CATATAN HUKUM POLITIK

'Mengapa Kasus Haji Yaqut Tidak Diusut Seperti Kasus Suryadharma Ali?'

DEMOCRAZY.ID
Oktober 04, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
'Mengapa Kasus Haji Yaqut Tidak Diusut Seperti Kasus Suryadharma Ali?'


'Mengapa Kasus Haji Yaqut Tidak Diusut Seperti Kasus Suryadharma Ali?'


Penyelenggaraan haji tahun 2024 membawa banyak kekecewaan bagi umat Muslim Indonesia. 


Berbagai masalah teknis dan dugaan penyelewengan muncul ke permukaan, hingga akhirnya DPR RI secara resmi menyatakan Kementerian Agama (Kemenag) bersalah dalam mengelola haji tersebut. 


Sayangnya, meski temuan ini sudah terang benderang di hadapan publik, penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan belum mengambil langkah tegas. 


Kasus yang seharusnya diklasifikasikan sebagai tindak kriminal ini tak kunjung mendapatkan perhatian serius dari pihak-pihak berwenang. 


Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas dan proaktifnya lembaga hukum dalam menangani kasus yang menyangkut kepentingan publik.


DPR RI, sebagai representasi rakyat, telah menjalankan fungsinya dalam melakukan pengawasan dan menyampaikan hasil investigasinya. 


Mereka menegaskan bahwa Kemenag bertanggung jawab atas berbagai kesalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan haji 2024. 


Namun, hingga saat ini, belum ada tindakan nyata dari pihak penegak hukum untuk menindaklanjuti temuan ini. 


Apakah kita sedang menyaksikan kasus ketidakpedulian atau bahkan ketidakberanian aparat hukum dalam menegakkan keadilan?


Kasus ini bukan pertama kali menyoroti kementerian yang memiliki tanggung jawab atas urusan keagamaan di Indonesia. 


Sejarah mencatat bahwa Menteri Agama Republik Indonesia pernah terjerat kasus serupa. 


Pada 2014, Menteri Agama Suryadharma Ali dijatuhi hukuman penjara setelah terbukti melakukan korupsi terkait penyelenggaraan haji. 


Skandal ini mengungkapkan praktik-praktik kotor di balik pengelolaan keuangan haji yang merugikan negara dan umat. 


Selain itu, Wakil Menteri Agama pada masa itu, yang kini menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, pernah diduga tersangkut dalam kasus korupsi pengadaan Al-Qur’an. 


Meskipun akhirnya tidak terbukti, kasus ini tetap menjadi catatan kelam tentang bagaimana institusi agama yang seharusnya menjadi penjaga moral, justru terlibat dalam praktik-praktik korupsi.


Ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kejanggalan dan dugaan penyelewengan keuangan dalam penyelenggaraan haji 2024, pihak-pihak terkait semestinya segera memprosesnya secara hukum. 


Temuan BPK bukanlah sekadar laporan administratif, melainkan indikasi adanya pelanggaran yang patut diusut tuntas. 


Penegak hukum seharusnya mengambil inisiatif, tidak perlu menunggu desakan dari DPR atau masyarakat untuk menjalankan tugas mereka dalam memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan benar.


Sikap diam dan tidak responsif dari penegak hukum dalam kasus ini tentu menimbulkan berbagai spekulasi. 


Ada kekhawatiran bahwa proses hukum diperlambat atau bahkan dihentikan karena faktor-faktor nonhukum, seperti tekanan politik atau kepentingan tertentu. 


Hal ini akan semakin memperburuk kepercayaan publik terhadap lembaga hukum yang sudah sering kali diragukan independensinya. 


Bagaimana mungkin kita bisa berharap kepada aparat penegak hukum jika mereka memilih bungkam dalam menghadapi kasus yang melibatkan institusi pemerintah?


Lebih jauh lagi, tindakan penegak hukum yang lambat ini memberikan sinyal buruk bagi upaya pemberantasan korupsi dan penyelewengan dalam birokrasi. 


Kemenag, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas urusan agama, seharusnya menjadi teladan dalam hal integritas dan transparansi. 


Namun, jika dugaan penyelewengan ini tidak ditindak tegas, justru akan semakin memperkuat persepsi bahwa korupsi dan ketidakberesan di pemerintahan bisa lolos tanpa ada konsekuensi hukum yang jelas.


Pada titik ini, masyarakat menuntut dua hal: pertama, kejelasan sikap dari kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus ini, dan kedua, penegakan hukum yang adil dan transparan. 


Kemenag tidak bisa sekadar meminta maaf atau memberikan janji perbaikan di masa depan tanpa adanya konsekuensi nyata bagi pihak-pihak yang terbukti melakukan kesalahan. 


Penyalahgunaan keuangan haji, jika benar terjadi, bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga mencederai kepercayaan umat terhadap pemerintah dalam mengelola salah satu rukun Islam yang sangat penting.


Penegak hukum harus segera mengambil langkah konkret. Tidak cukup hanya menunggu bola, mereka harus proaktif dalam menindaklanjuti temuan DPR dan BPK. 


Jika tidak, publik akan semakin kehilangan harapan terhadap institusi hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menegakkan keadilan.


Kasus haji 2024 bukan hanya ujian bagi Kemenag, tetapi juga bagi seluruh sistem penegakan hukum di Indonesia. 


Kemandekan proses hukum dalam kasus ini menunjukkan betapa rentannya hukum kita terhadap intervensi dan ketidakseriusan. 


Oleh karena itu, demi menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat, penegak hukum harus segera bertindak tegas dan transparan dalam memproses kasus ini. Tidak ada tempat untuk kompromi dalam urusan keadilan.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog