DEMOCRAZY.ID - Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Kabid Propam) Polda NTT Kombes Pol Robert A. Sormin menjelaskan proses sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri terhadap Ipda Rudy Soik hingga keluarnya putusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Robert membantah bahwa pemecatan terhadap Ipda Rudy tak terkait dengan aksinya membongkar dugaan praktik mafia BBM di Kota Kupang Juni lalu.
"Kasus ini berbeda dari sebelumnya, terutama karena adanya pemberitaan di media sosial yang menyoroti penanganan kasus oleh oknum tertentu," katanya di Kupang, Senin (14/10/2024).
Robert menjelaskan bahwa institusinya telah melakukan pengecekan terhadap informasi yang beredar dan hasil audit menunjukkan bahwa ada ketidaksesuaian dalam mekanisme penanganan yang dilakukan.
"Kami menemukan bahwa prosedur yang seharusnya diikuti tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada," ujarnya.
Pemeriksaan ini melibatkan saksi-saksi yang memberikan keterangan bahwa tindakan yang dilakukan anggota Polda NTT itu tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).
Dari hasil sidang Komisi Kode Etik Polri, ditemukan bahwa Ipda Rudy Soik telah menerima beberapa sanksi sebelumnya, termasuk hukuman pidana.
Robert menegaskan kembali pentingnya menjalankan mekanisme hukum yang benar dan transparan.
"Kami berharap informasi ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan mengedukasi tentang pentingnya kepatuhan terhadap prosedur hukum," ujar dia.
Mabes Polri Turun Tangan
Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri mengasistensi pengkajian ulang proses pemecatan Ipda Rudy Soik.
Rudy dipecat oleh Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) usai memasang garis polisi dalam penyelidikan kasus mafia bahan bakar minyak (BBM) di Kupang.
"Kita asistensi saja, tapi masalah itu ditangani Polda (NTT). Ada asistensi dari Divpropam, ada," kata Kadiv Propam Polri Irjen Abdul Karim di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Senin (14/10/2024).
Karim mengatakan pemberian sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) itu wewenang Polda NTT. Maka itu, Propam Polri tidak ikut mengkaji ulang.
Dianggap Tak Profesional
Kabid Humas Polda NTT Kombes Ariasandy menyebut Ipda Rudy Soik telah melakukan perbuatan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri.
Yakni berupa melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur.
"Ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan melakukan pemasangan police-line (garis polisi) pada drum dan jerigen yang kosong di lokasi milik Ahmad Anshar dan Algajali Munandar beralamat di Kelurahan Alak dan Fatukoa, Kupang," kata Ariasandy, Sabtu (12/10/2024).
Ipda Rudy Absen Sidang karena Terintimidasi
Dalam sidang etik, para saksi juga menyatakan bahwa tindakan yang diambil Rudy Soik bertentangan dengan peraturan yang ada.
Ipda Rudy meninggalkan proses sidang saat tuntutan dibacakan sehingga menambah bobot alasan pemecatan yang diambil Polda NTT.
Ipda Rudy Soik mengatakan dirinya terpaksa keluar dari ruang sidang karena selalu ditekan ketika hadir dalam sidang-sidang sebelumnya.
Dia bahkan tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan rangkaian penyelidikan kasus mafia BBM yang berujung pemasangan garis polisi
"Kenapa saya tidak hadir karena sidang dari hari pertama itu saya sudah sampaikan ke komisi sidang agar saya tidak ditekan dan diintimidasi secara kewenangan. Namun, saya benar-benar ditekan saat memberikan keterangan saat itu," ungkap Rudy.
Kronologi
Kasus ini berawal saat Ipda Rudy bersama dengan tim melakukan operasi penertiban terkait penyalahgunaan BBM bersubsidi dan menangkap Ahmad Ansar dan Algazali Munandar.
Keduanya diduga membeli minyak solar subsidi menggunakan barcode nelayan palsu atas nama Law Agwan.
Keduanya diduga menimbun BBM bersubsidi di tengah kelangkaan di Kupang. Bahkan, Ahmad adalah seorang residivis dalam kasus serupa.
Saat diperiksa, polisi mendapati solar yang ditimbun pelaku sudah tidak ada lagi di lokasi. Ahmad sendiri mengaku telah mengirim minyak tersebut kepada Algazali.
Polisi kemudian melanjutkan penyelidikan ke tempat penimbunan milik Algazali yang mengaku telah menyetorkan uang Rp 15 juta kepada Kanit Tipidter dan bekerja sama dengan Krimsus Polda NTT.
Sumber: Inilah