CATATAN EKBIS POLITIK

'Di Dalam Bayang-Bayang Janji Politik Swasembada Pangan'

DEMOCRAZY.ID
Oktober 30, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
EKBIS
POLITIK
'Di Dalam Bayang-Bayang Janji Politik Swasembada Pangan'


'Di Dalam Bayang-Bayang Janji Politik Swasembada Pangan'


Presiden Prabowo dalam pidato perdananya pada 20 Oktober 2024 berjanji untuk mewujudkan swasembada pangan dalam 4-5 tahun ke depan. 


Komitmen yang diungkapkan ini membawa secercah optimisme, terutama di tengah bayang-bayang ketergantungan kita pada impor pangan. 


Namun, di balik semangat besar itu, terselip pertanyaan yang tidak mudah dijawab: di mana rencana strategis untuk mencapai ambisi tersebut? 


Mengingat ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan bukanlah masalah baru, dan bahkan jumlahnya terus meningkat selama beberapa tahun terakhir. 


Pencapaian target swasembada pangan tidak hanya bergantung pada semangat, tetapi juga pada langkah-langkah konkret di lapangan.


Rakyat Indonesia sebenarnya sudah berkali-kali mendengar janji swasembada pangan. Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, harapan yang sama sudah dicanangkan. Namun, realitas berkata lain. 


Janji swasembada yang kala itu diharapkan dapat menjamin kemandirian pangan justru berbanding terbalik dengan jumlah impor yang fantastis. 


Data menunjukkan, dalam periode 2015-2023, impor beras mencapai 9,4 juta ton, gula dan pemanis buatan sebanyak 43,8 juta ton, jagung 10,9 juta ton, dan kedelai 22 juta ton. 


Angka-angka ini mencerminkan ketergantungan besar kita pada pangan impor, sementara janji swasembada seolah hanya tinggal wacana.


Belum lagi harga pangan yang terus melonjak dalam beberapa tahun terakhir. Bukan sekadar soal ketergantungan impor, tetapi juga ketidakmampuan pemerintah dalam memastikan harga pangan yang terjangkau bagi rakyat. 


Sebagai contoh, harga minyak goreng curah per 25 Oktober 2024 telah menyentuh Rp17.650 per liter, naik 16% dibandingkan tahun lalu. 


Gula juga tidak ketinggalan, dengan harga Rp17.950 per kg, artinya terjadi kenaikan sebesar 13%, diikuti oleh beras medium Rp15.350 per kg, naik 4%. 


Angka-angka ini adalah bukti bahwa pemerintah belum berhasil menyediakan pangan yang terjangkau, sebuah janji yang justru menjadi beban bagi rakyat di tengah biaya hidup yang terus melambung.


Ketidakmampuan pemerintah dalam memastikan keterjangkauan pangan pun terlihat dalam peringkat Global Food Security Index (GFSI) Indonesia yang hanya berada di posisi ke-69 dari 113 negara pada tahun 2023, dengan skor 60,2. 


Salah satu komponen penting yang dinilai dalam GFSI adalah keterjangkauan pangan, sebuah aspek yang masih menjadi PR besar bagi pemerintah. 


Peringkat ini, meskipun bersifat angka, menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dibenahi jika ingin janji swasembada pangan benar-benar dapat dicapai dalam waktu singkat.


Masalahnya bukan hanya terletak pada keterjangkauan pangan, tetapi juga pada efektivitas program yang telah berjalan. 


Program food estate yang diluncurkan pemerintah pada tahun sebelumnya seolah berjalan tanpa arah yang jelas. 


Sayangnya, kementerian yang bertanggung jawab atas program ini adalah Kementerian Pertahanan, yang saat itu dipimpin oleh Presiden Prabowo sendiri. 


Program ini diluncurkan dengan harapan dapat memperkuat ketahanan pangan nasional, namun belum mencapai hasil yang memuaskan. Alih-alih menjadi solusi, program ini justru mengalami berbagai kendala dan terlihat tidak berhasil.


Dalam konteks janji swasembada pangan yang kembali dicanangkan oleh Presiden Prabowo, menjadi pertanyaan besar bagi publik apakah strategi yang sama, seperti program food estate, akan diandalkan kembali. 


Jika ya, pemerintah harus memiliki dasar penelitian yang mendalam serta strategi yang terukur untuk mencapai hasil yang berbeda dari sebelumnya. 


Tanpa perubahan strategi yang nyata, maka bukan tidak mungkin kegagalan yang sama akan terulang. 


Seharusnya, jika pemerintah serius, publik berhak mengetahui analisis, perhitungan, dan langkah konkret yang akan diambil dalam pengembangan food estate ini sehingga dapat diuji bersama.


Menyaksikan kegagalan program food estate sebelumnya, publik tentu memiliki alasan untuk skeptis. Wajar jika ada kekhawatiran bahwa janji swasembada pangan hanya akan menjadi jargon politik semata. 


Rakyat berhak menuntut agar hasil analisis dan rencana strategis pemerintah dibuka secara transparan. 


Dengan begitu, publik dapat ikut mengawasi dan mengevaluasi implementasi program ini, sehingga tidak hanya menjadi sekadar ajang coba-coba yang mengorbankan anggaran negara.


Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk program-program besar seperti food estate ini bersumber dari pajak rakyat. Jadi, jika terjadi kegagalan, rakyat yang akan menanggung kerugiannya. 


Anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk berbagai sektor lain demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas bisa saja terbuang sia-sia jika program ini gagal. 


Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika publik meminta pertanggungjawaban yang jelas dari pemerintah terkait implementasi janji swasembada pangan ini.


Di sisi lain, food estate yang akan digunakan sebagai pendekatan untuk mencapai swasembada pangan tidak boleh berdiri sendiri. 


Diversifikasi sumber pangan, penguatan sektor pertanian tradisional, serta keterlibatan langsung petani kecil merupakan langkah yang dapat ditempuh dalam membangun kemandirian pangan berkelanjutan. 


Para petani kecil ini adalah garda depan dalam memastikan ketersediaan pangan nasional, namun sering kali terpinggirkan dalam prioritas pembangunan.


Jika pemerintah benar-benar ingin mencapai swasembada pangan, kebijakan yang diambil seharusnya berpihak pada petani kecil ini. 


Penyediaan dukungan teknologi, subsidi pupuk yang tepat sasaran, serta akses pasar yang lebih mudah adalah sebagian dari langkah-langkah nyata yang akan memberikan dampak langsung dan berkelanjutan bagi para petani.


Harapan untuk swasembada pangan dalam beberapa tahun ke depan hanya akan menjadi kenyataan jika pemerintah benar-benar serius dalam implementasinya. 


Tanpa komitmen kuat dan upaya nyata untuk melibatkan berbagai elemen masyarakat, terutama para petani, target ini hanya akan menjadi sekadar ilusi. 


Pada akhirnya, janji swasembada ini merupakan sebuah ambisi besar yang perlu diwujudkan melalui langkah nyata, bukan hanya retorika politik belaka. 


Dengan segala tantangan yang ada, pemerintah harus mampu memastikan bahwa kebijakan yang diambil berpihak pada rakyat, terutama mereka yang paling terdampak oleh kenaikan harga pangan. 


Rakyat menanti bukti, bukan lagi sekadar janji, bahwa kedaulatan pangan dapat terwujud bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam setiap sendok makanan yang mereka santap.


Sumber: INILAH

Penulis blog