DEMOCRAZY.ID - Meski Mahkamah Agung (MA) membatalkan izin pinjam pakai Kawasan hutan (IPKKH) di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara (Sultra) pada 7 Oktober 2024, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) tetap saja menambang nikel.
Anggota DPRD Konkep, Sahidin mengaku punya bukti yang membeberkan aktivitas tambang nikel GKP di Pulau Wawonii pada 11 Oktober 2024.
Padahal MA membatalkan IPKKH itu. Yang berarti, kegiatan tambang GKP itu illegal.
"Pada 11 Oktober 2024 pukul 22.00 WITA, terlihat kapal tongkang sandar di pelabuhan jeti. Diduga kapal itu memuat ore nikel milik PT GKP. Karena ore itu dibawa pakai truck dari atas gunung Desa Roko-roko, Wawonii Tenggara," kata Sahidin, Jakarta, Sabtu (12/10/2023).
Dia meyakini, nikel mentah itu adalah hasil tambang PT GKP. Bisa jadi, ore nikel itu dikirim tidak ke Morosi, Jabupaten Konawe Utara, Sultra.
"Jadi bukan dikirim ke smelter milik PT GKP," kata dia.
Asal tahu saja, PT GKP merupakan anak usaha Harita Group milik Lim Hariyanto Wijaya Sarwono.
Dia adalah pemain lama sektor tambang batu bara, bauksit dan nikel, serta perkebunan sawit.
Tahun ini, menurut Forbes, Lim Hariyanto menempati posisi ke-10 sebagai orang terkaya di Indonesia. Asetnya mencapai $4 miliar, atau setara Rp64 triliun (kurs Rp16.000/US$).
Masih kata Sahidin, kader Partai Gerindra, selama aksi penambangan nikel yang dilakukan PT GKP, berdampak kepada rusaknya lingkungan di Pulau Wawonii. Selain itu, warga Pulau Wawonii menjadi sulit untuk bercocok tanam.
"Saya harap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berani bersikap egas. Perintahkan Dirjen Minerba cabut Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) PT Gema Kreasi Perdana, pasca pembatalan IPPHK oleh putusan MA," tandasnya.
Pasca putusan MA yang membatalkan IPKKH PT GKP di Pulau Wawonii, sedikitnya 67 tongkang bijih nikel dikirim dari Pulau kecil Wawonii. Besar kemungkinan, bijih nikel itu hasil penambangan PT GKP
Terkait informasi beroperasi secara legal PT GKP, lanjut Sahidin, pernah dilaporkan ke Polda Sultra, Kejati Sultra serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Hasilnya sama, tidak bergerak.
Bisa jadi karena pemiliknya punya jaringan hingga ke istana, atau punya orang dalam (ordal) yang dekat dengan kekuasaan. Sehingga bisnisnya lancar jaya meski menabrak undang-undang.
"Lalu buat apa ada hukum? Indonesia negara hukum atau bukan sih," tanya Sahidin.
Sumber: Inilah