POLITIK

Dari Mohammad Hatta hingga Gibran: 'Kemunduran Reputasi Wakil Presiden Indonesia'

DEMOCRAZY.ID
Oktober 05, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Dari Mohammad Hatta hingga Gibran: 'Kemunduran Reputasi Wakil Presiden Indonesia'


Dari Mohammad Hatta hingga Gibran: 'Kemunduran Reputasi Wakil Presiden Indonesia'


Sejak kemerdekaan Indonesia, posisi Wakil Presiden selalu diisi oleh tokoh-tokoh berpengaruh dengan pengalaman panjang dan kompetensi yang tinggi. 


Dimulai dengan Mohammad Hatta, seorang bapak bangsa, ekonom, dan pejuang kemerdekaan yang menjadi sosok integral dalam pembangunan negara. 


Hatta adalah lambang kepemimpinan visioner, disiplin, dan kejujuran, yang hingga kini menjadi panutan bagi generasi penerus.


Sosok-sosok seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang menjadi wakil presiden dengan kehormatan dan kebijaksanaan; Umar Wirahadikusuma, seorang pemimpin yang tegas dengan reputasi jujur dan tidak terpengaruh oleh korupsi di tengah era Orde Baru; serta Sudharmono, seorang teknokrat ulung yang mampu mengelola birokrasi dengan rapi, memperlihatkan bagaimana kursi Wakil Presiden selalu diisi oleh orang-orang dengan rekam jejak yang solid.


Di era yang lebih modern, kita mengenal Try Sutrisno, seorang jenderal militer yang disiplin dan dihormati, serta B.J. Habibie, seorang teknolog dan ilmuwan yang membawa kebangkitan ilmu pengetahuan di Indonesia dan akhirnya menjadi Presiden yang memimpin transisi menuju demokrasi setelah jatuhnya Orde Baru. 


Hamzah Haz, yang pernah menjadi representasi politik Islam moderat di masa sulit pasca reformasi, juga turut memperkaya pengalaman kepemimpinan di kursi Wakil Presiden.


Baca: https://www.wapresri.go.id/sejarah/


Salah satu yang menonjol dalam sejarah Wakil Presiden adalah Jusuf Kalla (JK), yang menjabat dua kali pada masa yang berbeda, dengan rekam jejak yang penuh prestasi. 


JK adalah seorang pengusaha sukses yang juga dikenal sebagai mediator handal dalam penyelesaian konflik, baik di dalam negeri seperti konflik Aceh, maupun dalam isu-isu internasional. 


Kepemimpinannya selalu membawa perspektif yang segar dan solutif terhadap masalah-masalah nasional.


Boediono, Wakil Presiden di masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), adalah figur teknokrat cerdas dengan latar belakang ekonomi yang mendalam. 


Ia pernah memegang berbagai posisi penting, termasuk Gubernur Bank Indonesia, yang membuatnya ahli dalam mengelola kebijakan ekonomi nasional. 


Meskipun sosoknya tidak seekspresif JK, Boediono dihormati karena kompetensinya dalam menjaga stabilitas ekonomi di masa globalisasi yang penuh tantangan.


Setelah Boediono, kita melihat kehadiran Ma’ruf Amin yang dipilih sebagai Wakil Presiden oleh Joko Widodo. 


Sebagai seorang ulama besar dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin memang membawa legitimasi politik dari kelompok Islam konservatif. 


Namun, masa kepemimpinannya lebih sering dianggap simbolis, dengan keterlibatan minim dalam pengambilan keputusan besar. 


Meskipun ia memiliki pengalaman di ranah agama, perannya dalam politik nasional sering dinilai tidak seefektif pendahulunya yang lebih teknokrat atau militeris.


Jika kita membandingkan deretan nama-nama besar ini dengan Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden yang baru terpilih untuk periode 2024-2029, perbedaannya sangat mencolok. 


Gibran tidak memiliki latar belakang pendidikan atau pengalaman politik yang memadai untuk menduduki jabatan setinggi Wakil Presiden. 


Ia hanya berbekal pengalaman singkat sebagai Wali Kota Solo, sebuah posisi yang bahkan belum memberikan cukup ruang bagi dirinya untuk menunjukkan kemampuan kepemimpinan di tingkat nasional.


Perjalanan politik Gibran lebih dipengaruhi oleh statusnya sebagai putra Presiden Joko Widodo, ketimbang prestasinya sendiri. 


Keputusan untuk menerima jabatan Wakil Presiden tanpa kompetensi yang memadai menunjukkan kemunduran drastis dalam kualitas kepemimpinan di Indonesia. 


Gibran tampak lebih sebagai produk dari dinasti politik ketimbang pemimpin yang dihasilkan oleh sistem meritokrasi yang seharusnya.


Sementara para pendahulunya seperti Mohammad Hatta, Jusuf Kalla, Boediono, hingga Try Sutrisno memiliki pengalaman dan kapasitas intelektual yang kuat, Gibran hadir tanpa portofolio yang layak untuk posisi strategis ini. 


Sri Sultan Hamengkubuwono IX memimpin dengan kebijaksanaan, Umar Wirahadikusuma dan Sudharmono dengan integritas, Habibie dengan kecerdasan teknologi, JK dengan kemampuan mediasi yang handal, sementara Boediono menjaga ekonomi dengan cermat. 


Semua tokoh ini menjadi bukti bahwa kursi Wakil Presiden semestinya diduduki oleh orang yang benar-benar mumpuni.


Gibran, sebaliknya, adalah representasi kemunduran. Penerimaannya atas jabatan ini menunjukkan bahwa kualifikasi tidak lagi menjadi prioritas dalam penunjukan pejabat publik. 


Di tengah kemajuan dunia yang semakin kompleks, Indonesia membutuhkan sosok dengan pengalaman, pemikiran strategis, dan kecakapan diplomasi yang nyata. Sayangnya, Gibran tidak menunjukkan tanda-tanda memiliki kemampuan itu.


Keberadaan Gibran di kursi Wakil Presiden tidak hanya merendahkan martabat jabatan itu, tetapi juga menandai era dimana nepotisme dan oligarki semakin menguasai arena politik Indonesia. 


Jika Mohammad Hatta dan para tokoh besar lainnya menyaksikan situasi ini, mereka mungkin akan kecewa, karena kursi yang pernah mereka duduki kini terisi oleh sosok yang belum siap memikul tanggung jawab besar bagi bangsa.


Demokrasi Indonesia yang seharusnya memberikan kesempatan pada yang terbaik, kini justru tersandera oleh kepentingan dinasti.


Sementara para pendahulunya menorehkan sejarah emas, Gibran hanya mewarisi kekuasaan tanpa pencapaian yang layak untuk diabadikan.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog