'Catatan Kegagalan Menkeu Sri Mulyani'
Kinerja Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam beberapa tahun terakhir, terutama terkait penerimaan perpajakan dan pengelolaan utang negara, menimbulkan banyak pertanyaan.
Sri Mulyani, yang dikenal sebagai salah satu tokoh ekonomi global terkemuka, tidak sepenuhnya berhasil dalam memanfaatkan posisi strategisnya untuk membawa perubahan signifikan dalam sistem perpajakan Indonesia.
Rasio penerimaan pajak yang terus menurun, ketergantungan pada utang luar negeri yang semakin besar, serta ketidakadilan dalam distribusi beban pajak menjadi bukti nyata dari berbagai kegagalan kebijakan yang diterapkan selama masa jabatannya.
Krisis dalam Penerimaan Pajak
Salah satu persoalan yang paling mencolok dalam kepemimpinan Sri Mulyani adalah ketidakmampuan dalam meningkatkan rasio pajak terhadap PDB (produk domestik bruto) Indonesia.
Rasio pajak yang pada era sebelumnya sempat menyentuh angka 11% kini berada di bawah 10%, salah satu yang terendah di antara negara-negara dengan ekonomi serupa.
Hal ini menunjukkan kegagalan yang jelas dalam memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dan menegakkan disiplin fiskal di sektor perpajakan.
Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program seperti Tax Amnesty dan Program Pengungkapan Sukarela, hasilnya tidak sebanding dengan upaya yang dikeluarkan.
Tax Amnesty yang semula diharapkan bisa meningkatkan penerimaan pajak dengan signifikan justru menghasilkan efek yang minim terhadap pendapatan jangka panjang.
Sementara itu, Program Pengungkapan Sukarela tidak cukup mendorong kepatuhan berkelanjutan dari wajib pajak besar.
Alhasil, sistem perpajakan tetap menghadapi masalah mendasar: tingginya penghindaran pajak di kalangan orang kaya dan perusahaan besar.
Sebagai negara dengan tingkat ketimpangan yang tinggi, kegagalan ini sangat merugikan masyarakat menengah ke bawah yang harus menanggung beban pajak lebih besar dalam proporsi yang tidak seimbang.
Sementara golongan kaya terus mencari celah untuk menghindari kewajiban perpajakan mereka, golongan menengah dan kecil yang relatif patuh justru terjebak dalam struktur pajak yang kurang adil.
Ketergantungan pada Utang yang Mengkhawatirkan
Di tengah kegagalan dalam meningkatkan penerimaan pajak, Sri Mulyani tampaknya semakin mengandalkan utang untuk menutupi kekurangan dalam anggaran negara.
Dalam beberapa tahun terakhir, utang pemerintah Indonesia telah meningkat secara signifikan, mencapai Rp 8.502,69 triliun pada Juli 2024, dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 38,68 persen.
Data menunjukkan bahwa porsi pembiayaan utang dalam APBN 2024 terhadap pendapatan negara adalah sekitar 23,13 persen, sedangkan terhadap belanja negara adalah sekitar 19,49 persen.
Ini menimbulkan kekhawatiran yang mendalam tentang keberlanjutan fiskal negara, mengingat pendapatan negara dari pajak tidak sebanding dengan laju pertumbuhan utang.
Memang, utang bukanlah sesuatu yang secara inheren buruk apabila digunakan untuk membiayai proyek-proyek produktif yang bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Namun, penggunaan utang di era Sri Mulyani tampaknya lebih banyak diarahkan untuk menutup defisit anggaran rutin, alih-alih berfokus pada investasi infrastruktur atau sektor-sektor produktif lainnya.
Kondisi ini justru menguatkan posisi Indonesia sebagai negara yang sangat rentan terhadap guncangan ekonomi global, terutama dengan adanya kenaikan suku bunga internasional dan ketidakstabilan pasar.
Kritik utama terhadap kebijakan utang ini adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya.
Pemerintah tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang bagaimana utang tersebut akan dilunasi tanpa membebani generasi mendatang.
Lebih parah lagi, kegagalan perpajakan yang sudah dibahas di atas memperburuk situasi ini, karena negara tidak memiliki basis pendapatan yang kuat untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Kegagalan Reformasi Birokrasi Perpajakan
Sejak menjabat kembali sebagai Menteri Keuangan pada tahun 2016, Sri Mulyani telah menekankan pentingnya reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak.
Namun, realitas menunjukkan bahwa reformasi tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan.
Sistem perpajakan Indonesia masih dianggap rumit, tidak efisien, dan rawan terhadap korupsi di level teknis.
Meskipun ada beberapa kemajuan dalam penggunaan teknologi untuk memodernisasi sistem perpajakan, seperti peluncuran sistem e-filing dan e-payment, ini hanya menyentuh sebagian kecil dari masalah yang lebih besar.
Reformasi yang lebih struktural dan mendalam belum benar-benar terjadi, terutama dalam hal penegakan hukum pajak dan pengurangan korupsi di lingkungan birokrasi perpajakan.
Penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dan konglomerat besar tetap menjadi masalah yang belum terselesaikan, meskipun Sri Mulyani sudah berulang kali berjanji untuk menanganinya.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan, seperti Vietnam atau Malaysia, yang berhasil meningkatkan efisiensi perpajakan dan memperluas basis pajak mereka, Indonesia tampak tertinggal jauh.
Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya kemauan politik dan konsistensi dalam penerapan kebijakan reformasi.
Sri Mulyani, meskipun sering dipandang sebagai teknokrat handal, tampaknya gagal menavigasi tantangan politik yang menghambat reformasi birokrasi perpajakan ini.
Ketidakadilan dalam Distribusi Beban Pajak
Salah satu kritik yang paling tajam terhadap kebijakan perpajakan di bawah kepemimpinan Sri Mulyani adalah ketidakadilan dalam distribusi beban pajak.
Golongan masyarakat menengah dan bawah justru menjadi korban dari kebijakan yang gagal melindungi mereka dari beban pajak yang tidak proporsional.
Sebagai contoh, meskipun ada peningkatan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk golongan orang kaya, implementasi kebijakan tersebut kurang efektif dalam menekan penghindaran pajak.
Kalangan orang kaya dan perusahaan besar tetap memiliki banyak celah untuk memanfaatkan aturan-aturan perpajakan yang lemah.
Sementara itu, masyarakat menengah ke bawah, yang berpenghasilan tetap, lebih rentan terhadap pengenaan pajak yang tidak adil, terutama melalui pajak tidak langsung seperti PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
Sri Mulyani juga gagal dalam upaya redistribusi kekayaan melalui kebijakan fiskal yang inklusif. Sebagian besar kebijakan perpajakan dan subsidi tidak diarahkan untuk mengurangi ketimpangan secara signifikan.
Alhasil, perbedaan antara golongan kaya dan miskin terus melebar, dan program-program sosial yang didanai dari penerimaan pajak tidak cukup efektif dalam mengurangi angka kemiskinan.
Penutup
Sementara kritik terhadap Sri Mulyani cukup jelas, perlu juga diakui bahwa solusi untuk masalah perpajakan dan utang negara tidaklah sederhana.
Namun, beberapa alternatif bisa dipertimbangkan. Pertama, reformasi perpajakan harus fokus pada peningkatan basis pajak secara struktural, bukan hanya dengan cara-cara ad hoc seperti Tax Amnesty.
Ini mencakup penegakan hukum yang lebih ketat terhadap penghindaran pajak oleh kalangan orang kaya dan perusahaan multinasional, serta penyederhanaan aturan pajak untuk meningkatkan kepatuhan, termasuk pemisahan lembaga perpajakan dari Kementerian Keuangan.
Kedua, pengelolaan utang harus lebih transparan dan diarahkan pada investasi yang produktif.
Utang yang diambil harus digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang jelas manfaat ekonominya, sehingga dapat membantu memperkuat pendapatan negara di masa depan, bukan sekadar menambal defisit anggaran.
Ketiga, kebijakan fiskal yang lebih adil perlu dikembangkan untuk melindungi golongan menengah ke bawah dari beban pajak yang berlebihan.
Pemerintah harus berani meninjau ulang struktur perpajakan dan memperkenalkan skema pajak yang lebih progresif dan adil.
Sri Mulyani, meskipun sering dipuji di panggung internasional, gagal dalam mengatasi beberapa masalah mendasar di bidang perpajakan dan pengelolaan utang negara. Penerimaan pajak yang stagnan, ketergantungan terhadap utang luar negeri, serta ketidakadilan dalam distribusi beban pajak adalah cermin dari kebijakan yang kurang efektif.
Padahal Indonesia membutuhkan perubahan mendasar, terutama di sektor perpajakan, untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal bisa memberikan manfaat yang lebih adil dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sumber: Inilah