'Bayang-Bayang Kudeta Saat Prabowo di Luar Negeri'
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Seorang presiden pergi berkunjung keluar negeri, namun saat akan kembali ditolak rakyatnya, wakil presidennya atau panglima angkatan bersenjatanya.
Hal itu pernah terjadi di sejumlah negara. Akankah fenomana tersebut terjadi di Indonesia?
Presiden Prabowo Subianto akan berkunjung keluar negeri untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Peru pada 13-16 November 2024, dilanjutkan dengan menghadiri pertemuan G20 di Brasil pada 18-19 November. Praktis selama sepekan Ketua Umum Partai Gerindra itu akan berada di luar negeri.
Pasal 8 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan, “Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis waktunya.”
Artinya, selama berada di luar negeri, tugas-tugas Prabowo sebagai Presiden akan dilaksanakan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Tapi Gibran bukan Pelaksana Tugas (Plt) Presiden.
“Jangan disalahartikan. Tidak ada istilah Plt Presiden,” kata Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi di Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Pernyataan Hasan Nasbi itulah yang berkonotasi mencekam. Seolah-olah akan terjadi apa-apa selama Prabowo di luar negeri.
Seolah-olah ia memberikan peringatan kepada siapa pun atau pihak-pihak tertentu agar tidak ada yang mengambil alih jabatan Prabowo sebagai Presiden, alias kudeta, termasuk kepada Gibran yang ia “peringatkan” tak ada Plt Presiden.
Memang, sejak awal pencalonan Prabowo dan Gibran sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, sudah berkembang spekulasi bahwa Prabowo yang sudah berusia lanjut (73 tahun), hanya akan menjadi presiden boneka dari Joko Widodo, Presiden ke-7 RI yang tak lain adalah ayah kandung Gibran.
Pun, Prabowo dispekulasikan hanya akan menjabat Presiden selama 1-2 tahun, selanjutnya diteruskan oleh Gibran yang kemudian naik menjadi Presiden, baik karena alasan kesehatan Prabowo maupun pengambilalihan kekuasaan oleh Gibran yang baru berusia 37 tahun.
Spekulasi publik semacam itu menjadi masuk akal jika ditilik dari ambisi kekuasaan keluarga Jokowi yang ditengarai sedang membangun dinasti politik.
Selain Gibran, bekas walikota Solo, Jawa Tengah, yang kini menjadi Wapres; menantu Jokowi, Bobby Nasution juga menjadi Walikota Medan, Sumatera Utara, dan kini sedang maju sebagai calon gubernur Sumut di Pilkada 2024.
Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, juga sempat digadang-gadang maju di Pilkada 2024. Namun gagal karena terhalang ketentuan usia dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang gagal direvisi DPR akibat gelombang aksi unjuk rasa.
Bisa saja saat Prabowo hendak kembali ke Indonesia dilarang oleh Gibran yang saat itu menjadi pelaksana tugas-tugas kepresidenan.
Spekulasi kudeta oleh Gibran kian kuat jika ditilik bahwa pergantian kekuasaan di Indonesia selalu diwarnai pengkhianatan demi pengkhianatan ala Ken Arok di Singosari atau Brutus di Yunani.
Soekarno dikhianati Soeharto. Soeharto dikhianati BJ Habibie. Megawati Soekarnoputri dikhianati Abdurrahman Wahid dan sebaliknya Gus Dur dikhianati Megawati.
Megawati dikhianati Soesilo Bambang Yudhoyono, dan juga Jokowi. Kini, bisa jadi Prabowo dikhianati Jokowi melalui Gibran.
Kudeta Mahasiswa
Bisa juga Prabowo dikudeta atau diturunkan paksa oleh mahasiswa. Ingatan penulis kemudian menerawang ke proses jatuhnya Soeharto dari kursi Presiden pada 21 Mei 1998.
Lengsernya Soeharto tak bisa dilepaskan dari aksi demonstrasi yang digelar mahasiswa dan elemen lain masyarakat Indonesia di Jerman saat Soeharto melakukan kunjungan ke Dresden, 5 April 1995.
Saat itu puluhan orang berbaring di jalanan kota. Mereka membendung jalur bus yang membawa sang pemimpin Orde Baru itu dan rombongannya menuju museum bekas Istana Zwinger. Selama 15 menit, bus yang ditumpangi sang jenderal bintang lima itu tak bisa bergerak.
Kisah lain, dikutip dari tirto.id, 2 Mei 2021, pameran dagang Hannover Fair digelar pada April 1995. Indonesia adalah negara Asia Tenggara pertama yang jadi mitra dagang Jerman.
Presiden Soeharto menghadiri perhelatan tersebut. Beberapa bulan sebelum kedatangan Soeharto, aktivis HAM di Jerman sudah gelisah: mereka merencanakan aksi protes terhadap Soeharto yang dianggap punya catatan kelam dalam perkara hak asasi manusia (HAM).
Amnesty Internasional yang bermarkas di London, Inggris, juga hendak ambil bagian. Para aktivis hendak menjadikan Hannover Fair sebagai ajang mempermalukan Soeharto.
Isu penolakan atas kedatangan Soeharto akhirnya sampai juga ke kalangan parlemen kota. Jika Presiden Indonesia itu tetap datang, mereka akan menggelar demonstrasi.
Soeharto bukan satu-satunya sasaran kritik. Kanselir Jerman saat itu, Helmut Kohl, juga dikritìk karena dianggap kurang peka atas pelanggaran HAM yang dilakukan calon tamunya.
Sejak Hannover Fair dibuka pada 1 April 1995, demonstrasi sudah dimulai. Hari berikutnya, Soeharto akan datang membuka anjungan Indonesia. Waktu Soeharto ke Dusseldorf, para demonstran terus membuntuti.
Kala itu Soeharto masih bisa tenang. Namun, pada 5 April 1995 ketika ia dan rombongannya mengunjungi Museum Zwinger di Dresden, yang di dalamnya terdapat lukisan Raden Saleh, keadaan makin panas.
Jalur yang dilewati Soeharto adalah jalur para demonstran yang penampilannya lebih mirip turis sehingga tak terlihat sebagai sumber bahaya.
Kala itu, ajudan Soeharto adalah Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, kini Menteri Pertahanan dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal (Purn).
Selain Sjafrie, Letnan Kolonel I Gusti Suweden juga ikut mengawal Soeharto. Mereka berbagi tugas untuk menjaga Kepala Negara dan istrinya, Ibu Negara Tien Soeharto.
Namun, Sjafrie dan rekannya kewalahan. Maklum, saat berada di luar negeri, pengawalan dari Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) sangat dibatasi negara yang dikunjungi. Dalam situasi seperti itu, Sjafrie melihat Soeharto tetap bersikap tenang.
Para demonstran tidak hanya mengacung-acungkan poster, tapi ada juga yang melempar-lemparkan telur, melemparkan kertas, dan lainnya.
Pada saat itu, Luciano ‘Romano’ Valentim Conceixao ikut dalam aksi protes. Lelaki asal Timor Leste (dulu Timor Timur) ini mengaku, dirinya refleks menimpukkan koran ke kepala Soeharto yang tengah dilindungi Sjafrie Sjamsoeddin.
Serangan terhadap Soeharto juga terjadi di tempatnya menginap. Bendera Merah Putih yang dikibarkan di depan Hotel Kempinski, Dresden, diturunkan setengah tiang.
Sepulang ke Tanah Air, Soeharto disambut aksi demonstrasi mahasiswa. Puncaknya adalah saat Soeharto lengser keprabon pada 21 Mei 1998.
Prabowo adalah bekas menantu Soeharto. Seperti Soeharto, Prabowo juga selalu dikaitkan dengan isu pelanggaran HAM, terutama aksi penculikan aktivis demokrasi tahun 1997/1998 oleh Tim Mawar bentukan Kopassus saat Prabowo menjabat Komandan Jenderal. Pun, peristiwa Trisakti serta Semanggi I dan Semanggi II.
Atas pelanggaran HAM tersebut, sekelompok orang rutin berdemonstrasi di depan Istana Merdeka, Jakarta, setiap hari Kamis, dan hingga kini sudah berlangsung ratusan kali.
Bisa saja saat Prabowo di Peru dan Brasil didemo orang-orang Indonesia di sana.
Saat kembali ke Tanah Air nanti, para korban pelanggaran HAM dan keluarganya beserta mahasiswa bisa jadi menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran, memblokade bandar udara, dan menolak Prabowo pulang.
Sesuai mekanisme, Gibran-lah yang akan menggantikan Prabowo jika Presiden itu berhalangan. Gibran pun akan dilantik menjadi Presiden.
Mungkinkah demikian? ***