DEMOCRAZY.ID - Sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara, Kamis (10/10/2024), mendatangi Kompleks MPR/DPR/DPD RI di Senayan, Jakarta.
Kehadiran mereka untuk menyampaikan aspirasi kepada MPR, khususnya Fraksi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar pelantikan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI yang akan dilakukan MPR pada Minggu (20/10/2024) dibatalkan, karena putra sulung Presiden Joko Widodo itu dinilai sudah tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wapres RI.
Namun, sesampainya di pagar belakang gedung wakil rakyat itu, sejumlah petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) dan puluhan anggota Polri mengadang atau menghalang-halangi mereka saat hendak masuk dan menuju Sekretariat Jenderal MPR.
Koordinator TPDI Petrus Selestinus SH yang didampingi Koordinator Perekat Nusantara Eric S Paat SH kemudian menceritakan kronologi peristiwa penolakan itu kepada wartawan, Kamis (10/10/2024) sore.
Menurut Petrus, sehari sebelumnya atau Rabu (9/10/2024), TPDI dan Perekat Nusantara mengirim surat pemberitahuan kepada Perwakilan DPD di MPR bahwa hari Kamis (10/10/2024) pukul 13.00 mereka akan datang untuk bertemu dengan Wakil Ketua MPR dari Fraksi DPD terkait aspirasi masyarakat yang menuntut pembatalan pelantikan Gibran sebagai Wapres RI.
Karena itu, katanya, hari Kamis (10/10/2024), mereka datang ke MPR tepat waktu atau pukul 13.00.WIB dan langsung mendaftar dan lapor diri di Pos Piket Pamdal MPR/DPR/DPD seperti lazimnya.
Saat mendaftar di Pamdal ditanyakan tujuan kedatangan, lalu Petrus menjelaskan bahwa tujuannya untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan masyarakat agar Gibran tidak dilantik pada 20 Oktober 2024, dan seketika itu juga pihak Pamdal berkoordinasi dengan pihak dalam MPR, lalu diberi tahu bahwa para advokat TPDI dan Perekat Nusantara tidak diizinkan masuk.
"Kami bertanya mengapa tidak diizinkan, mengapa orang lain bebas keluar-masuk, termasuk beberapa tokoh masyarakat yang juga ingin ikut bersama kami sudah diizinkan masuk? Jawaban Pamdal, pokoknya Bapak-bapak tidak diizinkan, dan kami ini Pamdal-nya DPR, bukan Pamdal DPD," jelas Petrus menirukan ucapan petugas Pamdal.
Selaku masyarakat profesional, Petrus menyesalkan sikap Pamdal dan Pimpinan MPR/DPR/DPD yang menutup pintu bagi partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan tuntutan.
"Oleh karena itu, kami protes keras atas sikap petugas Pamdal dan puluhan anggota Polri yang menolak bahkan memblokade kedatangan advokat-advokat TPDI dan Perekat Nusantara yang jumlahnya hanya enam orang, ketika hendak menyampaikan aspirasi kepada Pimpinan MPR melalui Wakil Ketua MPR dari unsur DPD, tetapi diblokade oleh hampir 50 anggota Pamdal dan Polri," sesalnya.
Padahal, kata Petrus, rencananya aspirasi dan tuntutan tersebut akan disampaikan di Lantai IX Gedung Nusantara III MPR, cukup dengan menyerahkan surat, bukan audiensi, sebagaimana diinformasikan lewat pembicaraan per telepon dengan Staf DPD saat permohonan dialog yang disampaikan satu hari sebelumnya.
"Mungkin karena yang dibawa adalah permintaan agar Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka tidak dilantik dengan sejumlah alasan hukum dan politik, sehingga para advokat TPDI dan Perekat Nusantara ditolak tanpa alasan apa pun," tukasnya dengan nada kecewa.
Petugas Pamdal lainnya, kata Petrus, beralasan bahwa pihaknya hanya melayani tamu-tamu DPR, karena mereka adalah Pamdal DPR, bukan Pamdal DPD.
"Akhirnya ketika kami membuka komunikasi dengan anggota DPD, agar kami diizinkan masuk sekadar menyampaikan surat, cukup melalui Sekretariat Jenderal MPR, tetap tidak diizinkan Pamdal. Alasannya, ada perintah dari 'dalam', Bapak-bapak tidak diizinkan masuk," cetusnya.
"Kami lalu berpikir, daripada debat kusir dengan Pamdal dan polisi yang habitatnya memang hanya melaksanakan perintah, maka kami memutuskan untuk menyerahkan surat aspirasi masyarakat itu lewat seorang staf DPD di emperan trotoar gerbang belakang Gedung MPR/DPR/DPD, dan itulah yang terjadi di hadapan puluhan anggota Pamdal dan Polri," lanjutnya.
Kedatangan puluhan anggota Polri dengan sepeda motor, kata Petrus, langsung mengambil posisi berjejer menutup jalan arah masuk ke Gedung MPR/DPR/DPD, konon mereka diinformasikan akan ada demonstrasi dari TPDI dan Perekat Nusantara.
"Padahal kami hanya enam orang," ucap Petrus sambil menyebut lima nama selain dirinya, yakni Erick S Paat, Jemmy Mokolensang, Posma GP Siahaan, Frans R Delong, dan Ricky D Moningka.
"Itu pun pihak kami sudah mengirim surat pemberitahuan ke pihak MPR/DPD sehari sebelumnya bahwa kami akan datang ke Wakil Ketua MPR dari unsur DPD, menyampaikan aspirasi pada hari Kamis pukul 13.00 WIB," tuturnya.
Wajah Baru MPR Bopeng
Sikap dan kebijakan penanggung jawab pelayanan tamu masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasi, terlebih menjelang sidang MPR, kata Petrus, seharusnya diprioritaskan dan dilayani dengan baik, bukan dengan cara mengadang seakan-akan tamu yang datang ke MPR/DPR/DPD hanya akan membuat kegaduhan.
"Inilah wajah bopeng MPR baru dengan kualitas rendah hasil Pemilu 2024, yang baru 10 hari bekerja tetapi sudah menutup diri dari pertisipasi masyarakat," kritik Petrus.
Padahal, kata Petrus, agenda TPDI dan Perekat Nusantara ke MPR tidak lain hanya ingin menyampaikan aspirasi dan tuntutan agar MPR mendiskualifikasi dan tidak melantik Gibran sebagai Wapres RI 2024-2029, dan tuntutan itu dibahas pada Sidang MPR, Minggu (20/10/2024), berdasarkan beberapa peristiwa dan fakta-fakta hukum yang telah, sedang dan akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan hingga Hari H pelantikan.
"Semua pihak harus menyadari bahwa MPR adalah pemegang kedaulatan rakyat sekaligus pengemban fungsi representasi rakyat. MPR bukanlah lembaga tukang stempel hasil Pemilu dan juga bukan tukang stempel putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa pilpres, melainkan memiliki kewenangan untuk menyerap aspirasi rakyat guna memberikan penilaian akhir terhadap seluruh tahapan dalam proses demokrasi yang sedang berjalan terkait pemilihan dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI, termasuk menentukan apakah Presiden dan Wakil Presiden terpilih masih layak dan beralasan hukum untuk dilantik atau tidak," urainya.
Kejadian Tak Terduga
Menurut Petrus, jedah waktu delapan bulan pasca-Pemilu 14 Februari 2024 hingga 20 Oktober 2024 dimaksudkan oleh para pembentuk UU agar MPR memiliki waktu yang cukup untuk memantau dan mencermati hal-hal buruk apa yang bakal muncul dan apa yang sudah terjadi tetapi belum terungkap, bahkan hal-hal tertentu yang melekat dalam diri capres-cawapres terpilih, namun lolos dari proses seleksi lewat pemilu, lolos dari pantauan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lolos dari proses pemeriksaan MK, terlebih karena MK memiliki kesempatan dan wewenang yang sangat terbatas dalam pemeriksaan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
"Hal demikian sangat beralasan, karena bisa saja sejak proses pemilu dan proses sengketa pilpres diputus MK, hingga menjelang pelantikan, terjadi peristiwa dan terdapat fakta hukum yang tersembunyi (kasus akun Fufufafa) atau baru terjadi kemudian, sehingga lolos dari kecermatan instrumen politik dan hukum yang tersedia (seperti KPU, Badan Pengawas Pemilu/Bawaslu, MK dan Pengadilan Tata Usaha Negara/PTUN), yang dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah diantisipasi tentang kemungkinan seorang capres-cawapres terpilih "tidak dilantik" melalui ketentuan Pasal 427 jo Pasal 169 huruf e dan j UU Pemilu.
TPDI dan Perekat Nusantara kemudian meminta MPR berpikir jernih dan objektif melihat realitas di mana hukum sudah dirusak dan tidak lagi menjadi panglima, terdapat fakta yang "notoire feiten" (sudah umum diketahui) bahwa ketika MK bersidang dalam Perkara No 90/PUU-XXI/ 2023 hingga perkara PHPU No 1 dan 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK, Hakim-hakim Konstitusi berada dalam keadaan tidak merdeka atau tidak bebas, akibat pengaruh kekuasan eksekutif lewat dinasti politik di MK, suatu kondisi yang sangat paradoks dengan jaminan UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan tugas.
Setelah mencermati dan menganalisis sejumlah peristiwa dan fakta hukum yang ditarik mulai dari proses dan tahapan persidangan Perkara No 90/2023, Putusan MKMK No 2, 3, 4 dan 5/MKMK/L/11/2023 dan persidangan Perkara PHPU No 1 dan 2 PHPU.PRES-XXII/2024 di MK, serta peristiwa dan fakta hukum lain yang muncul kemudian (Fufufafa), Petrus berpendapat bahwa proses pencawapresan Gibran dalam Pilpres 2024 melanggar prinsip konstitusi, hukum dan demokrasi, sehingga telah berimplikasi hukum kepada tidak sah dan batalnya pencawapresan mantan Walikota Solo itu.
Alhasil, TPDI dan Perekat Nusantara menyatakan protes keras kepada Pimpinan MPR, karena membiarkan Pamdal dan Polri bertindak arogan, dan menutup pintu bagi masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasi.
"Selanjutnya kami mendesak agar MPR segera membuka ruang dialog dengan masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi MPR antara lain menyerap aspirasi nasyarakat sebelum Sidang MPR 20 Oktober 2024," tandasnya.
Sumber: JPNN