DEMOCRAZY.ID - Pak Said Didu mengungkap kasus hukum yang akan menjerat Jokowi pasca lengser:
Minimal akan ada 26 kemungkinan gugatan yang akan dihadapi Jokowi :
1. Kebohongan
2. Fufufafa
3. Berbagai Proyek Strategis Nasional
4. Penggusuran rakyat
5. Gurita Oligarki
6. Penegakan Hukum (Judi Online, Narkoba, Korupsi, Penyelundupan)
7. Penyerahan tambang ke China
8. Ibu Kota Nusantara (IKN)
9. Pembengkakan Utang
10. Kereta Api Cepat
11. Infrastruktur mangkrak
12. Kebangkrutan BUMN karena ditugaskan bangun infrastruktur
13. Food Estate
14. Cetak sawah baru
15. Mafia impor pangan
16. Kasus KM-50
17. Gurita Bisnis Keluarga
18. Proyek Tol Laut
19. Bansos Pilpres
20. UU Ciptakerja
21. Cawe-Cawe Pilpres dan Pilkada
22. Pelemahan KPK
23. Ekspor pasir laut
24. Korban tahanan politik
25. Ijazah palsu
26. Pemalsuan identitas diri
👇👇
Minimal akan ada 26 kemungkinan gugatan yang akan dihadapi Jokowi :
— Muhammad Said Didu (@msaid_didu) October 5, 2024
1. Kebohongan
2. Fufufafa
3. Berbagai Proyek Strategis Nasional
4. Penggusuran rakyat
5. Gurita Oligarki
6. Penegakan Hukum (Judi Online, Narkoba, Korupsi, Penyelundupan)
7. Penyerahan tambang ke China
8. Ibu…
'Dosa-Dosa Jokowi Selama Jabat Presiden RI 2 Periode'
Dalam laporan khusus Majalah Tempo berjudul “18 Dosa Jokowi.” , alih-alih mewujudkan janji politiknya yang tertuang dalam Nawacita, Jokowi secara perlahan-lahan justru menghancurkan demokrasi melalui 18 dosa yang dibuatnya selama sepuluh tahun berkuasa.
Mulai dari pemberantasan korupsi yang jeblok karena adanya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga kemunduran demokrasi dengan dinasti politik yang diciptakannya.
18 DOSA JOKOWI
'9 Dosa Presiden Jokowi Yang Diadili di Mahkamah Rakyat'
Mahkamah Rakyat Luar Biasa mengadili sembilan (9) dosa atau Nawadosa Presiden Joko Widodo di Wisma Makara Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, 25 Juni 2024.
Sembilan dosa itu adalah perampasan ruang dan penyingkiran masyarakat; kekerasan, persekusi, kriminalisasi dan diskrminasi; lalu kejahatan kemanusiaan dan pelanggengan impunitas; komersialisasi dan penundukan sistem Pendidikan.
Kemudian ada perilaku KKN; eksploitasi sumber daya alam; sistem kerja yang menindas; pembajakan legislasi; hingga militerisme atau militerisasi. Menurut Mahkamah Rakyat, sembilan dosa itu dilakukan selama hampir genap sepuluh tahun Presiden Jokowi memimpin.
Mahkamah Rakyat Luar Biasa ialah peradilan alternatif yang dikenal di sistem demokrasi untuk menyelesaikan persoalan hukum. Ini adalah gerakan yang berasal dari ketidakpercayaan masyarakat sipil atas penegakan hukum dan kebijakan yang dilakukan negara.
Ada sepuluh penggugat, antara lain Bivitri Susanti, akademisi yang juga mewakili akademisi. Sedangkan pihak tergugat adalah Presiden RI Joko Widodo, Ketua DPR RI, Ketua DPR RI Puan Maharani, dan Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, serta sembilan parpol parlemen. Gugatan dibacakan secara bergantian.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut, parahnya pembajakan legislasi di Indonesia. Menurutnya, para pembuat legislasi telah membajak banyak peraturan perundang-undangan.
"Tujuannya kita semua paham, pertama-tama adalah mematikan dulu lembaga-lembaga yang menyokong demokrasi kita. Karena seakan-akan hal-hal yang berguna bagi demokrasi tapi dimatikan, tapi karena dibentuk dalam bentuk undang-undang, maka seakan-akan kita dikecohkan, seakan-akan kita merasa bahwa yang dilakukan pembajak legislasi itu adalah kebenaran," ujar Bivitri di Jakarta, Selasa, (25/6).
Bivitri menjelaskan sejumlah lembaga sudah dilemahkan, dan seluruh kepentingan penguasa terakomodasi lewat pembajakan legislasi.
Tuntutan
Para penggugat memohon kepada Majelis Mahkamah Rakyat Luar Biasa menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut, antara lain menyatakan tergugat telah melakukan secara sistematis memiskinkan hidup buruh dengan cara menghadirkan kebijakan praktik politik upah murah yang mengorbankan buruh.
Lalu, menyatakan tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dan konstitusi melalui pembajakan regulasi yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum yang ditujukan untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan.
Kemudian, menyatakan tergugat melakukan kejahatan demokrasi dengan cara menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, melanggengkan impunitas, operasi militer ilegal.
Oligarki
Guru Besar Politik di University of Melbourne Australia Vedi R. Hadiz yang juga saksi ahli di Mahkamah Rakyat mengatakan, pemerintahan Presiden Jokowi dalam dua periode semakin menancapkan pola oligarki.
"Secara paling fundamental telah meneruskan dan bahkan semakin menancapkan suatu pola, di mana perangkat hukum dan kelembagaan negara di instrumentalisasikan untuk kepentingan segelintir kelompok, yang dapat kita sebut sebagai oligarki, bertentangan dengan kepentingan dari rakyat secara lebih umum," kata Vedi secara daring, Selasa, (25/6).
Guru Besar di University of Melbourne, Vedi R. Hadiz mengatakan, pola oligarki Jokowi sangat bertentangan dengan cita-cita reformasi yang berlandaskan asas-asas demokrasi dan HAM.
Padahal, Jokowi dipilih pada 2014 sebagai tokoh masa reformasi, dan menjadi satu-satunya presiden yang besar dari luar oligarki kala itu.
Respons PDI-P
PDI-Perjuangan sebagai partai awal Jokowi bernaung, menanggapi Mahkamah Rakyat Luar Biasa.
Juru bicara PDI-P Chico Hakim mengatakan, masyarakat berhak mengkritik dan mengoreksi kebijakan presiden yang dianggap tidak prorakyat.
"Kami menilai apa yang disampaikan Mahkamah Rakyat ini tidaklah salah. Apalagi yang terkait dengan upaya pembungkam terhadap anak-anak bangsa yang bersikap dan bersuara kritis dalam menyikapi perilaku dari orang-orang yang duduk dalam kekuasaan maupun aparat. Hari ini demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja, kita harus mengaku itu. Banyak hukum yang diakali dengan hukum itu sendiri. Bahkan hukum maupun aparat hukum itu sendiri bukan lagi menjadi tempat untuk mencari keadilan," ujar Chico kepada KBR, Selasa, (25/6).
Istana Bereaksi
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan menilai pelaksanaan Mahkamah Rakyat Luar Biasa tidak mewakili sikap keseluruhan rakyat.
"Teman-teman ini kan kelompok, ya, kelompok masyarakat yang melakukan gugatan dan dilakukan Mahkamah Rakyat Luar Biasa. Apakah mereka semua ini bisa mengatasnamakan rakyat Indonesia 280 juta, atau hanya sebagian kelompok yang memang melakukan kritikan terhadap Pak Jokowi, apakah itu pemerintahannya, atau kritikan yang lainnya. Jadi, kan kita juga enggak bisa langsung menyatakan ini adalah semua kritikan rakyat Indonesia, digeneralisasi, enggak boleh dong," kata Irfan kepada KBR, Selasa, (25/6).
Tenaga Ahli KSP, Irfan Pulungan bahkan menganggap Mahkamah Rakyat menjadi anomali jika menilik tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi yang masih tinggi berdasarkan survei Litbang Kompas.
Sumber: TEMPO