Beranda
CATATAN
PERISTIWA
POLITIK
'Nasib Tragis Penyintas Tragedi Mei 1998'


'Nasib Tragis Penyintas Tragedi Mei 1998'


ari mulai senja saat telepon di pojokan kantor Institut Sosial Jakarta (ISJ) di Jalan Arus Dalam No. 1, Cawang, Jakarta Timur, terdengar. Hari itu, Jumat, 9 Oktober 1998. Terdengar suara panik seorang perempuan paruh baya di seberang telepon. Dia meminta berbicara dengan Romo Sandy, panggilan akrab rohaniawan Katolik, Ignatius Sandyawan Sumardi.


Salah seorang pegawai bergegas memberitahukan pesan tersebut kepada Romo Sandy, yang tengah mengngobrol dengan seorang wartawan di ruang kerjanya. Sang penelepon ternyata Wiwin Suryadinata, yang mengabarkan putrinya, Ita Martadinata Haryono, 18 tahun, telah meninggal dunia.


Bak disambar petir, Romo Sandy terkejut ketika Wiwin mengatakan anaknya ditemukan tewas terbunuh di kamar rumahnya di Jalan Berlian III/29, Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat. Romo Sandy mengenal gadis yang masih duduk di bangku Kelas 3 Sekolah Menengah Atas (SMA) itu sebagai anggotanya di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK).


Tanpa membuang waktu, Romo Sandy ditemani sopir dan wartawan tersebut meluncur menuju tempat kejadian perkara. Dari kantornya menuju rumah Ita Martadinata berjarak sekitar 13,5 kilometer dengan waktu tempuh 25 menit. Begitu sampai, Romo Sandy dan wartawan itu langsung masuk menuju kamar Ita di lantai dua rumah tersebut.


Saat itu, Romo Sandy melihat ada bekas darah menempel pada daun pintu, gerendel, dan di bawah pintu masuk ruang tamu. Anehnya, tak ada ceceran darah di lantai dan anak tangga dari ruang tamu hingga kamar di lantai dua. Di kamar terlihat tubuh Ita tanpa busana dengan beberapa luka tusukan ditubuhnya dan sayatan di leher.


Tak lama kemudian, sejumlah polisi dari Polsek Cempaka Putih tiba untuk mengamankan lokasi yang mulai dipenuhi warga. Berangsur-angsur, petugas kepolisian dari Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya datang. Bahkan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, saat itu dijabat oleh Goris Mere, pun tiba di lokasi kejadian.


Leo Haryono, ayah Ita, begitu terpukul jiwanya hingga tak bisa berkata-kata melihat nasib anaknya. Sedangkan Wiwin terlihat menangis histeris dan bicara meracau. Kepada Romo Sandy, Wiwin mengungkapkan, kematian putrinya ada kaitannya dengan kegiatan mereka yang ikut dalam Tim Relawan.


“Pasti karena undangan-undangan itu,” kata Wiwin menangis seraya menunjukkan sejumlah kertas tentang rencana mereka memberikan kesaksian kasus pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 di beberapa tempat.


Itulah sekelumit kasus pembunuhan Ita Martadinata dalam tulisan berjudul "Teror Akhir Pekan untuk Tim Relawan" yang dimuat dalam buku ‘Kumpulan Perkara Kriminal, Kisah Nyata dari Nusantara’ terbitan Majalah Intisari pada 2023.


Pembunuhan terhadap Ita (Margaretha Martadinata Haryono atau Kho Ing) terjadi sepekan setelah Tim Relawan mengumumkan akan memberangkatkan beberapa saksi ke sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat. Mereka akan memberikan kesaksian mengenai pemerkosaan, kekerasan seksual, dan pembunuhan massal selama 13-14 Mei 1998.


Ita dikenal sebagai gadis biasa-biasa saja dan cenderung pemalu. Namun, di usianya yang terbilang masih belia, dia aktif dalam Tim Relawan untuk mendampingi perempuan korban kekerasan pada tragdei Mei 1998. Keterlibatannya di Tim Relawan berawal dari keinginan mengikuti jejak ibu serta kakaknya, Happy Suryadinata, yang juga terlibat aktif di TRK.


Kasus pembunuhan Ita mendapat perhatian publik, termasuk dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan Tokoh Barisan Nasional seperti Sarwono Kusumaatmaja menyebut pembunuhan itu sebagai bentuk terorisme kekuasaan, teror penguasa terhadap rakyatnya sendiri.


Sejumlah pihak meyakini kasus itu bukan sekadar tindak kriminal biasa, tapi dilatarbelakangi oleh politik. Buktinya tidak ada satu pun barang berharga milik korban yang hilang. Motif pembunuhan diduga kuat terkait keberanian Ita bersaksi sekaligus mendampingi saksi-saksi korban kekerasan seksual lainnya di hadapan publik.


Ternyata Kepolisian memiliki kesimpulan lain. Sehari setelah pembunuhan tersebut, polisi menangkap pelaku pembunuhannya, yaitu Suryadi alias Otong alias Bram, 22 tahun, tetangga di sebelah rumah Ita pada Sabtu, 10 Oktober 1998. Suryadi diduga melakukan pembunuhan setelah panik kepergok akan mencuri di rumah korban.


Dikutip dari Kompas edisi 20 Oktober 1998, dengan tangan dibungkus kaus kaki, Suryadi melompati pagar depan rumah Leo Haryono. Pemuda itu membekali dirinya dengan membawa belati dan obeng untuk mencongkel pintu rumah. Tapi ternyata pintu tidak dikunci sehingga dengan mudah dia masuk ke dalam rumah.


Karena tak menemukan barang berharga di lantai satu, Suryadi mondar-mandir di lantai tengah. Saat itulah Ita keluar dari kamarnya di lantai dua. Ita berteriak ketika mendapati Suryadi, tetangganya itu sudah berada di ruang tengah rumahnya. Karena panik dan takut identitasnya terbongkar, Suryadi mengejar Ita. Gadis itu lari masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.


Suryadi merobek kain kasa nyamuk yang menutupi jendela. Setelah itu, dia mencongkel slot kunci pintu dan masuk ke dalam. Ita yang berada di pojokan kamar berteriak-teriak. Suryadi langsung merengkuh dan membanting tubuh mungil Ita ke lantai. Bak kesetanan, Suryadi langsung menghujamkan belati yang dibawanya ke wajah dan tubuh Ita beberapa kali.


Karena melihat masih hidup, Suryadi mengiris leher korbannya dari belakang. Tak hanya itu, Suryadi melakukan hal bejat lainnya. Dia melecehkan tubuh korbannya yang sudah tak bernyawa tersebut. Setelah memuaskan hasrat bejatnya, Suryadi mengepel bercak darah di lantai dan pintu. Lalu dia kabur setelah mengunci pintu dari dalam.


Namun, terdapat kejanggalan lain ketika wartawan menanyakan kepada para tetangga. Warga di dekat atau sekitar rumah keluarga Ita tidak satu pun yang mendengar kegaduhan apalagi jeritan dan teriakan sepanjang hari Jumat itu. Ternyata anggota relawan TRK lainnya pun mengalami teror penculikan dan pembunuhan bila mengungkap kasus kekerasan dan pemerkosaan massal pada 13-14 Mei 1998.


Romo Sandy misalnya pernah dikirimi paket granat aktif di Posko TKR pada akhir Mei 1998. Romo Sandy pernah melaporkan hal itu ke polisi. Tim Khusus Antiteror pun pernah mendatangi posko untuk melakukan pemeriksaan.


“Namun keesokan harinya Kapolda Metro Jaya Hamami Nata menyebutkan sebagai granat-granatan, padahal menurut Tim Gegana yang mengamankan di lokasi itu granat aktif,” kata Sandyawan, seperti dikutip CNN Indonesia pada 19 Mei 2016.


Teror ancaman dimulai ketika Romo Sandy meresmikan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) di Gereja Katedral, Jakarta Pusat. Romo Sandyawan yang ditunjuk menjabat sebagai Sekretaris TRK mewanti-wanti kepada anggotanya untuk waspada dan hati-hati. Usai memberikan pesannya, Romo Sandy memberikan kesempatan kepada anggotanya dari kalangan anak muda untuk bertanya.


Salah satunya ada seorang pria bertubuh tegap dan berambut cepak ikut mengacungkan jari dan bertanya. “Romo kan juga orang yang seharusnya masuk penjara karena melindungi anak-anak Partai Rakyat Demokratik (dalam peristiwa 27 Juli 1996)?” kata pria tak dikenal itu diulang Romo Sandy.


Romo Sandy langsung mengatakan pria itu sebagai intel. Pria yang dituding itu hanya tertawa terbahak-bahak. Akhirnya Romo Sandy memutuskan agar panitia acara segera menyudahi acara sesi tanya jawab. Namun, saat hendak keluar, Romo Sandy yang didampingi 4 orang anggota tim relawan dihadang pria itu lagi.


Pria itu membawa tas jinjing berwarna hitam. Dia mengatakan dengan tegas bahwa di dalamnya berisi sejumlah data dan dokumen tentang operasi selama 12-14 Mei 1998. Pria itu mengaku bukan intel, tetapi seorang komandan yang memimpin sebuah operasi khusus di sekitar Pasar Minggu. Dia mengklaim merekrut sekitar 60 orang dari berbaga angkatan.


“Saya bisa perkosa perempuan-perempuan ini (sambil menunjuk empat gadis Tionghoa yang berdiri di samping Sandyawan). Bagi saya, membunuh Anda itu perkara mudah, seperti membalikkan telapak tangan!” ujar pria itu lalu pergi menghampiri mobilnya yang berwarna hitam.


Memang hingga saat ini kasus kematian Ita Martadinata memang tak menjadi terang menderang setelah polisi menetapkan pelakunya, Suryadi alias Otong alias Bram. Malah, tak ada satu pun data apalagi berita yang menyebutkan tentang berapa tahun dia mendapatkan hukuman atas perbuatannya yang keji tersebut.


Nama Ita Martadinata kini disandingkan dengan nama Gus Dur dalam papan Sinci warna putih di tempat sembahyang di Gedung Rasa Darma, kawasan pecinaan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Sinci ini sebagai penghargaan kepada dirinya yang berani mendampingi korban kekerasan pada tragedi Mei 1998.


Sumber: DetikX

Penulis blog