POLITIK

Kurawal Foundation 'Kupas' Strategi Utama Politik Jokowi Dalam Jokowisme, Populisme dan Infrastrukturalis

DEMOCRAZY.ID
Oktober 09, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Kurawal Foundation 'Kupas' Strategi Utama Politik Jokowi Dalam Jokowisme, Populisme dan Infrastrukturalis



DEMOCRAZY.ID - Alap-Alap Jokowi (AAJ) mendapat sorotan publik usai memasang baliho foto Presiden Jokwi Widodo atau Jokowi dan Iriana yang disebut sebagai guru bangsa dan akan purnatugas di Jalan Adi Sucipto, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. 


Sebelumnya, AAJ juga mendapat sorotan ketika mengusung ideologi Jokowisme dalam musyawarah nasional (Munas), pada 27 Juli 2024. 


“Munas ini bukan sekadar seremonial. Kami sangat serius mengelola jaringan relawan dengan meletakkan ideologi Jokowisme, yakni ideologi kebangsaan yang mengandung nilai-nilai keteladanan kerja untuk rakyat,” kata Ketua Umum Relawan Alap-Alap Jokowi, Muhammad Isnaini, saat itu.


Strategi Utama Politik Jokowisme


Dikutip dari Kurawal Foundation dalam Laporan Tahun 2023 Tegak Lurus Menolak “Jokowisme”, Jokowisme adalah sebuah cara bertindak yang tidak dibimbing oleh keyakinan apa pun. Jokowi tidak pernah memegang ideologi apa pun. 


Jokowi tidak memiliki pandangan apa pun terhadap dunia sosial dan politik. Ia tidak pernah belajar apa pun, kecuali berdagang untuk mencari keuntungan. 


Proksi paling akurat untuk menakar Jokowi dalam Jokowisme ketika berpolitik melalui strategi utama, yaitu populisme dan infrastrukturalis. 


Sebagai populis, Jokowi membangun mitos sebagai anak kampung, lahir di bantaran kali yang kerap kebanjiran, dan berasal dari keluarga jelata. 


Imaji ini mengharubiru kaum liberal dan kelas menengah perkotaan yang secara kultural selalu merindukan kisah “Cinderella”. Jokowi adalah Cinderella bagi mereka.


Secara kebetulan pula, di Amerika Serikat (AS), ada Barack Obama terpilih menjadi presiden. Padahal, di atas kertas, Obama tidak mungkin menjadi Presiden AS. 


Akibatnya, paralel Jokowi dan Obama sangat kuat menghantui imajinasi kaum liberal dan kelas menengah kota Indonesia, meskipun mereka individu yang bertolak belakang.


Jokowi langsung menjadi populis yang memulai karier dengan penilaian sosok antitesis dari kalangan elit Indonesia. 


Jokowi hadir sebagai sosok yang tidak terlibat dengan Orde Baru, bukan pembunuh seperti lawan politiknya. 


Faktor ini yang membuat kaum aktivis pro-demokrasi hampir seluruhnya mendukung Jokowi karena dianggap sebagai “presiden para aktivis”. Jokowi menjadi simbol kemenangan reformasi, tetapi hanya kemenangan semu.


Banyak aktivis dan kaum liberal berpikir Jokowi akan menangani persoalan HAM berat dengan adil, meruntuhkan impunitas, dan meminta pertanggungjawaban jendral pelanggar HAM. 


Namun, Jokowi menerjemahkan populisme dalam program-program kesejahteraan untuk kaum miskin, seperti Bansos, BLT, Kartu Pintar, Kartu Sehat, dan kartu lainnya.


Jokowi juga diam-diam melanjutkan program Presiden SBY dalam pembangunan infrastruktur. 


Banyak proyek yang sudah dimulai pembangunan saat masa SBY, tetapi diambil alih penyelesaian dan peresmian oleh Jokowi. 


Sebab, Jokowi paham bahwa pembangunan infrastruktur sangat populer bagi rakyat, terutama kelas menengah. 


Sebagai pengusaha, ia juga menghitung perusahaan negara memiliki semua keperluan membangun infrastruktur, termasuk pembiayaan bank negara.


Taktik dan strategi politik Jokowi memiliki dua kaki: populis dan developmentalis (tepatnya: infrastrukturalis). 


Jokowi perlu menjadi populis untuk melanggengkan kekuasaannya. Jokowi membagikan kesejahteraan kepada rakyat miskin melalui money politics, tetapi dengan uang negara. 


Benang merah populisme dan infrastrukturalisme Jokowi terlihat ketika Jokowi menelan biaya sangat mahal.


Negara harus membayar program kesejahteraan kaum miskin, tanpa ada upaya mengeluarkan dari kemiskinannya. 


Begitu pula dengan proyek infrastruktur mahal yang dibiayai BUMN sehingga tidak tampak di keuangan APBN. 


Populisme dan infrastrukturalisme Jokowi dalam Jokowisme juga kerap dibumbui nasionalisme. Cara ini diwujudkan dengan “kemegahan” yang sangat artifisial, seperti Istana Negara di IKN. 


Bentuk istana burung garuda tersebut lebih merefleksikan nostalgia kejayaan masa silam yang terasing dari imaji kekinian warganya.


Sumber: Tempo

Penulis blog