EKBIS POLITIK

Jadi Menkeu Lagi! Bagaimana Sri Mulyani Dapat Mengatasi Beban Utang ‘Warisan’ dari Presiden Jokowi?

DEMOCRAZY.ID
Oktober 17, 2024
0 Komentar
Beranda
EKBIS
POLITIK
Jadi Menkeu Lagi! Bagaimana Sri Mulyani Dapat Mengatasi Beban Utang ‘Warisan’ dari Presiden Jokowi?



DEMOCRAZY.ID - Presiden terpilih Prabowo Subianto meminta Sri Mulyani Indrawati untuk kembali menjadi Menteri Keuangan (Menkeu) pada pemerintahannya.


Sri Mulyani menjadi satu dari 17 menteri di Kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dipanggil Prabowo ke kediamannya di Jalan Kartanegara, Jakarta untuk menjadi calon menteri.


Sri Mulyani turut menyambangi kediaman presiden terpilih Prabowo Subianto di Jakarta, pada Senin (14/10/2024) malam. 


Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu adalah satu dari 49 orang yang disebut-sebut akan menjadi menteri dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.


Sri Mulyani mengatakan Prabowo memintanya untuk kembali memimpin Kementerian Keuangan, sebagaimana dilansir kantor berita Antara.


Sri Mulyani juga menyebut dirinya dan Prabowo melakukan “diskusi cukup lama dan panjang” termasuk soal prioritas-prioritas pemerintahan ke depan.


“[Prabowo] sangat perhatian bagaimana dampak APBN kepada masyarakat. Itu menjadi tekanan beliau,” kata Sri Mulyani setelah menemui Prabowo pada Senin (14/10/2024).


Sri Mulyani kemungkinan besar akan dibantu dengan tiga wakil menteri keuangan, yakni Thomas Djiwandono, Suahasil Nazara, dan ekonom Anggito Abimanyu.


Suahasil Nazara dan Thomas Djiwandono telah mendatangi kediaman Prabowo di Jakarta, Selasa (15/10/2024).


Apabila Sri Mulyani resmi dilantik sebagai menteri keuangan di bawah kepemimpinan Prabowo, alumnus Universitas Indonesia itu akan menjadi orang pertama yang dipercaya mengemban tugas tersebut oleh tiga presiden berbeda.


Selain menjabat selama dua periode pemerintahan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo, Sri Mulyani juga sempat menjabat sebagai menteri keuangan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


Dimintanya Sri Mulyani untuk bergabung ke pemerintahan Prabowo bertolak belakang dengan sejumlah laporan media pada Juli silam yang menyebut dia tidak akan masuk ke kabinet Prabowo-Gibran.


Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo, ekonom senior yang bergabung ke dalam tim kampanye Prabowo-Gibran, mengakui sempat ada perbedaan pandangan antara Prabowo dan Sri Mulyani pada masa silam.


“Bahwa kemudian Pak Prabowo memilih Ibu Sri Mulyani dan Ibu Sri Mulyani akhirnya bersedia, ya, rasanya dari kedua pihak ada kompromi,” tutur Dradjad.


Sebelum dilantik, Prabowo Subianto memang sudah mengusung target-target yang ambisius. 


Dalam sebuah pidato pada Juli lalu, Prabowo menyatakan dirinya “optimis” pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8% dalam kurun waktu 5 tahun ke depan.


“Kita harus berani menaruh sasaran yang lebih tinggi. Kalau saya optimis kita bisa mencapai 8%,” kata Prabowo.


Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan pertama tahun ini mencapai 5,11%, menurut Badan Pusat Statistik pada Februari silam. 


Menurut Dradjad, Sri Mulyani “sudah tahu” target-target Prabowo apabila “sudah berani menerima tugas itu”.


Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengaku pesimistis Indonesia bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 8% hanya dengan mengandalkan figur menteri keuangan.


“Dia [Sri Mulyani] harus dibantu oleh kementerian-kementerian teknis yang [dipimpin] orang-orang profesional. Bukan orang yang double job atau nyambi antara partai politik dan [jabatan] ekonomi. Pasti kerjanya enggak optimal,” ujar Eko.


Di sisi lain, ekonom itu berpendapat pertimbangan utama Prabowo memilih Sri Mulyani adalah rekam jejaknya yang cukup stabil dan mampu menjaga kepercayaan pasar.


Terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut tantangan terbesar Prabowo adalah warisan utang pemerintahan Jokowi dan Sri Mulyani selaku menteri keuangan mengetahui teknis persetujuan utang. 


“Ibaratnya, Sri Mulyani diminta bertanggung jawab terhadap kebijakan utang di era Jokowi,” ujarnya.


Bhima juga menduga terpilihnya Sri Mulyani kembali sebagai menteri keuangan terkait dengan kompromi anggaran untuk membiayai program Prabowo seperti makan bergizi.


Sosok Sri Mulyani mulai mengemuka sebagai pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada 1998-1999.


Analisa perempuan yang lahir di Lampung pada tanggal 26 Agustus 1962 itu kerap dikutip pelbagai media lokal dan internasional. Pada 1999-2001, dia menjadi bagian dari Dewan Ekonomi Nasional (DEN)


Pada tahun 2002, Sri Mulyani menjadi Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF) mewakili 12 negara Asia Tenggara.


Karier Sri Mulyani di bidang pemerintahan diawali dengan menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004.


Sri Mulyani kemudian menjadi Menteri Keuangan pada tahun 2005 dalam kabinet Presiden Yudhoyono.


Tahun 2008, Sri Mulyani juga sempat menjadi pelaksana tugas Menteri Koordinator Perekonomian, menggantikan Boediono yang saat itu terpilih menjadi Gubernur Bank Indonesia.


Posisi Sri Mulyani sebagai menteri keuangan digantikan Agus Martowardojo pada 2010. Sri Mulyani saat itu ditunjuk sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.


Sejak akhir 2009, Sri Mulyani banyak diberitakan karena kebijakan mengucurkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun untuk Bank Century ketika menjabat sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).


Sejumlah kalangan DPR menilai kebijakan itu merugikan rakyat dan meminta Sri Mulyani mundur dari jabatannya. 


Namun, dia bersikeras kebijakan itu diambil untuk mencegah Indonesia dari jeratan krisis keuangan pada tahun 2008.


Pada 2016, Presiden Jokowi meminta Sri Mulyani untuk kembali menjabat sebagai menteri keuangan dalam pemerintahannya.


Dia kembali dilantik sebagai menteri keuangan pada periode kedua Jokowi akhir 2019.


Sebagai menteri keuangan, Sri Mulyani dikenal sebagai figur yang cermat, non-partisan dan profesional dalam mengelola anggaran negara.


Dia juga dikenal gigih dalam mengeluarkan kebijakan untuk mereformasi perpajakan seperti tax amnesty atau pengampunan pajak.


Di sisi lain, pada akhir masa jabatan Presiden Jokowi, Indonesia mengalami beban utang yang menyentuh Rp8.353 triliun dan melebarnya defisit APBN.


Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menuturkan narasi Prabowo-Gibran yang ingin “melanjutkan” pemerintahan Jokowi membuat sosok Sri Mulyani dibutuhkan.


Ekonom itu berpendapat pertimbangan utama Prabowo memilih Sri Mulyani adalah rekam jejaknya yang cukup stabil dan mampu menjaga kepercayaan pasar—terutama internasional.


“Yang menjadi pembeda [antara kebijakan ekonomi Jokowi dan Prabowo] adalah Prabowo sangat proaktif terhadap isu-isu internasional. Zaman Pak Jokowi enggak seperti itu, yang lebih kelihatan menteri luar negerinya,” ujar Eko kepada BBC News Indonesia pada Selasa (15/10).


Eko mengharapkan keproaktifan Prabowo di kancah internasional ini bisa diterjemahkan ke ekonomi Indonesia seperti investasi dan kerjasama-kerja sama perdagangan yang bisa secara konkret meningkatkan ekspor.


Sementara Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menduga terpilihnya Sri Mulyani kembali sebagai menteri keuangan terkait dengan kompromi anggaran untuk membiayai program Prabowo seperti makan bergizi.


Bhima menduga salah satu hal yang akan dilakukan Sri Mulyani dalam jangka pendek adalah mendesak DPR untuk menyetujui APBN-Perubahan mengingat APBN terakhir yang disahkan Jokowi masih belum mengakomodir program-program utama Prabowo seperti makan bergizi.


Selain itu, Bhima menyebut reputasi dan kredibilitas internasional Sri Mulyani juga dibutuhkan agar investor mau tetap membeli surat utang pemerintah.


“Dan untuk meyakinkan investor masuk ke dalam program-program ekonomi Prabowo,” ujar Bhima Selasa (15/10/2024).


Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo, mengatakan pihaknya sudah mendengar bahwa Prabowo mempercayakan jabatan menteri keuangan kembali ke Sri Mulyani sejak pekan lalu.


“Saya tidak tahu pasti pertimbangannya. Tetapi saya rasa beliau [Prabowo] mempelajari kondisi fiskal dan mempelajari prospek tahun 2025,” ujar Dradjad.


Ekonom senior yang sempat menjadi anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Rakabuming Raka itu mengakui memang sempat ada perbedaan pandangan yang “cukup tajam” antara Prabowo dan Sri Mulyani.


Salah satu perbedaan pandangan ini, menurut Dradjad, adalah soal anggaran pertahanan. Seperti diketahui, Prabowo menjabat sebagai menteri pertahanan di kabinet Presiden Jokowi.


“Bahwa kemudian Pak Prabowo memilih Ibu Sri Mulyani dan Ibu Sri Mulyani akhirnya bersedia, ya, rasanya dari kedua pihak ada kompromi,” tutur Dradjad.


“Dua-duanya berkompromi. Jadi, Pak Prabowo mungkin berkompromi BPN [Badan Penerimaan Nasional] tidak jadi dibentuk. Sri Mulyani komprominya [adalah] siap mengejar target-target Pak Prabowo.


“Kalau Ibu Sri Mulyani sudah berani menerima tugas itu, artinya dia tahu ada target-target yang harus dicapai oleh Pak Prabowo,” ujar Dradjad.


Dradjad merujuk wacana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan kemudian dijadikan Badan Penerimaan Nasional (BPN).


Ditemui di depan kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan pada Senin (14/10/2024), Sri Mulyani mengatakan tidak ada pembahasan itu antara dirinya dan Prabowo. “[Kementerian Keuangan] masih satu,” katanya.


Adapun target-target yang disebut Dradjad di antaranya adalah target pertumbuhan ekonomi 8% yang diusung Prabowo Subianto.


Dalam sebuah pidato pada bulan Juli lalu, Prabowo menyatakan dirinya “optimis” pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8% dalam kurun waktu 5 tahun ke depan.


“Kita harus berani menaruh sasaran yang lebih tinggi. Kalau saya optimis kita bisa mencapai 8 persen,” kata Prabowo seperti dilansir Antara.


Rekam jejak Sri Mulyani memperlihatkan Indonesia sempat menorehkan pertumbuhan ekonomi 6,6% pada 2007 — ini adalah pencapaian tertinggi negara semenjak krisis finansial 1997. Resesi ekonomi global 2008 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi 6%.


Sri Mulyani juga mendapat tantangan akibat pandemi COVID-19. Pada tahun 2020, pertumbuhan ekonomi turun menjadi 2,97% dari 5,02% pada tahun 2019.


Setelah pandemi, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai kembali pulih. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan pertama tahun ini mencapai 5,11%, menurut Badan Pusat Statistik pada Februari silam.


Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengaku “pesimis” Indonesia bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 8% hanya dengan mengandalkan figur menteri keuangan.


Dia mencatat rekam jejak Sri Mulyani sebagai menteri keuangan semasa Presiden Yudhoyono di mana pertumbuhan ekonomi mencapai 6% dan pada era Presiden Jokowi di kisaran 5%.


“Dia [Sri Mulyani] harus dibantu oleh kementerian-kementerian teknis yang [dipimpin] orang-orang profesional. Bukan orang yang nyambi antara partai politik dan [jabatan] ekonomi. Pasti kerjanya enggak optimal. Menteri-menteri ekonomi yang lain sepertinya juga akan diambil dari partai-partai politik.”


Eko Listiyanto mencatat contoh yang baik adalah Rosan Roeslani yang dikenal sebagai pengusaha dan tidak terafiliasi partai politik ditunjuk sebagai Menteri Investasi pada Agustus 2024.


“Hal-hal seperti ini penting untuk pasar, untuk pelaku ekonomi, untuk mencapai [target] yang 8% ini. Yang bisa mengakselerasi [adalah] butuh juga figur baru dari kalangan profesional hanya mengurus ekonomi,” ujarnya.


Menteri-menteri bidang perekonomian selama ini memang kerap diisi dengan orang partai. Seperti diketahui, saat ini politisi Golkar, Bahlil Lahadalia, menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.


Jabatan Menteri Perindustrian diisi politisi Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita. Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional saat ini menjabat sebagai Menteri Perdagangan.


Bagaimana Sri Mulyani dapat mengatasi beban utang warisan dari Presiden Jokowi?


Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut tantangan terbesar Prabowo adalah warisan utang pemerintahan Jokowi dan Sri Mulyani selaku menteri keuangan mengetahui teknis persetujuan utang.


“Ibaratnya, Sri Mulyani diminta bertanggung jawab terhadap kebijakan utang di era Jokowi,” ujarnya.


Meski begitu, Bhima khawatir apabila kebijakan ke depannya masih tetap bersifat “gali lubang, tutup lubang” dengan menerbitkan utang baru yang lebih besar, maka ekonomi Indonesia bisa memburuk.


“Utang yang menumpuk di era Sri Mulyani tidak berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi kita ‘kan 5% saja,” ujarnya.


Bhima juga menyoroti keengganan Sri Mulyani atas terbentuknya BPN. Dia berpendapat Sri Mulyani ingin kendali penuh dalam hal fiskal karena pemisahan ini akan mempersulit menteri keuangan dalam memastikan kenaikan penerimaan dari pajak.


“Apalagi Prabowo menjanjikan rasio pajak 23% dari PDB. Sekarang saja rasio pajaknya hanya 10%,” ujarnya.


Di sisi lain, Bhima berpendapat kebijakan-kebijakan Sri Mulyani ini adalah akan memperburuk ketimpangan karena sosoknya banyak mengeluarkan insentif pajak untuk pengusaha besar. “Sementara untuk yang kelas menengah akan semakin tertekan,” ujarnya.


Dalam jangka menengah, Bhima menyebut Sri Mulyani harus berani mengerem program-program strategis nasional (PSN) yang sudah terlalu membebani keuangan negara.


“IKN, misalnya. Sri Mulyani harus berani mengerem karena anggarannya sudah sangat terbatas. Kalau dilakukan anggaran jor-joran seperti era Jokowi untuk IKN, tentunya juga kurang menguntungkan bagi Prabowo,” ujarnya.


Ekonom INDEF, Eko Listiyanto, menyebut dirinya berharap utang negara pada era Prabowo bisa diturunkan mengingat proyek-proyek infrastruktur sudah banyak dilakukan pada era Jokowi.


“Sebetulnya utang dan tidak utang itu tergantung bagaimana Presidennya, kan? [Kalau] presidennya minta banyak, minta ini itu, yang paling cepat kan menerbitkan SBN [Surat Berharga Negara],” tandasnya.


Sumber: MonitorIndonesia

Penulis blog