CATATAN POLITIK

Fall From Grace: 'Kejatuhan Dari Anugerah, Menanti Akhir Kepemimpinan Jokowi'

DEMOCRAZY.ID
Oktober 14, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Fall From Grace: 'Kejatuhan Dari Anugerah, Menanti Akhir Kepemimpinan Jokowi'


Fall From Grace: 'Kejatuhan Dari Anugerah, Menanti Akhir Kepemimpinan Jokowi'


Dalam hitungan hari, Indonesia akan menyaksikan lengsernya Joko Widodo dari panggung kepemimpinan, saat tanggal 20 Oktober 2024 tiba. 


Ada sesuatu yang mendalam dan menggelisahkan dalam momen transisi ini, seakan waktu mengukir sebuah elegi bagi pemimpin yang akan segera turun. 


Seperti ungkapan klasik Latin, “que extendit sine labore, decendit sine honore”—“ia yang naik tanpa kemampuan, turun tanpa kehormatan”—kita menyaksikan bagaimana kemuliaan seorang pemimpin di awal kariernya berangsur-angsur memudar, berganti dengan kritik dan keraguan.


Awal yang Gemilang


Jokowi pernah menjadi simbol harapan baru. Dari seorang pengusaha mebel hingga menjadi Presiden, ia mengukir kisah heroik yang membawa semangat rakyat kecil. 


Di masa awal jabatannya, Jokowi menyemai optimisme bahwa perubahan yang dijanjikan akan segera terwujud. 


Ia dianggap sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, dengan gaya “blusukan” yang menjadi ciri khas kepemimpinannya. 


Dalam euforia itu, ia naik bak pahlawan yang diharapkan mampu membawa Indonesia ke era yang lebih cerah.


Namun, sebagaimana pepatah berkata, “mendaki gunung lebih mudah daripada mempertahankan puncak.” 


Jokowi, meski dengan segala pencapaiannya, mulai tergerus oleh kenyataan politik yang lebih keras. Ekspektasi yang tinggi, lambat laun, terbenam oleh tantangan yang semakin kompleks.


Kejatuhan Publik: Dari Pujian Menuju Kritik


Seiring waktu, bayangan kritik mulai melingkupi sosok Jokowi. Harapan rakyat yang pernah begitu tinggi, kini berubah menjadi tuntutan yang tak terjawab. 


Isu-isu mengenai korupsi, oligarki, ketimpangan sosial, hingga pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang kontroversial, semakin memperlebar jurang antara Jokowi dan publiknya. 


Dalam istilah populer, “fall from grace”—kejatuhan dari anugerah—Jokowi mengalami penurunan perlahan namun pasti dalam pandangan masyarakat.


Tidak sedikit yang menilai bahwa karisma awal Jokowi mulai memudar. Seperti kutukan para pemimpin yang tak mampu memenuhi ekspektasi, ia perlahan-lahan terperosok dalam “public downfall”—keruntuhan di hadapan publik. 


Banyak proyek yang digagasnya, seperti reformasi birokrasi dan pembangunan infrastruktur, meski berhasil di awal, kini menghadapi berbagai tantangan yang menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.


Kepemimpinan yang Matang: Sebuah Keharusan


Dalam dunia kepemimpinan, terdapat konsep “leadership maturity”—kedewasaan dalam memimpin. Pemimpin yang matang tidak hanya ditentukan oleh karisma, tetapi oleh kemampuan mereka untuk tetap setia pada visi, serta kemampuan beradaptasi di tengah badai tantangan. 


Jokowi, yang pernah bersinar dengan gaya kepemimpinan populisnya, kini menghadapi pertanyaan tentang apakah ia telah benar-benar matang dalam memimpin bangsa ini.


Sebagai penutup, frasa Latin tersebut kembali terngiang: “que extendit sine labore, decendit sine honore.” 


Mungkin, sejarah akan mencatat Jokowi sebagai seorang pemimpin yang naik dengan sorotan besar, namun turun tanpa kehormatan yang sama. 


Pada akhirnya, kedewasaan kepemimpinan bukanlah soal mencapai puncak, melainkan bagaimana bertahan dan tetap setia pada amanah hingga akhir.


Kepemimpinan yang matang adalah sebuah keharusan—tanpa kedewasaan itu, bahkan pemimpin terkuat pun akan jatuh dari singgasana dengan kekosongan makna.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog