EDUKASI POLITIK

Kritik Untuk Penunjukkan Stella Christie Sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi

DEMOCRAZY.ID
Oktober 26, 2024
0 Komentar
Beranda
EDUKASI
POLITIK
Kritik Untuk Penunjukkan Stella Christie Sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi


Kritik Untuk Penunjukan Stella Christie Sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi


Oleh: Desi Suyamto

Pengamat Pendidikan


Dalam podcast "Abraham Samad SPEAK UP", yang ditayangkan pada tanggal 24 Oktober 2024 (https://youtu.be/cD0T7XyP3pk?feature=shared), Guru Besar Ilmu Politik UI, Prof. Chusnul Mar'iyah, mengatakan, "Giliran nanti Wakil Menteri, diambillah dosen dari (universitas) luar negeri, kemudian disamakan dengan Habibie. Kayak gitu, kan? Emangnya gak ada (dosen-dosen dari universitas di Indonesia) yang ngerti pendidikan tinggi, ngerti paham dengan nitty-gritty (seluk beluk) persoalan pendidikan tinggi dan riset di Indonesia?"


Saya sangat sependapat dengan kritik tajam dari Prof. Chusnul Mar'iyah untuk rekrutmen Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dari Kabinet Merah Putih tersebut, yang tampaknya memang masih berdasarkan pada "persepsi yang keliru" atau bahkan mitos, bahwa dosen-dosen dengan pengalaman di universitas-universitas negara maju (luar negeri) itu selalu memiliki kredibilitas yang sama dengan Prof. B.J. Habibie dan sudah pasti akan memahami nitty-gritty persoalan pendidikan tinggi dan riset di Indonesia.


Kalau kita cermati kompetensi Prof. Stella Christie (guru besar di Tsinghua University, Beijing, Tiongkok) dalam riset, berdasarkan capaian publikasi ilmiahnya di jurnal-jurnal internasional, dalam hal ini menggunakan metrik h-index Scopus, ternyata  baru mencapai nilai 8 (https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorId=24279360300). 


Padahal, banyak dosen muda dan peneliti muda yang selama ini berkarir di Indonesia, yang mampu mengunggulinya dengan h-index Scopus lebih tinggi dari 8. 


Sebut saja misalnya, Dr. Latifah Nurahmi, seorang dosen muda dari ITS dengan kepakaran di bidang robotika, yang usianya 7 tahun lebih muda daripada Prof. Stella Christie, namun telah memiliki h-index Scopus 11, lebih tinggi 3 poin dari h-index Scopus Prof. Stella Christie (https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorId=56084684200).


Kemudian, kalau kita cermati domain keilmuan Prof. Stella Christie, yaitu cognitive science, sepertinya lebih tepat untuk digunakan mengemban amanat sebagai Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.


Karena cognitive science itu seharusnya lebih bermanfaat untuk mengembangkan metode-metode belajar yang lebih efektif untuk anak-anak di tingkat pendidikan dasar hingga menengah, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh salah seorang ilmuwan cognitive science kaliber internasional, yaitu Prof. Seymour Papert dari MIT (https://www.nature.com/articles/537308a).


Prof. Seymour Papert mengembangkan metode belajar "constructionism", yang beranjak dari keyakinan ilmiah bahwa cara paling efektif untuk meningkatkan pengetahuan pada anak itu adalah dengan mengajak mereka untuk secara langsung mengkonstruksi apapun yang bermanfaat — mulai dari menciptakan puisi dan gagasan, hingga menciptakan program komputer, model-model simulasi, atau bahkan robot. 


Metode belajar "constructionism" tersebut jauh lebih efektif daripada metode belajar yang selama ini diterapkan oleh mayoritas, yaitu "instructionism", di mana anak-anak hanya diberikan instruksi oleh para guru (baca: instruktur) dalam proses belajar mereka.


Sedangkan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, seharusnya lebih difokuskan untuk memacu riset-riset yang kredibel dan salient dalam rangka memajukan sains dan teknologi, yang pada akhirnya kita harapkan mampu memajukan peradaban bangsa Indonesia secara nyata.


Sebenarnya, sudah tepat merekrut Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, karena Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro merupakan salah seorang ilmuwan senior di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, https://aipi.or.id/).


AIPI merupakan satu-satunya lembaga sains yang paling independen dan paling kredibel di Indonesia, warisan dari tiga serangkai, para bapak ilmu pengetahuan yang selama hayat mereka senantiasa berkiprah nyata dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu: Prof. B.J. Habibie, Prof. Samaun Samadikun, dan Prof. Fuad Hasan. 


Dan AIPI sendiri memiliki kader para ilmuwan muda yang tergabung dalam Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI, https://almi.or.id/). 


Menjadi ilmuwan ALMI itu tidaklah mudah. Sistem rekrutmennya sangat galak.  Endorsement dari Luhut dan Mulyono tak akan laku.  Hanya endorsement dari para ilmuwan AIPI yang laku untuk menjadi ilmuwan ALMI.


Selanjutnya, untuk menjadi ilmuwan AIPI, harus mampu menunjukkan kiprah nyata terlebih dulu sebagai ilmuwan ALMI.


Sehingga seharusnya, rekrutmen Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi bisa dengan mudah diseleksi dari para ilmuwan muda yang tergabung dalam ALMI, karena para ilmuwan muda ALMI merupakan kader dari para ilmuwan senior AIPI.


Atau, jika tetap akan merekrut saintis yang berpengalaman lama di negara maju sebagai wakilnya Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, kenapa tidak difokuskan pada mereka yang telah berkiprah nyata dalam memajukan sains dan teknologi saja? 


Salah satunya adalah Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo yang telah lama hidup di Jepang sebagai ilmuwan yang tak hanya kaliber internasional, namun juga kaliber interstellar, yang dipercaya oleh Chiba University untuk mengembangkan jenis-jenis pesawat tanpa awak. 


Dari kompetensi riset pun, nilai h-index Scopus Prof. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo telah mencapai 26, besarnya 3 kali lipat dari nilai h-index Scopus Prof. Stella Christie (https://www.scopus.com/authid/detail.uri?authorId=55802422900). ***

Penulis blog