini, tampaknya, giliran netizen yang menarik rem.
Meski Kaesang punya tim kampanye yang pintar, tak ada yang lebih cerdik dari netizen yang kritis. Teknologi digital di era ini bukan hanya sekadar alat promosi, tapi juga pisau bedah yang siap mengupas tuntas apa yang tersembunyi.
Nah, dengan semua drama politik ini, kita pasti penasaran. Apakah Jokowi dan tim konten kreatornya masih akan terus berselancar di dunia media sosial sampai masa jabatan Jokowi selesai?
Bayangkan, apakah akan ada konten-konten baru yang tetap “wow” di menit-menit terakhir?
Apakah kita akan melihat lagi Jokowi blusukan, kali ini mungkin ke nyebur ke sungai yang kumuh bahkan ke kolong jembatan tidur bersama gelandangan korban pembangunan?
Ini hanya dugaan, tapi mengingat bagaimana tim media sosial Jokowi bekerja dengan lihai selama ini, bukan hal yang mustahil kalau kita akan terus disuguhi konten yang asik dan menghibur sampai detik terakhir jabatannya.
Namun, yang perlu kita sadari, “pesona digital” Jokowi tak akan bertahan selamanya tanpa disertai tindakan nyata yang membawa perubahan.
Citra keren di media sosial mungkin bisa bikin kita senyum sesaat, tapi kita semua tahu, yang rakyat butuhkan bukan cuma konten lucu-lucuan, melainkan kebijakan yang benar-benar membuat hidup kita lebih baik.
Akhirnya, kita berada di masa di mana teknologi bisa membuat seseorang terlihat seperti pahlawan super.
Tapi, kita juga berada di zaman di mana masyarakat makin pintar membedakan mana yang asli dan mana yang sekadar rekayasa digital.
Di akhir masa jabatannya, Jokowi dan timnya mungkin akan terus berkarya di dunia maya, tapi hanya waktu yang bisa menjawab, apakah “konten” mereka bisa meninggalkan warisan yang benar-benar bermakna bagi Indonesia.
Kalibata, Jakarta Selatan
Jumat 4 Oktober 2024, 05:36 WIB