'Jokowi Tahu Kebijakan Impor Gula Tom Lembong?'
Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Kejutan hukum pertama di era Prabowo adalah co captain Anies “musuh” Prabowo ditetapkan sebagai Tersangka oleh Kejaksaan Agung dengan tuduhan bahwa akibat kebijakan impor gula maka negara dirugikan 400 milyar.
Publik menilai bahwa pada rezim Prabowo ini ternyata hukum masih dijadikan alat untuk kepentingan politik.
Peristiwanya saat Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan 2015-2016.
Kecuali Gobel yang digantikan Tom, maka semua Mendag mengambil kebijakan impor gula bahkan dengan tonase yang jauh lebih besar.
Thomas Trikasih Lembong ditahan bersama Charles Sitorus Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Adakah penetapan status tersangka Tom Lembong murni hukum atau politis, itu akan bisa kita baca edisi lanjutan dari kerja Kejagung. Tidak terpaku pada bantahan Kejagung.
Jika penetapan status tersangka dan penahanan Tom Lembong adalah dalam upaya menjegal Anies untuk maju dalam Pilpres 2029, maka aspek politisnya sangat kuat. Hal ini mengingat peran Lembong yang besar untuk menyukseskan Anies.
Apalagi rumor untuk menjadikan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden terus bergulir. Anies bakal menjadi lawan berat yang sulit dikalahkan, apalagi oleh bocil sekelas Gibran.
Penetapan tersangka Tom Lembong sangat bernilai politis jika kelanjutannya Anies atau orang dekatnya yang dijadikan target pemeriksaan atau pesakitan.
Jokowi masih menampilkan diri sebagai pengendali rezim Prabowo. Sang jagoan hanya tampil hebat di omon-omon saja, prakteknya ternyata ia adalah bawahan Jokowi.
Jika penetapan dan penahanan Tom Lembong itu memang murni hukum, maka semua menteri baik Agus, Enggar, Lutfi maupun Zulhas harus diperiksa dan ditetapkan status yang sama karena seluruhnya mengambil kebijakan yang serupa soal impor gula.
Lalu, dan ini terpenting, adakah Jokowi tidak mengetahui “ulah” menteri-menterinya tersebut ?
Jika 5 (lima) Menteri Perdagangan melakukan hal yang sama soal impor gula, maka wajar dan sudah menjadi konsekuensi hukum bahwa Presiden juga harus diperiksa. Jokowi tidak bisa dikesampingkan.
Pasal 421 KUHP Jo Pasal 3 Jo Pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang Tipikor menyatakan bahwa atasan yang membiarkan terjadinya korupsi dapat dipidana :
“Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”
Dalam aturan UU Tipikor ancaman pidana penjara diubah menjadi minimal 1(satu) tahun dan maksimal 6 (enam) tahun.
Ternyata banyak menteri Jokowi yang melakukan korupsi, oleh karena itu Jokowi patut untuk diperiksa dan diminta pertanggungjawaban atas perbuatan pidananya.
Jika tidak, maka pembiaran adalah bagian dari jebakan atau politik sandera yang menjadi warna dari pemerintahan buruknya.
Dalam kasus yang “belum terbukti” aliran dana ke kantong Tom Lembong, artinya baru pada aspek kebijakan saja, maka lebih terbuka untuk mengusut atau memeriksa seluruh Menteri Perdagangan yang menjalankan program impor gula, terlebih-lebih memeriksa Jokowi yang menjadi atasan dari para menteri tersebut.
Bagi Tom Lembong yang kini ditahan dan dijadikan tersangka tinggal bilang saja bahwa kebijakan impor gula yang diambilnya itu diketahui bahkan disetujui oleh Jokowi.
Jokowi telah melakukan pembiaran. Bisa ditangkap, ditahan, diadili dan mendapat sanksi pidana maksimal penjara 6 (enam) tahun.
Bahkan Lembaga Kajian untuk Advokasi dan Independensi Peradilan berpendapat untuk atasan yang mengetahui dan membiarkan korupsi terjadi tidak melaporkan, maka dapat dikenakan Pasal 56 KUHP tentang pembantuan atau medeplichtige.
Artinya, sanksi sedikit lebih ringan daripada pelaku korupsi, yang terancam hukuman pidana penjara maksimal 20 (dua puluh) tahun.
Jika politis Tom Lembong harus dibebaskan tetapi jika murni hukum, maka Jokowi harus ikut diperiksa dan dihukum.***
Bandung, 31 Oktober 2024