EKBIS HUKUM POLITIK

'Apa dan Bagaimana Kebocoran Rp300 Triliun dari Industri Sawit?'

DEMOCRAZY.ID
Oktober 14, 2024
0 Komentar
Beranda
EKBIS
HUKUM
POLITIK
'Apa dan Bagaimana Kebocoran Rp300 Triliun dari Industri Sawit?'


'Apa dan Bagaimana Kebocoran Rp300 Triliun dari Industri Sawit?'


Hashim Djojohadikusumo, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, baru-baru ini mengungkapkan fakta mengejutkan: ada kebocoran penerimaan negara sebesar Rp300 triliun dari sektor industri perkebunan sawit. 


Informasi ini, yang bersumber dari Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), menunjukkan adanya jutaan hektar kawasan hutan yang diokupasi secara ilegal oleh pengusaha kebun sawit. Pengungkapan ini membuka tabir atas praktik korupsi masif yang telah lama mencengkeram industri sawit Indonesia.


Untuk memahami kompleksitas permasalahan ini, mari kita lihat contoh kasus Pak Samin, seorang pengusaha sawit fiktif yang merepresentasikan modus operandi umum dalam industri ini. Pak Samin memulai bisnisnya dengan modal terbatas namun ambisi besar. Langkah pertamanya adalah mendekati pejabat lokal untuk mendapatkan izin pembukaan lahan. 


Melalui suap senilai Rp5 miliar kepada Bupati dan Kepala Dinas Kehutanan setempat, Pak Samin berhasil memperoleh izin untuk membuka 10.000 hektar lahan, di mana 60% di antaranya sebenarnya adalah kawasan hutan lindung.


Setelah mendapatkan izin, Pak Samin melakukan land grabbing dengan cara mengintimidasi masyarakat adat yang telah mendiami kawasan tersebut selama generasi. Ia menggunakan jasa preman lokal dan bahkan oknum aparat keamanan untuk "mengamankan" proses pengambilalihan lahan. Masyarakat yang menolak dipindahkan dengan iming-iming kompensasi yang tidak pernah terealisasi sepenuhnya.


Dalam proses pembukaan lahan, Pak Samin menggunakan metode tebang habis dan bakar untuk menghemat biaya. Ia “mengkondisikan” petugas pemantau lingkungan dengan dana sekian miliar agar menutup mata terhadap praktik ilegal dan berbahaya ini. Akibatnya, ribuan hektar hutan terbakar, melepaskan jutaan ton karbon dioksida ke atmosfer dan menghancurkan habitat berbagai spesies langka.


Untuk meminimalkan pajak, Pak Samin memanipulasi laporan keuangan perusahaannya. Ia hanya melaporkan 40% dari total produksi sawitnya, sementara sisanya dijual melalui pasar gelap. Ia juga melakukan transfer pricing, menjual hasil produksinya dengan harga di bawah pasar ke perusahaan afiliasinya di Singapura, yang kemudian menjualnya kembali dengan harga normal, mengalihkan keuntungan ke luar negeri dan menghindari pajak di Indonesia.


Pak Samin juga mengabaikan kewajibannya untuk mengalokasikan 20% lahannya untuk program plasma yang seharusnya melibatkan petani kecil. Ia menyiapkan dana lumayan kepada auditor untuk memanipulasi laporan kepatuhan terhadap regulasi ini. Akibatnya, alih-alih memberdayakan masyarakat lokal, perkebunan Pak Samin justru semakin memarjinalkan mereka.


Untuk mengamankan bisnisnya dalam jangka panjang, Pak Samin aktif menyumbang dana kampanye politisi lokal dan nasional. Ia bahkan membiayai studi anak-anak pejabat kunci di luar negeri, menciptakan hutang budi yang bisa ditagih di kemudian hari. Melalui lobi politik ini, Pak Samin berhasil mempengaruhi regulasi industri sawit agar lebih menguntungkan bisnisnya, termasuk pelonggaran aturan lingkungan dan perpajakan.


Dalam kurun waktu 10 tahun, bisnis Pak Samin berkembang pesat. Ia kini menguasai lebih dari 100.000 hektar lahan sawit, sebagian besar diperoleh melalui cara-cara ilegal. Kekayaan pribadinya melonjak menjadi triliunan rupiah, sementara negara kehilangan potensi pendapatan pajak dan royalti senilai ratusan miliar rupiah setiap tahunnya. Skenario Pak Samin ini hanyalah satu dari ratusan kasus serupa yang terjadi di seluruh Indonesia, menghasilkan total kebocoran Rp300 triliun yang terungkap.


Praktik korupsi Pak Samin melibatkan jaringan luas aktor-aktor kunci dalam pemerintahan dan sektor swasta. Di tingkat lokal, kepala daerah dan jajarannya menjadi pemain utama dalam pemberian izin ilegal. Mereka sering kali "dibayar" tidak hanya dengan uang tunai, tetapi juga dengan saham di perusahaan atau janji posisi pasca-pensiun. 


Di tingkat provinsi, para pejabat berperan dalam memfasilitasi ekspansi bisnis lintas kabupaten dan "mengamankan" operasi skala besar. Sementara itu, di tingkat nasional, politisi dan pejabat kementerian terkait terlibat dalam meloloskan regulasi yang menguntungkan industri sawit atau mengabaikan pelanggaran yang terjadi. Aparat penegak hukum juga menjadi bagian dari lingkaran ini. 


Mereka berperan dalam "mengamankan" operasi ilegal dan melemahkan investigasi terhadap pelanggaran yang dilaporkan. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan keterlibatan oknum hakim dalam memberikan putusan yang menguntungkan perusahaan sawit dalam sengketa lahan atau kasus lingkungan.


Sektor perbankan juga tidak luput dari keterlibatan. Beberapa bankir memfasilitasi pencucian uang hasil korupsi dan memberikan kredit tanpa due diligence yang memadai. Sementara itu, konsultan keuangan dan hukum membantu merancang skema penghindaran pajak dan transfer pricing yang canggih. Jaringan korupsi ini menciptakan sistem yang sangat sulit ditembus, di mana setiap aktor saling melindungi kepentingan masing-masing, membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi tantangan besar.


Dampak dari praktik korupsi seperti yang dilakukan Pak Samin sangat luas dan merusak. Kerusakan alam menjadi konsekuensi paling nyata dan langsung. Deforestasi masif mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terganggunya keseimbangan ekosistem, dan berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim global. Kebakaran hutan yang sering terjadi sebagai metode pembukaan lahan tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat luas melalui kabut asap yang ditimbulkannya.


Sistem hukum mengalami erosi kredibilitas yang serius. Ketika korupsi menjadi endemik, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan peradilan menurun drastis. Hal ini menciptakan kultur impunitas, di mana pelaku kejahatan lingkungan dan korupsi merasa bisa lolos dari hukuman dengan membayar suap. Akibatnya, supremasi hukum terganggu, menciptakan ketidakpastian hukum yang pada gilirannya dapat menghambat investasi yang sehat dan pembangunan berkelanjutan.


Ketimpangan sosial-ekonomi semakin melebar sebagai akibat dari praktik korupsi ini. Sementara segelintir elit dan korporasi besar menikmati keuntungan besar dari eksploitasi sumber daya alam, masyarakat lokal—terutama petani kecil dan masyarakat adat—semakin termarginalkan. Mereka kehilangan akses terhadap lahan yang secara tradisional menjadi sumber penghidupan mereka, sering kali tanpa kompensasi yang adil atau alternatif mata pencaharian yang layak.


Perekonomian nasional juga menderita akibat praktik korupsi ini. Potensi pendapatan negara yang hilang akibat penghindaran pajak dan manipulasi data produksi mengurangi kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. 


Lebih jauh lagi, praktik bisnis yang tidak sehat menciptakan persaingan yang tidak adil, menghambat inovasi dan efisiensi dalam industri sawit, yang pada akhirnya mengurangi daya saing Indonesia di pasar global.


Kasus industri sawit ini mungkin hanyalah puncak gunung es dari masalah korupsi yang lebih luas dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Sektor-sektor lain yang rawan mengalami kebocoran serupa termasuk pertambangan, terutama batubara dan mineral logam, di mana praktik penambangan ilegal dan manipulasi royalti sering terjadi. Kehutanan juga tidak luput dari masalah, dengan maraknya pembalakan liar dan konversi hutan ilegal untuk kepentingan non-kehutanan. 


Di sektor perikanan, illegal fishing dan manipulasi data tangkapan mengurangi potensi pendapatan negara. Minyak dan gas bumi menghadapi potensi kebocoran melalui cost recovery yang dimanipulasi dan kontrak yang merugikan negara. 


Bahkan sektor energi terbarukan, meskipun relatif baru, tidak imun dari praktik korupsi dalam proyek-proyek besar seperti pembangkit listrik. Properti dan pengembangan lahan juga rawan, terutama dalam proses alih fungsi lahan dan spekulasi. Industri manufaktur tidak ketinggalan, dengan praktik transfer pricing dan penghindaran pajak yang merugikan negara. 


Sektor keuangan menghadapi risiko pencucian uang dan manipulasi pasar modal. Infrastruktur, di mana proyek-proyek besar sering menjadi sasaran mark-up dan kickback, juga menjadi lahan subur korupsi. Terakhir, sektor perdagangan juga tidak luput dari praktik merugikan negara, terutama dalam bentuk under-invoicing impor dan ekspor.


Jika diasumsikan bahwa masing-masing dari 10 sektor ini mengalami kebocoran serupa dengan industri sawit, dengan nilai total mencapai lebih dari APBN tahunan RI, dampaknya akan


sangat devastatif bagi perekonomian dan pembangunan nasional. Potensi kerugian negara bisa mencapai ribuan triliun rupiah, melebihi total APBN yang pada tahun 2024 diproyeksikan sekitar Rp3.000 triliun.


Konsekuensinya, Indonesia bisa menghadapi krisis fiskal yang parah. Pemerintah akan kesulitan membiayai program-program pembangunan esensial, pelayanan publik akan terdegradasi, dan utang negara bisa melonjak ke level yang tidak sustainable. 


Kesenjangan sosial akan semakin melebar, dengan potensi memicu ketidakstabilan sosial dan politik. Pada skala ini, korupsi bukan lagi sekadar masalah tata kelola, tetapi menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan dan kelangsungan negara.


Menghadapi skenario mengerikan ini, reformasi menyeluruh dalam tata kelola sumber daya alam dan pemberantasan korupsi menjadi prioritas mutlak. Diperlukan komitmen politik yang kuat, penguatan institusi penegak hukum, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta partisipasi aktif masyarakat sipil. 


Hanya dengan upaya bersama dan konsisten, Indonesia dapat menyelamatkan kekayaan alamnya dari jarahan korupsi dan memastikan bahwa sumber daya ini benar-benar dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh rakyat.


Sumber: Inilah

Penulis blog