HUKUM POLITIK

Kejagung Soal Aliran Dana ke Tom Lembong: Apa Harus Ada Dulu Baru Disebut Korup?

DEMOCRAZY.ID
Oktober 31, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Kejagung Soal Aliran Dana ke Tom Lembong: Apa Harus Ada Dulu Baru Disebut Korup?



DEMOCRAZY.ID - Kejaksaan Agung (Kejagung) memberikan penjelasan terkait penetapan Menteri Perdagangan RI 2015–2016 Thomas Trikasih Lembong atau akrab disapa Tom Lembong sebagai tersangka dalam dugaan korupsi impor gula.


Tom Lembong juga dijerat bersama satu orang lainnya yakni Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia 2015–2016. Diduga, negara mengalami kerugian mencapai Rp 400 miliar dalam kasus tersebut.


Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar pun mengatakan keterlibatan Tom Lembong hingga menjadi tersangka dalam kasus ini. 


Ia menyebut, Tom Lembong selaku menteri memiliki kewenangan dalam menentukan regulasi dalam impor gula itu.


"Pertanyaan saya justru muncul, apakah peristiwa [korupsi] itu bisa muncul kalau tidak ada regulasi?" ujar Harli kepada wartawan di kantornya, Kamis (31/10).


"Apakah regulasi [yang dikeluarkannya sebagai menteri] itu benar?" kata dia.


Dalam pernyataannya sebelumnya, Harli memang menyebut bahwa pihaknya belum bisa memastikan ada aliran dana yang diterima Tom Lembong terkait kasus tersebut.


Namun, menurut Harli, perbuatan disebut sebagai tindak pidana korupsi tak perlu melihat apakah harus ada aliran dana terlebih dahulu kepada pihak yang disangkakan.


"Apakah harus ada aliran dana dulu, baru disebut sebagai tindak pidana korupsi?" tandasnya.


Lebih lanjut, Harli menegaskan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka telah melalui serangkaian pemeriksaan saksi.


"Kita fokus menyelesaikan perkara ini dan sekarang seperti yang sudah disampaikan, setidaknya ada 90 orang saksi yang sudah diperiksa, termasuk di dalamnya juga ada ahli," tutur Harli.


Kemudian, lanjutnya, penyidik juga telah menemukan alat bukti sebagai permulaan yang cukup untuk menaikkan status Tom Lembong sebagai tersangka.


"Terkait dengan alat bukti tentu harus kembali ke [pasal] 184 KUHAP, di situ ada keterangan saksi, ada keterangan ahli, ada surat, ada petunjuk, ada keterangan tersangka atau terdakwa, nah menentukan menetapkan seseorang menjadi tersangka harus didasarkan pada adanya bukti permulaan yang cukup," imbuh Harli.


"Dari mana bukti permulaan yang cukup? Dari setidaknya 2 alat bukti, lalu apa yang menjelaskan itu? Tentunya sudah disampaikan ada 90 orang saksi di situ sudah diperiksa," sambungnya.


Ia juga meminta masyarakat tak berspekulasi bahwa kasus yang menjerat Tom Lembong ini bermuatan politis.


"Biarkanlah penyidikan ini terus menyelesaikan tugasnya, saya kira masyarakat juga jangan menjadi tendensius, kan, seolah-olah ada politisasi," kata dia.


"Dan kita sudah sampaikan, di mana politisasinya? Tidak ada politisasi, ini murni penegakan hukum, ya," pungkasnya.


Kasus Impor Gula


Adapun dalam kasusnya, pada 2015, berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian, telah disimpulkan Indonesia surplus gula sehingga tidak perlu atau tidak butuh impor gula.


Namun, pada tahun yang sama, Thomas Lembong selaku menteri diduga justru mengizinkan persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada perusahaan PT AP. Kemudian gula kristal mentah itu diolah menjadi gula kristal putih.


Padahal, yang boleh mengimpor gula kristal putih adalah BUMN, bukan perusahaan swasta. Izin itu dikeluarkan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.


Kemudian, pada 28 Desember 2015, dilakukan rapat koordinasi di Kementerian Bidang Perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu yang dibahas yakni Indonesia pada 2016 kekurangan gula kristal sebanyak 200 ribu ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.


Pada November-Desember 2015, Charles Sitorus selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, memerintahkan staf senior manager bahan pokok PT PPI atas nama P untuk melakukan pertemuan dengan 8 perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula.


Perusahaan gula swasta yang dimaksud yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.


Kemudian, 8 perusahaan swasta yang mengelola gula kristal mentah jadi gula kristal putih itu sebenarnya izin industri mereka hanyalah produsen gula kristal rafinasi yang diperuntukkan untuk industri makanan minuman dan farmasi.


Lalu, setelah 8 perusahaan itu mengimpor gula mentah dan diolah menjadi gula kristal putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut tetapi sebenarnya gula itu dijual oleh perusahaan swasta ke pasaran. Harga jualnya Rp 16 ribu, jauh lebih tinggi dari HET saat itu yakni Rp 13 ribu.


Menurut Kejagung, kerugian negara Rp 400 miliar itu dihitung dari keuntungan yang didapat 8 perusahaan swasta yang melakukan impor dan pengolahan gula. Kejagung menyebut keuntungan tersebut didapat PT PPI selaku BUMN.


Kejagung menjerat dua tersangka dalam kasus impor gula tersebut, yakni Tom Lembong dan Charles Sitorus. Keduanya sudah ditahan.


Sumber: Kumparan

Penulis blog